Adakah Manfaat dari Penggunaan Pemanis Pengganti Gula

Oleh :
dr.Kurnia Agustina Sitompul, M.Gizi, Sp.GK

Stevia, sucralose, saccharin, aspartame, erythritol, dan banyak pemanis pengganti gula diiklankan sebagai alternatif yang lebih baik bagi kesehatan. Meski demikian, pendapat ini masih menuai perdebatan karena ada banyak studi yang menunjukkan bahwa penggunaan pemanis pengganti gula tidak memiliki manfaat tambahan.

Konsumsi gula berlebih diketahui menjadi salah satu faktor risiko meningkatnya kejadian obesitas, diabetes mellitus tipe 2 (DMT2), gangguan gigi geligi, keganasan, dan penyakit kardiovaskuler. Dengan demikian, World Health Organization (WHO) mengeluarkan rekomendasi pembatasan gula setidaknya kurang dari 10% total kebutuhan energi harian. Bahkan, untuk mendapatkan efek lebih menguntungkan terhadap kesehatan, pembatasan gula hingga di bawah 5% atau sekitar 6 sendok teh (sekitar 25 gram) sangat disarankan.

PemanisPenggantiGula

Efek buruk konsumsi gula mencetuskan terciptanya alternatif pengganti gula, yang disebut pemanis. Walaupun badan otoritas kesehatan menyatakan konsumsi pemanis tersebut aman, namun konsumsi pemanis tetap kontroversial sehingga rekomendasi konsumsinya sering mengalami peninjauan ulang.[1-3]

Tentang Bahan Pemanis Pengganti Gula

Pemanis adalah semua zat atau substansi additif, selain monosakarida, disakarida, oligosakarida atau gula, yang dapat memberikan rasa manis khas pada produk-produk berbagai industri, terutama industri makanan. Pemanis buatan juga dikenal sebagai pemanis tanpa nutrisi.[4,5]

Pengaturan Peredaran Bahan Pemanis Pengganti Gula

Tidak ada pengaturan khusus mengenai klasifikasi pemanis. Ada beberapa faktor yang menjadi dasar penggolongan, seperti kandungan kalori (dibedakan menjadi pemanis berkalori dan non-kalori), serta sumber pemanis (dibedakan menjadi pemanis yang alami dan buatan).

Di Amerika Serikat, FDA mengakui enam jenis pemanis buatan yaitu sakarin, aspartam, acesulfame potassium (ace-K), sukralosa, neotam, dan advantam. Selain itu, FDA juga mengakui tiga jenis tanaman yang dianggap aman serta memiliki rasa manis layaknya gula dan pemanis buatan, seperti stevia, Luo Han Guo (Swingle fruit), dan thaumatin.[4,6]

Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM-RI) menyatakan pemanis termasuk dalam bahan tambahan pangan (BTP) yang berbentuk granul, serbuk, tablet atau cair yang siap dikonsumsi sebagai produk akhir, dikemas dalam kemasan sekali pakai. BPOM-RI membagi pemanis menjadi dua, yaitu:

  • Pemanis alami yang terdiri dari sorbitol, manitol, isomalt, thaumatin, steviol glikosida, maltitol, laktitol, silitol dan eritritol
  • Pemanis buatan terdiri dari ace-K, aspartam, siklamat, sakarin, sukralosa, dan neotam[7]

Absorpsi dan Metabolisme Bahan Pemanis Pengganti Gula

Pada awalnya, keuntungan bahan pemanis terhadap kesehatan muncul karena senyawa ini dinyatakan tidak dimetabolisme oleh tubuh. Namun, studi spektrometri terbaru menunjukkan beberapa pemanis dapat dimetabolisme oleh bakteri usus, diserap secara sistemik, bahkan diekskresikan lewat urin.[8]

Absorpsi dan Metabolisme Sakarin

Sebanyak 85% sakarin akan diserap di usus kecil, berikatan dengan protein lalu didistribusikan. Penyerapan sakarin berbeda-beda tergantung pH lambung. Penyerapan akan optimal pada manusia karena memiliki pH lambung cenderung rendah dibandingkan tikus atau mencit.[8]

Absorpsi dan Metabolisme Acesulfame Potassium (Ace-K)

Ace-K sendiri dapat diserap sempurna dalam usus kecil dan didistribusikan ke berbagai jaringan tubuh.[8]

Absorpsi dan Metabolisme Sukralosa

Sukralosa diserap tidak sempurna dalam saluran pencernaan serta dapat dikeluarkan utuh dalam feses (70-90%) dan urin (14,5%).[8]

Absorpsi dan Metabolisme Steviol Glikosida

Steviol glikosida tidak dapat dihidrolisis oleh asam maupun enzim saluran cerna atas. Sementara itu, di kolon dinyatakan dapat dihidrolisis menjadi steviol hanya oleh Bacteroides saja, sehingga dianggap resisten terhadap degradasi bakteri.[8]

Absorpsi dan Metabolisme Aspartam

Aspartam sendiri akan dihidrolisis dan diserap pada saluran pencernaan lewat proses esterase dan peptidase. Proses metabolisme akan melepaskan metanol (10%), asam aspartat (40%) dan fenilalanin (50%) yang akan diserap di mukosa saluran cerna. Ketiga substansi hasil metabolisme ini diketahui dapat merusak hepatosit.

Selama proses metabolisme juga terbentuk radikal bebas yang menyebabkan denaturasi protein serta perubahan enzimatik tubuh. Lebih lanjut, individu dengan gangguan fenilketonuria perlu berhati-hati, karena fenilalanin menjadi produk metabolisme utama dari aspartam.[5]

Rekomendasi Konsumsi Bahan Pemanis Pengganti Gula

Berdasarkan BPOM-RI, asupan aspartam yang dapat ditoleransi (acceptable daily intake, ADI) pada manusia adalah 0-40 mg/kg. Sementara itu, di Amerika Serikat sebesar 50 mg/kg untuk individu dewasa maupun anak-anak.

Batasan yang dapat ditoleransi untuk steviol glikosida di Indonesia adalah 0-4 mg/kg. Di sisi lain, batasan untuk ace-K dan sakarin adalah 0-15 mg/kg dan 0-5 mg/kg.[5,7]

Efek Bahan Pemanis Pengganti Gula terhadap Kesehatan

Pemanis alami maupun buatan memiliki tujuan yang sama, yaitu memberikan rasa manis tanpa meningkatkan asupan kalori dalam diet. Pemakaian pemanis alami lebih banyak digunakan karena dianggap lebih aman. Beberapa jenis pemanis dari sumber alami seperti stevia (Stevia rebaudiana) dan monk fruit (Siraitia grosvenorii) dinyatakan memiliki efek menguntungkan seperti anti-kanker, antioksidan, antiinflamasi, antidiabetes, dan memperbaiki obesitas.[9]

Efek Buruk Kardiovaskuler

Berbeda dengan pemanis alami, efek kesehatan pemanis buatan justru masih kontroversial. Terdapat penelitian yang menyatakan konsumsi pemanis buatan justru menyebabkan gangguan kesehatan. Dalam sebuah kohort terhadap lebih dari 103.000 individu dewasa, terdapat 3 macam pemanis yang dikonsumsi, yaitu aspartam, ace-K, dan sukralosa. Ada pula partisipan yang mengonsumsi jenis lain, namun dengan jumlah cukup rendah, sekitar 7,1%.[3,10]

Selama masa follow up rata-rata 9 tahun penelitian tersebut, terdapat 1.502 insiden penyakit kardiovaskuler yang dilaporkan. Total asupan pemanis buatan dinyatakan berhubungan bermakna dengan tingginya risiko penyakit kardiovaskuler. Secara khusus, pemanis jenis aspartam berhubungan dengan kejadian serebrovaskular, ace-K dengan kejadian serebrovaskular, dan sukralosa dengan peningkatan penyakit jantung koroner.[3]

Peningkatan Risiko Keganasan

Selain gangguan kardiovaskuler, penelitian kohort yang dikenal sebagai studi NutriNet-Santé ini juga menyatakan adanya hubungan asupan pemanis buatan terhadap keganasan. Selama masa follow up, terdapat 3.358 diagnosis kanker ditegakkan, dengan 982 kasus kanker payudara, 403 kanker prostat, dan 2.023 kanker terkait obesitas.

Secara khusus, insidensi kanker dikaitkan dengan asupan aspartam, karena secara statistik berhubungan bermakna dengan peningkatan risiko kanker payudara dan kanker terkait obesitas. Mekanisme yang berpotensi diperkirakan berhubungan dengan proses inflamasi, angiogenesis, kerusakan DNA, serta gangguan inhibisi dan apoptosis. Hasil di atas didukung oleh laporan WHO. [10]

Efek Terhadap Berat Badan dan Diabetes

Berdasarkan uji acak terkontrol, konsumsi pemanis buatan jangka pendek hanya memberikan sedikit efek penurunan pada berat badan (BB) dan indeks massa tubuh (IMT) individu dewasa, tanpa diikuti dengan hasil bermakna pada pengukuran sel lemak dan faktor kardiometabolik seperti kadar glukosa darah puasa, insulin, profil lipid, dan tekanan darah.

Di sisi lain, studi kohort menunjukkan bahwa konsumsi pemanis buatan dosis tinggi justru berhubungan dengan peningkatan BB, risiko diabetes melitus tipe 2, penyakit kardiovaskuler dan meningkatkan mortalitas.[11]

Efek pada Anak dan Ibu Hamil

Pada anak, penelitian mengenai konsumsi pemanis buatan belum memberikan kesimpulan pasti. Pada ibu hamil, konsumsi pemanis buatan diduga berhubungan dengan peningkatan kejadian kelahiran prematur dan penumpukan adiposit pada janin. Walaupun demikian, perbedaan hasil kerap terjadi antara penelitian uji acak terkontrol dan kohort.[11]

Mekanisme Bahan Pemanis Menyebabkan Gangguan Kesehatan

Terdapat beberapa mekanisme yang memungkinkan gangguan kesehatan akibat konsumsi pemanis buatan. Gula dan semua jenis pemanis buatan akan menimbulkan rasa manis melalui reseptor rasa manis TAS1R, yang teridentifikasi tidak hanya terdapat pada rongga mulut, namun berada pada jaringan pengindera glukosa lainnya.

Dengan demikian, bukan suatu hal yang mengejutkan apabila beberapa substansi kimiawi yang menyerupai gula akan memberikan efek yang sama terhadap kesehatan, seperti terjadinya disbiosis saluran cerna yang kemudian berhubungan dengan resistensi insulin atau intoleransi glukosa. Di sisi lain, hasil akhir metabolisme pemanis buatan juga dianggap lebih berbahaya dibanding senyawa pemanis buatan itu sendiri. Contohnya, hasil akhir metabolisme aspartam.[5,7,10,11]

Perlu Dicatat Bahwa Masih Terdapat Keterbatasan Bukti

Walaupun demikian, penelitian-penelitian di atas tetap memiliki kelemahan karena sejumlah penelitian meta analisis yang dilakukan mengambil sejumlah studi dengan intervensi dan desain eksperimental yang beragam, sehingga sulit menilai efek asupan pemanis buatan mengingat pola diet yang dilakukan juga berbeda-beda. Selain itu, konsumsi pemanis dilakukan lewat beragam cara, sebagai pengganti makanan atau minuman manis, ada pula yang ditambahkan pada diet, namun ada pula yang memberikan pemanis dalam bentuk kapsul, dan lainnya diikuti restriksi diet harian.[11]

Keamanan Konsumsi Pemanis Buatan

Hasil penelitian yang kontroversial telah memicu badan otoritas kesehatan dunia untuk mengkaji ulang keamanan konsumsi pemanis buatan. International Agency for Research on Cancer (IARC) sebagai lembaga di bawah WHO mengklasifikasikan aspartam ke dalam grup 2B, yaitu substansi yang kemungkinan dapat berperan sebagai agen karsinogenik. Namun demikian, karena keterbatasan bukti yang digunakan dalam pengelompokan tersebut, maka rekomendasi asupan aspartam di dunia, termasuk di Indonesia tidak mengalami perubahan.

Banyak studi epidemiologi yang dilakukan untuk mempelajari efek karsinogenik pemanis buatan, namun perlu diingat bahwa uji klinis demikian tidak dapat mengkaji efek sebab-akibat karena cukup banyak faktor lain selain konsumsi pemanis yang seharusnya dipertimbangkan pada individu.[6]

Kesimpulan

Konsumsi gula berlebihan terbukti menjadi salah satu faktor risiko meningkatnya gangguan kesehatan. Bahan pemanis alami maupun buatan dapat digunakan sebagai alternatif pengganti gula. Walaupun pemanis ini telah dinyatakan aman oleh badan pengawas makanan, namun tetap perlu dilakukan edukasi untuk mencegah konsumsi dalam dosis besar dan jangka waktu yang lama.

Selama menjalani praktik klinis sehari-hari, dokter perlu selalu menekankan betapa pentingnya menjadi konsumen cerdas terutama saat membeli dan mengonsumsi produk pangan olahan yang dijual di pasaran. Menjalani pola diet seimbang dan memilih sumber gula alami tetap menjadi pilihan utama agar terhindar dari gangguan kesehatan yang mungkin terjadi.

Referensi