Pemberian antibiotik sistemik sebagai terapi ajuvan untuk abses kulit dan jaringan lunak masih sering diperdebatkan. Selama ini, terapi utama untuk abses kulit adalah insisi dan drainase. Studi terdahulu pernah menunjukkan bahwa pemberian antibiotik sebagai terapi tambahan tidak banyak bermanfaat. Namun, hasil uji-uji klinis terbaru dengan sampel yang lebih besar menunjukkan bahwa antibiotik mungkin bermanfaat.[1,2]
Infeksi kulit dan jaringan lunak merupakan kondisi yang sering dikeluhkan oleh pasien, yakni dengan jumlah sekitar lima kunjungan ke dokter per 100 kunjungan ke dokter per tahunnya. Abses kulit dan jaringan lunak dapat disebabkan oleh berbagai bakteri. Akan tetapi, bakteri yang sering ditemukan pada kasus-kasus ini adalah methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA).[1-3]
Manajemen Standar untuk Abses Kulit dan Jaringan Lunak
Selama ini, manajemen standar untuk abses kulit dan jaringan lunak adalah insisi dan drainase. Rekomendasi dari Asosiasi Penyakit Infeksi di Amerika Serikat menyatakan bahwa terapi abses yang disebabkan oleh bakteri MRSA pada anak-anak dan dewasa adalah berupa insisi dan drainase saja (antibiotik tambahan dapat diberikan kepada pasien tertentu).[4,5]
Rekomendasi tersebut dibuat berdasarkan studi-studi terdahulu yang menyatakan tidak adanya perbedaan signifikan antara pasien abses yang menjalani insisi dan menerima antibiotik sistemik dengan pasien abses yang hanya menjalani insisi saja.[6]
Namun, studi-studi terdahulu hanya menggunakan jumlah sampel yang kecil dan opsi antibiotik yang terbatas. Beberapa tahun belakangan, dua uji acak terkontrol baru yang melibatkan jumlah sampel yang lebih besar menunjukkan bahwa durasi penyembuhan tampak lebih baik pada pasien abses kulit yang diberi terapi tambahan berupa antibiotik sistemik (bersama insisi dan drainase).[7,8]
Pemilihan Antibiotik Sistemik pada Abses Kulit
Idealnya, kultur bakteri dari cairan abses harus dilakukan setelah insisi dan drainase untuk mendapatkan informasi mengenai bakteri penyebab pasti sebelum antibiotik diberikan. Namun, pada beberapa kasus, terapi empirik dapat diberikan terlebih dahulu. Terapi tersebut lalu bisa disesuaikan dengan hasil kultur bakteri dan tes kepekaan.
Antibiotik empirik yang dapat digunakan untuk abses kulit dan jaringan lunak menurut pedoman klinis dari Asosiasi Penanggulangan Penyakit Infeksi Amerika Serikat adalah trimetoprim-sulfametoksazol, doxycycline, vancomycin, daptomycin, linezolid, telavancin dan ceftaroline.[6]
Studi Superioritas Antibiotik Sistemik terhadap Plasebo pada Abses Kulit
Berbagai uji acak terkontrol dan meta analisis telah dilakukan untuk membandingkan efektivitas manajemen standar abses kulit (insisi dan drainase saja) dan manajemen standar yang ditambah dengan antibiotik sistemik.
Studi Talan, et al
Suatu studi randomized double blind control trial dilakukan untuk menentukan apakah antibiotik trimetoprim-sulfametoksazol yang diberikan selama 1 minggu lebih superior daripada plasebo pada pasien abses kulit tanpa komplikasi setelah insisi.
Hasil menunjukkan bahwa tingkat kesembuhan pasien pada kelompok antibiotik adalah 80,5%, sedangkan pada kelompok plasebo adalah 73,6%. Trimetoprim-sulfametoksazol mengurangi tingkat insisi ulang (3,4% vs 8,6%) dan mengurangi infeksi baru di tempat lain (3,1% vs 10,3%) dalam waktu 14 hari setelah terapi selesai. Namun, kelompok yang diberikan trimetoprim-sulfametoksazol mengalami gangguan saluran pencernaan lebih banyak daripada kelompok plasebo.[8]
Studi Daum, et al
Uji klinis acak terkontrol lain menilai penggunaan antibiotik trimetoprim-sulfametoksazol, clindamycin, dan plasebo pada pasien abses yang berukuran kecil (diameter <5 cm) yang telah menjalani insisi dan drainase. Sebanyak 786 pasien dilibatkan dalam studi tersebut, di mana 505 adalah pasien dewasa dan 281 adalah pasien anak-anak.
Hasil menunjukkan bahwa kesembuhan pada kelompok antibiotik (baik clindamycin maupun trimetoprim-sulfametoksazol) lebih tinggi secara signifikan bila dibandingkan dengan kelompok plasebo. Kesembuhan pada kelompok trimetoprim-sulfametoksazol serupa dengan kelompok clindamycin. Efek samping obat ditemukan lebih banyak pada grup clindamycin daripada grup trimetoprim-sulfametoksazol dan plasebo, tetapi semua efek samping tersebut hilang tanpa sekuele.[9]
Studi Gottlieb, et al
Suatu meta analisis telah dilakukan terhadap 4 uji acak terkontrol yang terdiri dari 2.406 partisipan dengan rentang usia 4–44 tahun. Uji-uji tersebut membandingkan tingkat kesembuhan pada kelompok pasien abses yang mendapatkan insisi dan antibiotik sistemik dan kelompok yang mendapatkan insisi dan plasebo. Tiga studi menggunakan trimetoprim-sulfametoksazol, sedangkan satu studi menggunakan clindamycin atau trimetoprim-sulfametoksazol.[9]
Hasil menunjukkan bahwa sekitar 49% abses disebabkan oleh MRSA, sekitar 16,3% disebabkan oleh methicillin-sensitive Staphylococcus aureus (MSSA), dan sisanya disebabkan bakteri lain. Ada 89 kasus gagal terapi (7,7%) pada kelompok antibiotik dan 150 kasus gagal terapi (16,1%) pada kelompok plasebo.[10-12]
Rekurensi infeksi atau timbulnya lesi baru di bagian tubuh yang lain ditemukan pada 68 pasien (6,2%) pada kelompok antibiotik dan 134 pasien (15,3%) pada kelompok plasebo dalam waktu 10–30 hari. Ada 327 (24,8%) kejadian efek samping obat pada kelompok antibiotik dan 233 (22,2%) pada kelompok plasebo.
Namun, efek samping yang dialami umumnya ringan, seperti gangguan pencernaan, ruam ringan, dan gejala sistemik seperti mengantuk dan sakit kepala. Diare terjadi pada 155 pasien (11,8%) pada kelompok antibiotik dan 118 pasien (11,2%) pada kelompok plasebo. Ada dua kasus reaksi hipersensitivitas terhadap obat antibiotik. Namun, tidak ada reaksi berat yang mengancam nyawa yang ditemukan pada kedua kelompok.[9-11]
Keterbatasan meta analisis ini adalah adanya perbedaan metode dan kriteria antar uji klinis, sehingga ada peningkatan risiko bias. Studi lebih lanjut dibutuhkan untuk menilai faktor apa saja yang memberikan manfaat lebih banyak dengan pemberian antibiotik sistemik pada pasien abses kulit dan jaringan lunak.[9-11]
Studi Wang, et al
Suatu tinjauan sistematik telah mempelajari 14 uji acak terkontrol dengan total 4.198 pasien abses kulit tanpa komplikasi. Hasil menunjukkan bahwa antibiotik menurunkan kegagalan terapi, rekurensi dalam sebulan, rekurensi dalam jangka waktu lama, dan angka rawat inap. Namun, antibiotik dapat menyebabkan efek samping gastrointestinal. Trimetoprim-sulfametoksazol dan clindamycin dilaporkan sama-sama efektif, tetapi sefalosporin mungkin tidak efektif.[2]
Kesimpulan
Pemberian antibiotik sistemik setelah insisi dan drainase pada pasien dengan abses kulit dan jaringan lunak masih bersifat kontroversial. Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa pemberian antibiotik sistemik pada pasien abses kulit dan jaringan lunak setelah insisi dan drainase dapat mempercepat penyembuhan dan mengurangi infeksi yang berulang. Hal ini diharapkan dapat menurunkan beban biaya medis pasien.
Antibiotik yang terutama telah banyak dibuktikan efektivitasnya untuk abses kulit dan jaringan lunak adalah trimetoprim-sulfametoksazol dan clindamycin. Akan tetapi, dokter harus tetap mempertimbangkan risiko efek samping antibiotik sistemik yang mungkin timbul. Dokter juga harus mempertimbangkan profil resistensi antibiotik setempat.
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur