Beberapa studi menunjukkan sindrom plasenta maternal, termasuk abrupsio plasenta, dapat meningkatkan kejadian penyakit kardiovaskular/cardiovascular disease (CVD) di kemudian hari. Namun, bukti klinis yang ada saat ini masih inkonklusif.
Abrupsio plasenta dan CVD memiliki dasar etiologi serupa, yaitu adanya iskemia uteroplasenta yang dapat meningkatkan risiko gangguan mikrovaskular, sehingga terjadi trombosis, defek koagulasi, inflamasi dan infeksi.[1–3]
Selain karena etiologi yang serupa, faktor risiko abrupsio placenta dan CVD pun serupa, antara lain hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus, pajanan rokok, obesitas dan usia tua. Terdapat beberapa bukti dari penelitian bahwa perempuan dengan komplikasi obstetrik, seperti preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat, dan abrupsio plasenta, akan mengalami peningkatan risiko terjadinya CVD dikemudian hari.[1,4]
Patofisiologi Abrupsio Plasenta Menyebabkan Penyakit Kardiovaskular
Abrupsio plasenta terjadi karena rendahnya suplai darah dari arteri spiralis plasenta. Hal tersebut menyebabkan perfusi yang buruk pada dasar plasenta, sehingga terjadi infark dan peningkatan resistensi pembuluh darah plasenta. Proses tersebut mengakibatkan terjadinya vaskulopati desidua, seperti penebalan otot, trombosis dan lesi aterosis akut pada abrupsio plasenta.
Hubungan antara abrupsio plasenta dengan CVD diduga karena keduanya memiliki faktor predisposisi yang serupa, yaitu disfungsi endotel dan vaskular. Patofisiologi abrupsio plasenta belum diketahui secara pasti. Namun, beberapa teori yang sudah ada menyebutkan bahwa abrupsio plasenta umumnya terjadi akibat inflamasi akut vaskular dan insufisiensi uteroplasenta yang menyebabkan terjadinya perdarahan pada desidua.
Perubahan plasenta yang ditemukan pada pasien abrupsio plasenta, antara lain tidak adanya perubahan fisiologis pada arteri spiralis, penebalan intima dan subintima, serta adanya malformasi vaskular, seperti dilatasi, trombosis dan perdarahan. Perubahan tersebut disertai dengan perubahan komposisi lemak pada sel intima dan hiperplasia miointima. Kondisi tersebut didapatkan serupa dengan keadaan aterosklerosis yang ditemukan pada pembuluh darah sistemik.[1,5,6]
Bukti Klinis Hubungan Abrupsio Plasenta dengan Penyakit Kardiovaskular
Perempuan dengan riwayat abrupsio plasenta lebih cenderung memiliki komorbid komplikasi obstetrik lainnya. Studi kohort oleh Ananth, et al. di tahun 2017 mendapatkan angka morbiditas dan mortalitas akibat CVD pada perempuan dengan riwayat abrupsio plasenta lebih tinggi dibandingkan perempuan tanpa riwayat abrupsio plasenta.[2]
Peningkatan risiko ditemukan jika abrupsio plasenta disertai dengan penyakit jantung iskemik, infark miokard akut, hypertensive heart disease, penyakit katup jantung non-rematik atau gagal jantung kongestif.[2]
Studi kohort oleh Desjardin et al. pada tahun 2020 mendapatkan abrupsio plasenta berasosiasi dengan komorbid komplikasi obstetrik lain, seperti diabetes gestasional, hipertensi dalam kehamilan, preeklampsia dan eklampsia. Hal-hal tersebut meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung secara signifikan.[1]
Studi tersebut tidak menemukan hubungan yang signifikan antara abrupsio plasenta dengan infark miokard atau stroke. Risiko gagal jantung didapatkan semakin meningkat jika abrupsio plasenta disertai dengan komorbid hipertensi dalam kehamilan dan kelahiran preterm, meskipun masa follow up pada studi ini kurang dari 5 tahun.[1]
Temuan yang berbeda didapatkan pada tinjauan sistematis dan metaanalisis dari Ananth, et al. pada tahun 2021. Metaanalisis ini melibatkan 11 studi kohort untuk menilai asosiasi abrupsio plasenta dengan penyakit jantung koroner dan stroke. Studi tersebut menemukan perempuan dengan abrupsio berisiko 2 kali lipat untuk mengalami penyakit jantung koroner dan stroke, dibandingkan perempuan nonabrupsio.[3]
Risiko mortalitas dan morbiditas akibat CVD pada pasien abrupsio lebih tinggi daripada pasien nonabrupsio, yaitu 16,7 dan 9,3 per 1000 kelahiran. Abrupsio plasenta dihubungkan dengan peningkatan risiko kematian akibat penyakit jantung koroner sebesar 2,64 kali, dan kematian akibat stroke sebesar 1,7 kali.[3]
Pencegahan Penyakit Kardiovaskular Pasca Abrupsio Plasenta
CVD dapat dicegah dengan modifikasi dini faktor risiko CVD. American Heart Association (AHA) membuat panduan program pencegahan CVD pada perempuan yang mengalami komplikasi kehamilan, seperti abrupsio plasenta.
