Pengertian chronic fatigue syndrome (CFS) sampai sekarang masih dipertanyakan oleh banyak klinisi. Tidak adanya alat diagnosis dan terapi spesifik membuat klinisi mempertanyakan apakah chronic fatigue syndrome merupakan penyakit nyata atau hanya kumpulan gejala.
Berdasarkan World Health Organization (WHO), chronic fatigue syndrome merupakan penyakit kronis dengan etiologi yang belum diketahui pasti. Penyakit in terutama menyerang orang dewasa, dengan awitan usia antara 20–45 tahun. Prevalensi penyakit ini lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki, sebanyak 3 kali lipat. Chronic fatigue syndrome (CFS) dikenal juga sebagai myalgic encephalomyelitis.
Diagnosis CFS dilakukan berdasarkan gejala, dan belum ada pemeriksaan penunjang yang dapat menegakkan diagnosis secara pasti. Selain itu, sampai sekarang juga belum terdapat terapi spesifik untuk CFS yang menyebabkan kurangnya kepuasan pasien terhadap terapi.[1,2]
Etiologi dan Patofisiologi Chronic Fatigue Syndrome
Mekanisme terjadinya chronic fatigue syndrome (CFS) masih belum diketahui sepenuhnya. Akibatnya, banyak klinisi menduga penyakit ini adalah komplikasi dari suatu gangguan psikologis. Namun, studi-studi terbaru melaporkan adanya temuan gangguan spesifik pada pasien CFS.
Sistem Imun
Terdapat hipotesis bahwa perubahan pada sistem saraf pusat menyebabkan adanya respons abnormal terhadap antigen. Terjadi aktivasi sel-sel sistem imun, serta peningkatan jalur oksidatif dan nitrosatif. Selain itu, ada gangguan neuroendokrin, dan aktivasi respon autoimun terhadap protein antigen.
Beberapa studi melaporkan adanya kondisi inflamasi derajat rendah pada CFS. Hal ini ditandai dengan peningkatan produksi nuclear factor kB (NF-κB), siklooksigenase-2 (COX-2), dan inducible nitric oxide synthase (iNOS). Tidak hanya itu, ditemukan juga peningkatan sitokin proinflamasi, seperti IL-1, IL-4, IL-5, IL-6, and IL-12, dan penurunan IL-8, IL-13, and IL-15.[2,3]
Perubahan Sistem Saraf Pusat
CFS merupakan penyakit yang sangat mengganggu pasien, berhubungan dengan gejala neuropsikologis yang terjadi. Gejalanya antara lain, gangguan kognitif, penurunan alertness, gangguan memori dan konsentrasi, serta gejala depresi. Tidak hanya itu, pasien juga mungkin merasakan sakit pada kepala, otot-otot, dan persendian.
Sebuah studi mendapatkan penurunan volume dari korteks prefrontal kanan berasosiasi dengan beratnya fatigue dan penurunan status fungsional. Uji fungsi kognitif menemukan adanya sedikit perubahan yang signifikan. Perubahan yang terjadi meliputi bertambah lambatnya pemrosesan informasi, gangguan memori, dan kemampuan belajar yang tidak baik.[4,5]
Perubahan Metabolik
Studi metabolomik menemukan pasien CFS memiliki kadar berbagai metabolit yang lebih rendah dibandingkan orang normal, menyerupai keadaan hibernasi. Terdapat juga gangguan produksi energi seluler dari seluruh sumber, yaitu oksigen, glukosa, lipid, dan asam amino. Gejala kelelahan dan kekurangan energi pada CFS mungkin disebabkan sel-sel tubuh pasien CFS mengalami gangguan dalam menghasilkan dan menggunakan energi.[6]
Infeksi Virus
Infeksi virus, misalnya Epstein-Barr virus (EBV), human herpesvirus (HHV)-6, dan human parvovirus B19 diduga berhubungan dengan terjadinya CSF. Pada beberapa pasien, munculnya penyakit, misalnya mononukleosis, dapat mencetuskan proses penyakit.
Beberapa penelitian melaporkan adanya antibodi anti-HHV-6-IgM dan antigen HHV-6 pada darah perifer pasien dengan CSF, dibandingkan populasi umum. Hal tersebut menandakan adanya prevalensi yang lebih tinggi dan reaktivasi virus pada kelompok ini. Selain HHV-6, parvovirus B19 juga dilaporkan mencetuskan terjadinya CFS. pada pasien-pasien ini ditemukan nilai tumor necrosis factor and interferon-gamma yang lebih tinggi.[7–9]
Genetik
Faktor genetik diduga berperan dalam terjadinya CFS. Hasil beberapa studi mendapatkan bahwa riwayat keluarga memengaruhi kerentanan seseorang terkena CFS. Studi pada populasi kembar menunjukkan angka CFS yang lebih tinggi pada kembar identik, daripada kembar fraternal. Namun, gen spesifik yang berperan belum dapat diidentifikasi.[10,11]
Kriteria Diagnosis Chronic Fatigue Syndrome
Selama ini, diagnosis chronic fatigue syndrome (CFS) ditentukan berdasarkan kriteria diagnosis yang menggunakan kumpulan gejala-gejala. Kriteria diagnosis yang paling sering digunakan adalah kriteria dari Institute of Medicine (IOM).[1,10]
Kriteria diagnosis ini diciptakan dengan tujuan memberikan kemudahan para peneliti untuk melakukan studi mengenai kondisi ini lebih lanjut. Oleh karena itu, adanya kriteria diagnosis ini tidak bertujuan untuk menunjukkan bahwa CFS adalah sebuah penyakit, melainkan hanya untuk penelitian semata.[1]
Dengan bantuan kriteria diagnosis ini, studi-studi sudah selangkah lebih maju untuk menemukan etiologi dari keadaan ini. Namun, belum terdapat pemeriksaan diagnostik pasti untuk diagnosis CFS. Walaupun beberapa studi sudah menemukan adanya gangguan biologis pada pasien CFS yang membedakannya dengan gangguan psikologis, tetapi parameter diagnostik yang sensitif dan spesifik untuk CFS belum ditemukan.[1]
Diagnosis chronic fatigue syndrome dapat ditegakkan apabila ditemukan 3 gejala wajib ditambah dengan 1 atau 2 gejala klinis tambahan.[1,10]
Tiga gejala yang harus terpenuhi adalah:
- Penurunan atau gangguan yang substansial untuk menjalankan aktivitas yang mudah dilakukan sebelum onset sakit (dalam pekerjaan, pendidikan, kehidupan sosial, dan kehidupan pribadi) yang terjadi selama 6 bulan serta disertai dengan kelelahan yang seringkali berat, new onset, tidak disebabkan oleh aktivitas yang berat, dan tidak membaik dengan istirahat
Post-exertional malaise (PEM), yaitu gejala memburuk setelah aktivitas fisik, mental, atau emosional yang berat, yang sebelumnya tidak menyebabkan gangguan
- Tidur yang tidak berkualitas, yang berarti kelelahan tidak membaik atau berkurang dengan tidur yang cukup walaupun tidak terdapat gangguan tidur apapun [1,10]
Gejala di atas ditambah dengan 1 atau 2 gejala klinis berikut :
- Gangguan kognitif, ditandai dengan masalah dalam proses berpikir, memori, fungsi eksekutif, dan pengolahan informasi, serta defisit pemusatan perhatian dan gangguan fungsi motorik. Gejala dapat dipicu oleh aktivitas, postur tegap dalam waktu lama, stres, dan dapat mempengaruhi kemampuan pasien dalam bekerja atau sekolah.
- Intoleransi ortostatik, berupa gejala yang memburuk saat diminta mempertahankan posisi tubuh tegap. Hal ini diukur secara objektif dengan peningkatan denyut nadi dan abnormalitas tekanan darah. Gejala ortostatik dapat meliputi rasa melayang, pingsan, nyeri kepala, ataupun mual. Gejala dapat membaik dengan berbaring [1,10]
Chronic Fatigue Syndrome, Gejala Atau Penyakit?
Sampai sekarang, banyak klinisi yang masih memperdebatkan status chronic fatigue syndrome (CFS) sebagai penyakit. Mereka berpendapat bahwa sebenarnya CFS hanya kondisi yang lebih berat dari gejala fatigue kronis. Kriteria diagnosis CFS juga hanya menggunakan keluhan-keluhan tanpa adanya pemeriksaan diagnostik pasti.[6,12]
Beberapa studi sudah berhasil mengidentifikasi adanya etiologi dan patofisiologi yang diduga berhubungan dengan CFS. Penemuan ini menunjukkan bahwa terdapat kelainan biologis pada CFS yang membedakan keadaan ini dengan penyakit lainnya, dan memungkinkan CFS dapat dianggap sebagai penyakit kedepannya. Komite IOM juga berpendapat sama dan mengusulkan terminologi baru CFS, yaitu “penyakit intoleransi eksersi sistemik”.[2,6,12]
Masih banyak aspek yang perlu diteliti untuk mengakhiri kontroversi mengenai CFS. Studi mengenai etiologi utama dan patofisiologi CFS masih perlu lebih dikembangkan. Pengetahuan mengenai mekanisme CFS dapat membuka peluang untuk ditemukannya penanda CFS yang sensitif dan spesifik, serta tata laksana yang bersifat kuratif.[2,6,12]
Kesimpulan
Chronic fatigue syndrome (CFS) sampai sekarang masih banyak diperdebatkan oleh klinisi. Sebagian menganggap CFS sebagai suatu penyakit, sebagian lainnya tidak. Perdebatan ini disebabkan oleh kurangnya pemeriksaan penunjang yang dapat mendiagnosis CFS dengan pasti dan belum ditemukan adanya terapi spesifik yang sifatnya kuratif.
Berbagai penelitian terbaru mulai menemukan etiologi dan patofisiologi yang membedakan CFS dari penyakit lainnya, sehingga kedepannya mungkin CFS dapat dianggap sebagai diagnosis tersendiri. Namun, masih banyak aspek lain yang membutuhkan penelitian terkait CFS, di antaranya tes diagnostik, penanda yang tervalidasi, serta tata laksana kuratif.
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra