Oksigen sering kali digunakan sebagai salah satu terapi penyakit akut tanpa aturan penggunaan yang jelas. Padahal, terdapat risiko bahaya penggunaan oksigen yang tidak perlu berupa reaksi inflamasi dan kerusakan sel akibat peningkatan reactive oxygen species (ROS).
Penggunaan oksigen pada penyakit tertentu sudah memiliki panduan mengenai volume aliran dan durasinya, misalnya pada sindrom koroner akut. Namun, untuk kebanyakan penyakit, penggunaannya tidak berdasar pada aturan pasti dan hanya berdasar kepada pengetahuan, pengalaman dan penilaian klinis dokter untuk menentukan pemberian oksigen pada pasien. Penilaian klinis seperti penampilan pasien yang sesak, tanda-tanda hipoksia dapat menjadi penanda bahwa pasien membutuhkan terapi oksigen. Sudah seharusnya oksigen dianggap sebagai obat dengan aturan indikasi, cara pemberian, dan dosis.
Oksigen banyak digunakan sebagai bagian terapi pasien akut. Pasien akut diartikan sebagai pasien dengan gejala penyakit tertentu yang masuk ke rumah sakit, bukan pasien yang sudah lama dirawat. Dalam penelitian ditemukan bahwa sebanyak 50 hingga 84% pasien yang mendapat terapi oksigen di rumah sakit mendapatkan terapi oksigen berlebihan sebagai upaya penatalaksanaan hipoksemia. Dalam sebuah penelitian di Inggris, ditemukan bahwa sebanyak 34% pasien dalam transport dengan ambulans, 25% pasien yang di ruang gawat darurat dan 15% dari semua pasien yang dirawat di rumah sakit mendapatkan terapi oksigen.[1]
Pada pasien dengan penyakit akut, dapat terjadi defisiensi oksigen pada tingkat sel. Defisiensi ini tidak selalu terjadi pada semua penyakit. defisiensi oksigen selular dapat terjadi karena penurunan ambilan oksigen di paru-paru, gangguan distribusi oksigen hingga mencapai sel organ vital atau perubahan sel yang mengakibatkan ketidakcocokan suplai dan kebutuhan oksigen sel.
Defisiensi oksigen selular ini dapat diatasi dengan pemberian oksigen liberal. selain itu, perlu juga dilakukan penatalaksanaan penyakit yang mendasari terjadinya defisiensi oksigen selular ini. Pada metabolisme sel, oksigen akan mendorong terjadinya metabolisme aerobik. Kondisi ini menjadi pembenaran pemberian suplementasi oksigen pada kondisi hipoksemia.
Pada kondisi penyakit akut yang tidak disertai defisiensi oksigen selular, pemberian oksigen tambahan menjadi berbahaya. Akibat penambahan suplementasi oksigen yang menjadi bahan bakar pada metabolisme aerobik pada kondisi tidak kekurangan oksigen dapat menyebabkan peningkatan produksi reactive oxygen species (ROS). Akibat peningkatan ROS dapat terjadi inflamasi, kerusakan sel dan perubahan fisiologis lainnya. Perubahan yang terjadi, termasuk inflamasi dan kerusakan sel, akan menyebabkan penggunaan energi sel, sangat berkebalikan dari tujuan pemberian suplementasi oksigen.[2]
Bukti Ilmiah mengenai Penggunaan Oksigen pada Pasien Akut
Penelitian yang sudah ada belum dapat mencapai kesimpulan yang sama apakah penggunaan suplementasi oksigen memiliki dampak positif pada kesembuhan pasien. Sebuah meta analisis melakukan analisis untuk mengetahui efikasi dan keamanan penggunaan oksigen liberal dibandingkan penggunaan oksigen konvensional. Oksigen liberal diartikan dengan pemberian oksigen secara eksesif, baik volume aliran dan metode pemberiannya.
Penelitian ini mengikutkan berbagai metode oksigen liberal tanpa batasan operasional yang jelas. Pada akhir pencarian, studi literatur ini mengikutsertakan 26 studi dalam pembahasannya dengan melibatkan total sebanyak 16037 pasien. Pasien dalam studi ini memiliki rentang usia 28-76 tahun. Beberapa penyakit akut yang dimasukkan dalam studi adalah penyakit kritis, trauma, sepsis, stroke, infark miokard, henti jantung, dan pasien dengan operasi segera.
Beberapa studi mengeksklusi pasien yang mengalami hipoksemia pada awal studi, sedang penelitian lainnya hanya mengeksklusi pasien yang mengalami hipoksemia berat. Pada studi ini menemukan nilai rerata fraksi oksigen pada pemberian oksigen liberal adalah 52% (28-100%) dengan pemberian rerata mencapai 8 jam. Sedangkan pada kelompok yang mendapat terapi oksigen konservatif, nilai rerata fraksi oksigen adalah 21% (21-50%).[3]
Studi ini menemukan bahwa terjadi peningkatan risiko kematian pada kelompok pasien yang mendapat oksigen liberal sebesar 1.21 kali dibanding dengan terapi konvensional di rumah sakit. Pada follow up 30 hari pasca penggunaan oksigen liberal terdapat peningkatan risiko kematian sebesar 1,14 kali sedangkan pada 3 bulan pasca penggunaan oksigen peningkatan risiko kematian pada penggunaan oksigen liberal menjadi 1,1 kali.
Analisis lanjutan menemukan bahwa pada penggunaan oksigen liberal, peningkatan saturasi oksigen berhubungan dengan peningkatan kematian selama perawatan sebesar 1,21 kali dan kematian 3 bulan follow up sebesar 1,17 kali. Hubungan penggunaan oksigen dengan kematian tidak dipengaruhi oleh tempat perawatan pasien, metode pemberian oksigen, durasi penggunaan oksigen, atau kondisi hipoksemia sebelum pasien mendapatkan terapi oksigen.
Ketika dilakukan analisis dengan memperhitungkan proporsi individu yang ikut serta dalam penelitian ditemukan bahwa peningkatan kematian absolut yang dihubungkan dengan penggunaan suplementasi oksigen adalah 1,1 kali selama perawatan, 1,4 kali pada 30 hari follow up dan 1,2 kali pada 3 bulan follow up. Tidak ditemukan perbedaan kecacatan yang terjadi pada pasien stroke atau trauma otak pada follow up 3 hingga 6 bulan pada kedua kelompok penggunaan oksigen.[3]
Analisis terhadap beberapa kondisi medis juga dilakukan. Studi ini tidak menemukan adanya perbedaan risiko infeksi pada kedua kelompok perlakuan. Analisis terhadap studi yang melibatkan pasien yang menjalani operasi emergensi, ditemukan adanya penurunan risiko kejadian infeksi nosokomial pada pasien yang mendapat oksigen liberal.
Walaupun demikian, tidak ditemukan bukti yang cukup untuk mendukung hasil analisis ini karena studi tersebut rawan akan bias. Selain itu juga, tidak ditemukan perbedaan risiko infeksi pneumonia nosokomial (hospital acquired pneumonia / HAP) pada kedua kelompok. Tidak terdapat perbedaan lama rawat pada penggunaan suplementasi oksigen dibanding terapi oksigen konvensional.[3]
Bahaya Penggunaan Oksigen pada Penyakit Akut
Suplementasi oksigen berlebihan ditemukan menunjukkan efek yang membahayakan pada manusia. Penelitian sebelumnya pada manusia dan hewan menemukan pemberian oksigen berlebihan seperti pada kondisi hiperoksia dapat menyebabkan vasokontriksi, inflamasi dan stress oksidatif pada sistem kardiovaskular, pulmonar dan sistem saraf pusat. Perubahan pada saturasi oksigen dapat menyebabkan peningkatan parsial oksigen dalam hemoglobin.[1]
Beberapa studi menemukan bahwa pemberian oksigen di antaranya meningkatkan risiko gagal nafas, episode baru syok, infark miokardium berulang, aritmia. Pemberian suplementasi oksigen juga dapat menurunkan kewaspadaan pasien dan pengenalan gejala deteriorasi pada pasien karena pemberian suplementasi oksigen dapat memberikan hasil pemeriksaan saturasi oksigen yang salah.[3]
Pentingnya Menentukan Batas Atas Saturasi Oksigen yang Memerlukan Terapi Oksigen
Salah satu kesimpulan penting yang dapat diambil dari meta analisis ini adalah pentingnya menentukan batas atas saturasi oksigen dengan keuntungan melebihi risiko pemberian suplementasi oksigen. Penentuan ini lebih penting dibanding menemukan rentang saturasi oksigen sebelum pasien mengalami hipoksemia dan hiperoksimia. Penelitian ini menemukan bahwa saturasi oksigen pada 94 hingga 96% adalah batas atas yang dapat digunakan secara klinis.[3]
Sebuah meta analisis dilakukan tahun 2014 melibatkan 17 penelitian yang dipublikasikan pada tahun 2008 hingga 2014. Meta analisis ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara hiperoksia arteri dengan kematian pada pasien penyakit kritis. Studi ini menemukan bahwa pasien yang diresusitasi dengan henti jantung dan mengalami hiperoksia arteri memiliki tingkat kematian di rumah sakit yang lebih tinggi.
