Beberapa penelitian menyebutkan bahwa manfaat yang didapatkan dari obat antidepresan maupun cognitive behavioral therapy (CBT) adalah sama. Obat antidepresan merupakan terapi lini pertama dalam berbagai pedoman penatalaksanaan depresi, terutama pada kasus depresi sedang sampai berat. Namun, sebagian pasien yang mendapatkan obat antidepresan tidak menunjukkan respon yang adekuat, bahkan terdapat pasien yang dikategorikan dalam treatment resistant depression.[1]
Rasionalitas Penatalaksanaan Depresi dengan Obat Antidepresan
Penggunaan obat antidepresan diawali dengan ditemukannya properti psikoaktif dari iproniazid yang masuk ke dalam kelas monoamine oxidase inhibitor (MAOI) dan imipramine, yang termasuk golongan trisiklik (TCA). Saat, ini golongan MAOI sudah jarang digunakan, karena efek sampingnya. Namun, golongan TCA masih banyak digunakan di Indonesia.[2]
Sekitar tahun 1980, terdapat antidepresan golongan baru yang diperkenalkan, di antaranya selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI), contohnya fluoxetine dan sertraline. Golongan obat ini lebih dapat diterima, terutama dalam hal keamanan dan tolerabilitasnya.[2]
Namun, mayoritas pasien depresi tidak mendapatkan manfaat dari antidepresan yang pertama kali diterimanya. Berbagai pedoman klinis telah tersedia untuk membantu dokter meresepkan antidepresan yang sesuai, tetapi peresepan antidepresan yang tepat masih sulit dicapai. Selain itu, tingkat remisi obat antidepresan sebagai monoterapi relatif rendah, sekitar 30%.[3]
Keterbatasan farmakoterapi untuk depresi yang ada saat ini adalah onset yang lambat dan efikasi yang relatif rendah. Terapi depresi dengan obat antidepresan membutuhkan durasi panjang sehingga menimbulkan berbagai efek jangka panjang, seperti pertambahan berat badan, perdarahan gastrointestinal, stroke, disfungsi seksual, emosi tumpul, dan gangguan tidur.[4–6]
Masalah lain yang mungkin timbul adalah resistensi terhadap terapi obat antidepresan atau treatment resistant depression (TRD). Definisi TRD yang paling sering digunakan adalah kegagalan 2 siklus/trials antidepresan dalam memperbaiki gejala depresi. Diperkirakan, 1 dari 3 pasien depresi gagal mencapai remisi meskipun telah mengonsumsi antidepresan.[7]
Rasionalitas Penatalaksanaan Depresi dengan Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Tujuan dari psikoterapi, seperti cognitive behavioral therapy (CBT), adalah mengidentifikasi bagaimana faktor-faktor yang terjadi di masa lalu dan masa kini bisa mempengaruhi kondisi depresi saat ini, sekaligus mengajari pasien bagaimana mengatasi faktor-faktor ini secara efektif.[5]
CBT mengkombinasikan prinsip-prinsip perilaku dan kognitif dasar. Secara singkat, teknik ini akan membantu pasien memahami pikiran, mood, dan perilaku mereka saling berinteraksi untuk menimbulkan atau memperberat depresi. Pasien diajari untuk merubah dan mengganti pikiran dan perilaku disfungsional dengan pikiran dan perilaku yang lebih adaptif yang bisa mengurangi stress dan memperbaiki mood.[5]
Metaanalisis oleh Cuijpers et al pada tahun 2016 bertujuan untuk mengestimasi efek CBT pada depresi mayor, gangguan cemas menyeluruh, gangguan panik, dan social anxiety disorder (SAD). Metaanalisis ini mendapatkan CBT memiliki efek yang cukup kuat, yaitu g=0,75 untuk depresi mayor.[8]
Tinjauan sistematis Cochrane pada tahun 2018 juga melaporkan bahwa psikoterapi efektif digunakan sebagai adjunct therapy pada kasus-kasus depresi. Studi tersebut melakukan analisa spesifik untuk CBT, dan menemukan bahwa penambahan CBT berhubungan dengan penurunan skor depresi pada jangka sedang, yaitu dalam 12 bulan, dan jangka panjang, yaitu dalam 46 bulan.[9]
Kombinasi CBT dan Obat Antidepresan
Dalam sejumlah pedoman penatalaksanaan untuk depresi, direkomendasikan kombinasi antara obat antidepresan dan CBT dalam terapi untuk depresi. Sampai saat ini, belum ada penelitian yang membuktikan apakah keduanya mempunyai efek terapeutik yang saling melengkapi atau mempunyai efek terpisah.
Tinjauan sistematis Cochrane tahun 2018 melaporkan bahwa penambahan psikoterapi ke dalam regimen terapi standar dengan obat antidepresan, memberikan manfaat terhadap response dan remission rate pasien dengan depresi, bahkan pada pasien dengan treatment resistant depression. Namun, analisa yang dilakukan tidak terbatas pada penggunaan CBT saja, tapi juga modalitas psikoterapi lainnya pada depresi.[9]
Pada tahun 2019, Dunlop et al memberikan terapi tambahan pada kelompok yang tidak mencapai remisi dengan monoterapi saja. Pada kelompok nonremisi dengan antidepresan saja, diberikan tambahan CBT, atau disebut kelompok MED+CBT. Pada kelompok nonremisi dengan CBT saja, diberikan tambahan escitalopram, atau disebut kelompok CBT+MED.[10]
Dari seluruh pasien nonremisi, tingkat remisi ditemukan lebih tinggi pada pasien yang menerima terapi kombinasi, dibandingkan pasien yang tidak bersedia menerima terapi kombinasi, yaitu 61% vs 41%. Tingkat remisi didapatkan lebih tinggi pada kelompok CBT+MED, yaitu 89%, daripada kelompok MED+CBT, yaitu 53%. Berdasarkan hasil studi, dapat disimpulkan bahwa kombinasi terapi dengan antidepresan dan CBT lebih efektif untuk mencapai remisi, dibandingkan monoterapi.[10]
Untuk depresi sedang sampai berat, terapi yang direkomendasikan adalah kombinasi psikoterapi dengan antidepresan. Sementara untuk depresi ringan, terapi lini pertama adalah psikoterapi.[11]
Kekurangan dari farmakoterapi adalah efek terapeutiknya berakhir setelah obat dihentikan, sedangkan CBT mengajarkan kepada pasien untuk mengatasi masalahnya sendiri. Sekitar 75% pasien yang pernah mengalami depresi berat akan mengalami relaps setidaknya satu kali dalam hidupnya. Oleh sebab itu, CBT merupakan salah satu modalitas terapi yang bisa digunakan dalam menghadapi hal ini.[12]
Kesimpulan
CBT maupun obat antidepresan mempunyai efektifitas yang cukup setara dalam penatalaksanaan depresi. Kedua modalitas terapi ini sebaiknya tersedia dan diberikan sebagai pilihan kepada pasien. Hasil penelitian lebih banyak merekomendasikan CBT dan obat antidepresan sebagai terapi kombinasi. CBT juga akan lebih baik digunakan sebagai modalitas dalam pencegahan relaps depresi.
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra