Aspek Psikologis Bruksisme dan Pentingnya Alat Diagnostik Terstandar

Oleh :
dr.Soeklola Muliady SpKJ

Bruksisme atau bruxism sering dihubung-hubungkan dengan stres psikologis dan diagnosisnya memerlukan alat diagnostik terstandar. Bruksisme merupakan hiperaktivitas parafungsional otot mastikator, berupa gerakan repetitif yang dikenal sebagai Repetitive Masticatory Muscle Activity (RMMA) dan berlangsung secara tidak disadari. Bruksisme dapat berupa grinding (menggertakan gigi), gnashing (mengerot), bracing (menguatkan rahang), atau clenching (mengatupkan rahang dengan keras).[1-5]

Tanda klinis yang sering ditemui pada pasien berupa keausan gigi secara tidak normal, fraktur gigi, fraktur akar, gigi goyang, nyeri, hipertrofi otot wajah, disfungsi gerakan membuka mulut saat bangun tidur, sakit kepala terutama di area otot temporal, serta gangguan temporomandibular (TMD). Selain menyebabkan masalah pada rongga mulut, kondisi ini juga berdampak pada kualitas hidup, kualitas tidur, serta kondisi mental seseorang.[1,5-8]

Alat Diagnostik Psikologis Bruksisme

 

Berdasarkan ritme sirkadian, bruksisme dikategorikan menjadi sleep bruxism (SB) dan awake bruxism (AB). SB merupakan aktivitas otot mastikator selama tidur dengan karakteristik ritmik (fasik) atau non-ritmik (tonik), yang bukan bagian dari gangguan motorik pada individu sehat. Sementara itu, AB merupakan aktivitas otot mastikator selama terjaga berupa gerakan repetitif atau menetap yang menyebabkan gigi saling terasah akibat gerakan dorongan mandibula.[1,3-6,8]

Etiologi Bruksisme dan Kaitannya dengan Kesehatan Mental

Etiologi bruksisme bersifat multifaktorial dan kompleks. Gangguan kognitif, perubahan psikologis, dan gangguan perilaku dapat mencetuskan dan menjadi faktor presipitasi bruksisme. Studi neurofisiologis menunjukkan bahwa aktivitas bruksisme berkorelasi dengan peningkatan aktivitas sistem dopaminergik serta gangguan dalam modulasi neurotransmiter seperti serotonin dan GABA.

Dalam konteks kesehatan mental, sejumlah penelitian observasional dan longitudinal mengonfirmasi hubungan antara bruksisme dengan kondisi psikologis seperti stres, kecemasan, dan gangguan mood. Telah terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa prevalensi bruksisme lebih tinggi pada individu dengan skor yang tinggi dalam skala kecemasan dan stres psikososial.[1-5]

Peran Standardised Tool for the Assessment of Bruxism (STAB) dalam Manajemen Bruksisme

Standardised Tool for the Assessment of Bruxism (STAB) memiliki relevansi klinis yang tinggi dalam penatalaksanaan bruksisme karena memberikan pendekatan multidimensional untuk menilai status bruksisme, etiologi, dan komorbiditasnya. STAB mengintegrasikan data subjektif (laporan pasien), objektif (pemeriksaan klinis), dan data instrumental seperti EMG, yang memungkinkan identifikasi profil pasien secara individual dan dapat dipakai untuk merancang terapi yang tepat sasaran dan berbasis bukti.

STAB terdiri dari dua aksis, yaitu Aksis A dan B. Aksis A bertujuan untuk memeriksa status bruksisme dan konsekuensinya, meliputi self reported, pemeriksaan klinis, dan instrumen terhadap 14 domain. Sementara itu, aksis B bertujuan untuk mengevaluasi faktor risiko, etiologi, dan kondisi komorbid melalui informasi self reported pada lima domain.[5,8]

Aksis A

Bagian self-report dalam Aksis A terbagi ke dalam tiga domain, yakni sleep Bruxism (A1), awake Bruxism (A2), dan patient’s Complaints (A3). Domain A1 mengevaluasi kebiasaan grinding atau clenching saat tidur berdasarkan persepsi pasien. Penilaian ini mencakup kebiasaan dalam sebulan terakhir serta riwayatnya, menggunakan pertanyaan dari instrumen Oral Behaviour Checklist (OBC).

Domain A2 mengkaji empat perilaku utama bruksisme saat terjaga, yaitu grinding, clenching, contact teeth, dan mandibular bracing, juga dengan menilai kejadian terkini dan riwayat berdasarkan OBC. Penekanan pada riwayat kebiasaan membantu memahami pola perilaku jangka panjang pasien.