Pola Makan yang Bermanfaat bagi Kesehatan Jantung dan Optimalisasi Nutrisi
Beberapa studi kohort menunjukkan pola diet gizi seimbang yang dilakukan 3 tahun sebelum hamil dihubungkan dengan penurunan risiko hipertensi dalam kehamilan, diabetes gestasional dan persalinan prematur. Karakteristik diet gizi seimbang, antara lain tinggi sayur, buah, kacang-kacangan, dan ikan, serta rendah daging merah dan makanan diproses.
Nutrisi ibu dalam 12 bulan sebelum terjadinya konsepsi akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin, usia kehamilan, dan berat bayi saat lahir. Perempuan dalam usia reproduktif juga direkomendasikan untuk mengonsumsi suplementasi asam folat dan zat besi.[7]
Aktivitas Fisik
Obesitas pada ibu hamil dapat menyebabkan kesulitan dalam laktasi. Padahal, menyusui diketahui memiliki efek protektif pada kesehatan kardiometabolik. Selain kesulitan laktasi, obesitas pada ibu hamil dapat menyebabkan retensi berat badan postpartum, DM Tipe 2, dan peningkatan risiko hipertensi dalam kehamilan yang berulang.
American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG) merekomendasikan aktivitas fisik dengan intensitas sedang setiap hari, atau hampir setiap hari per minggu, dengan durasi selama 20–30 menit per hari. Secara khusus, perempuan yang berisiko mengalami diabetes gestasional disarankan untuk melakukan aktivitas fisik guna meminimalkan terjadinya diabetes gestasional atau terjadinya diabetes mellitus (DM) tipe 2 di kemudian hari.
Tinjauan sistematis dan metaanalisis oleh Mijatovic-Vukas, et al. pada tahun 2018 menyatakan aktivitas fisik sebanyak 90 menit/minggu sebelum kehamilan dapat menurunkan risiko diabetes gestasional sebesar 46%.[7,8]
Faktor Gaya Hidup Lainnya
Pada ibu hamil, intrapartum dan post partum, disarankan untuk tidak merokok, karena efek sampingnya pada janin, seperti prematuritas, pertumbuhan janin terhambat, berat lahir bayi rendah, kematian bayi mendadak, gangguan tumbuh kembang, gangguan saluran pernapasan dan asma.
Peran pola tidur dan stres postpartum dalam terjadinya CVD masih belum banyak diteliti. Namun, kedua hal tersebut juga perlu dipertimbangkan dalam pencegahan CVD di kemudian hari.
Menyusui bayi juga diketahui menstimulasi perbaikan stres kardiometabolik yang terjadi selama kehamilan. Ibu menyusui memiliki profil metabolik yang lebih baik, yaitu nilai glukosa darah puasa, trigliserida, dan tekanan darah yang lebih rendah, kejadian resistensi insulin lebih sedikit, serta high-density lipoprotein (HDL) yang lebih tinggi. Efek fisiologis menyusui dapat menurunkan risiko jangka panjang untuk terkena CVD.[7,9]
Farmakoterapi
Pada pasien dengan riwayat diabetes gestasional, yang terkadang dapat terjadi bersamaan dengan abrupsio plasenta, ditemukan bahwa pemberian metformin dapat menurunkan insidensi terjadinya DM Tipe 2 sebanyak 35% di kemudian hari. Hasil tersebut memiliki efektivitas yang serupa dengan modifikasi gaya hidup. Manfaat obat-obatan lain, seperti aspirin dan golongan statin, misalnya simvastatin atau rosuvastatin, masih dalam penelitian.[7]
Follow Up Pada Ibu Hamil Pasca Abrupsio Plasenta Dalam Pencegahan Cardiovascular Disease (CVD)
Perempuan dengan riwayat komplikasi obstetrik, seperti abrupsio plasenta, hipertensi dalam kehamilan, diabetes gestasional, dan persalinan prematur harus diberikan edukasi tentang adanya peningkatan kejadian CVD pada kelompok tersebut. Pasien juga sebaiknya melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala, seperti memantau tekanan darah, kadar lipid, glukosa darah dan indeks massa tubuh (IMT).[3,7]
Pada kelompok tersebut, hal yang dapat dilakukan selama masa postpartum adalah perubahan pola hidup untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan jantung. Pola hidup yang harus diterapkan seperti mencegah obesitas, menghindari rokok, olahraga dan konseling gizi.[5,7,10]
Kesimpulan
Perempuan dengan riwayat komplikasi kehamilan, seperti abrupsio plasenta, memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami CVD di kemudian hari. Oleh sebab itu, pencegahan CVD perlu dilakukan sedini mungkin.
Perubahan gaya hidup, seperti membiasakan diri mengonsumsi pola makan yang menyehatkan bagi jantung dan meningkatkan aktivitas fisik, dapat dimulai sejak postpartum dan dilanjutkan seumur hidup. Pasien juga sebaiknya tidak merokok. Kebiasaan-kebiasaan ini dapat menurunkan risiko terjadinya CVD.
Menyusui juga diketahui dapat menurunkan risiko kelainan kardiometabolik. Selain itu, sebaiknya pasien melakukan pemantauan kesehatan secara berkala untuk menilai risiko, serta deteksi dini terjadinya CVD.