Hubungan kematian dengan hiperoksia tidak dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, penundaan pengembalian sirkulasi spontan, prevalensi irama awal shockable, dan kejadian henti jantung di luar rumah sakit. Pada pasien stroke ditemukan bahwa terdapat hubungan antara hiperoksia dengan kematian pasien di rumah sakit. Hasil yang sama juga ditemukan pada pasien dengan cedera otak. Hubungan ini tidak dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin pasien. Namun pada pasien dengan ventilator, hubungan antara hiperoksia dengan kematian di rumah sakit tidak konsisten.[4]
Meta analisis lain dilakukan pada tahun 2015 melibatkan 19 penelitian sejak tahun 2008-2015 dengan 49389 pasien. Meta analisis ini bertujuan untuk mengetahui efek hiperoksia pada pasien dengan penyakit kritis. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat peningkatan risiko kematian di rumah sakit pada hiperoksia sebesar 1,38. Risiko kematian ini tidak dipengaruhi diagnosis pasien saat masuk ke rumah sakit.
Penelitian ini juga menemukan bahwa hiperoksia arteri berhubungan dengan waktu perawatan di rumah sakit kurang dari 7 hari pada pasien stroke. Luaran sekunder lainnya, seperti kematian di ICU, kematian dalam 6 bulan, dan kegagalan memulangkan pasien ditemukan tidak berhubungan kejadian hipoksia arteri. Studi ini menyimpulkan bahwa hiperoksia arteri berhubungan dengan luaran pasien yang lebih buruk pada pasien dengan penyakit kritis. Luaran pasien berhubungan dengan derajat hiperoksia dan berhubungan dengan kelompok diagnosis tertentu.[5]
Keuntungan Pemberian Oksigen Liberal pada Kondisi Tertentu
Namun demikian, pemberian oksigen liberal yang dapat menyebabkan terjadinya hiperoksia dapat menguntungkan pada kondisi tertentu. Sebuah penelitian menemukan bahwa pemberian oksigen 100% dalam jangka waktu yang singkat dapat meningkatkan produksi eritropoetin endogen sehingga meningkatkan konsentrasi hemoglobin.
Pada pasien pasca operasi jantung, pemberian oksigen 100% selama 2 jam segara setelah perawatan di ICU meningkatan kadar eritropoetin darah 3 kali lipat. Sebuah studi menyimpulkan bahwa hiperoksia meningkatkan oksigenasi jaringan dan paparan pada hiperoksia jangka pendek aman.
Hiperoksia juga dapat membantu stabilisasi hemodinamik selama syok distributif karena memiliki efek vasokonstriksi. Hiperoksia juga dapat membatasi inflamasi yang terjadi pada syok sepsis karena efek antiinflamatori dan fungsi antimikrobanya. Studi ini juga menyarankan pemberian ventilasi pada 12-24 jam pertama syok sepsis.[6]
Kesimpulan
Terapi oksigen adalah salah satu modalitas terapi yang dalam banyak kondisi tidak diatur penggunaannya, baik indikasi, cara pemberian, maupun dosisnya. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk bisa menentukan dosis yang tepat dengan manfaat yang melebihi risiko pemberian oksigen. Sementara itu, dokter harus menyadari risiko bahaya pemberian oksigen dan menghindari pemberian oksigen tanpa indikasi yang jelas.
Terapi oksigen yang diberikan kepada pasien juga perlu dipantau dan segera dihentikan jika pasien tidak lagi mengalami hipoksia. Fasilitas kesehatan juga sebaiknya memperlakukan oksigen sebagai obat yang perlu diresepkan untuk membantu meregulasi penggunaannya.