Sementara itu, domain A3 menggali keluhan yang berkaitan dengan bruksisme, termasuk gejala temporomandibular, seperti nyeri otot rahang, sakit kepala, keausan gigi, tinitus, mulut kering, dan drooling. Pertanyaan dalam domain ini sebagian besar diambil dari instrumen terstandar seperti Tooth Wear Evaluation System (TWES), Xerostomia Inventory, dan Radboud Oral Motor Inventory for Parkinson (ROMP).

Penilaian klinis oleh pemeriksa (examiner report) mencakup tiga domain, yakni sendi dan otot (A4), jaringan intra- dan ekstraoral (A5), serta gigi dan restorasi (A6). Pemeriksa mengevaluasi kondisi sendi temporomandibular, memeriksa hipertrofi otot masseter, jaringan lunak seperti linea alba dan bekas gigitan pada lidah, serta mengevaluasi keausan gigi dan kondisi restorasi.

Sementara itu, penilaian instrumental melibatkan pengukuran menggunakan perangkat seperti EMG untuk domain SB (A7) dan AB (A8). Untuk SB, EMG malam hari dan polisomnografi digunakan untuk menilai indeks frekuensi dan durasi aktivitas otot pengunyahan. Untuk AB, digunakan Ecological Momentary Assessment (EMA) yang memantau aktivitas otot selama 1 minggu. Domain A9 mencakup penggunaan instrumen tambahan seperti evaluasi keasaman intraoral sebagai indikator perubahan saliva akibat stres atau refluks.[8]

Akis B

Aksis B pada STAB bertujuan untuk mengevaluasi faktor risiko, etiologi, dan kondisi komorbid bruksisme melalui laporan mandiri pasien. Aksis ini terdiri dari lima domain: (B1) Psikososial, (B2) Kondisi Terkait Tidur, (B3) Kondisi Non-Tidur, (B4) Obat dan Substansi, dan (B5) Faktor Tambahan.

Pada domain B1, digunakan instrumen skrining gangguan kecemasan dan depresi dari Patient Health Questionnaire-4 serta Brief Resilient Coping Scale untuk menilai kemampuan koping pasien. Domain B2 mencakup berbagai pertanyaan skrining terhadap kondisi tidur terkait bruksisme, termasuk kuesioner STOP-BANG untuk mendeteksi sleep apnea. Posisi tidur juga dievaluasi karena dapat berpengaruh terhadap aktivitas bruksisme saat tidur.

Domain B3 menilai kondisi non-tidur yang mungkin berkaitan dengan bruksisme, seperti perilaku oral di siang hari, waktu penggunaan smartphone, serta keberadaan gangguan motorik. Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) juga ditapis menggunakan instrumen GERD-Q, dan pasien diminta melaporkan jika memiliki penyakit autoimun atau attention deficit hyperactivity disorder (ADHD).

Pada domain B4, pasien mengisi informasi tentang konsumsi obat-obatan, zat psikoaktif, atau substansi lain yang diketahui dapat memengaruhi aktivitas bruksisme. Selanjutnya, domain B5 menggali faktor riwayat keluarga yang relevan seperti adanya riwayat bruksisme, keausan gigi, obstructive sleep apnea, nyeri orofasial, atau GERD dalam keluarga.[8]

Cara Penggunaan Standardised Tool For the Assessment of Bruxism (STAB)

Dalam praktik klinis, dokter dapat memilih modul STAB sesuai kebutuhan pasien. Misalnya, untuk pasien dengan gejala ringan, cukup menggunakan modul self report dan pemeriksaan klinis. Untuk kasus kompleks atau refrakter, penambahan pemeriksaan instrumental dapat direkomendasikan.

Hasil dari masing-masing domain dalam STAB dianalisis untuk menentukan pola bruksisme pasien, derajat keparahan, serta faktor pencetus atau penyerta yang signifikan. Misalnya, bruksisme terkait stres psikologis memerlukan pendekatan berbeda dari bruksisme yang berhubungan dengan gangguan tidur atau konsumsi obat tertentu. Dengan demikian, STAB membantu merancang rencana perawatan yang personal menurut kondisi klinis masing-masing pasien.[8]

Kesimpulan

Bruksisme merupakan aktivitas parafungsional otot mastikator yang bersifat kompleks dan multifaktorial. Kondisi ini sering berkaitan dengan stres psikologis serta gangguan kesehatan mental lain, seperti kecemasan dan gangguan mood.

Standardised Tool for the Assessment of Bruxism (STAB) dapat digunakan untuk mengevaluasi pasien bruksisme secara komprehensif, dengan mengintegrasikan data subjektif, objektif, dan instrument. STAB memungkinkan klinisi mengidentifikasi pola bruksisme serta menentukan pendekatan terapi yang tepat dan individual. STAB diharapkan dapat meningkatkan akurasi diagnosis, memperbaiki perencanaan terapi, serta mendukung evaluasi jangka panjang terhadap kondisi pasien.

Referensi