Antibiotik pascaoperasi biasanya diresepkan karena diyakini dapat mengurangi infeksi luka pascaoperasi atau surgical site infection. Padahal, penggunaan antibiotik pascaoperasi yang berkepanjangan telah dikaitkan dengan berbagai efek buruk, termasuk infeksi Clostridium difficile. Profilaksis untuk tindakan bedah merupakan salah satu indikasi pemberian antibiotik yang paling sering. Satu dari enam peresepan antibiotik di rumah sakit seluruh dunia adalah untuk profilaksis tindakan bedah.[1]
Praktik Pemberian Antibiotik Pascaoperasi
Pada kebanyakan kasus, administrasi antibiotik profilaksis dimulai dari periode preoperatif hingga pascaoperasi. WHO merekomendasikan pemberian antibiotik profilaksis dengan durasi maksimal 24 jam pascaoperasi.[2,3]
Rekomendasi tersebut sejalan dengan pedoman pemberian antibiotik profilaksis dari American Society of Health-System Pharmacists (ASHP), Infectious Diseases Society of America (IDSA), Surgical Infection Society (SIS), dan Society for Healthcare Epidemiology of America (SHEA), yang menyatakan waktu optimal pemberian antibiotik profilaksis adalah 60 menit sebelum tindakan dimulai, dengan durasi tidak lebih dari 24 jam pascaoperasi. Pengecualian dapat diberikan untuk tindakan operasi jantung, seperti coronary artery bypass graft (CABG), dimana antibiotik profilaksis dapat diberikan sampai dengan 48 jam pascaoperasi [2,3]
Terlepas dari rekomendasi tersebut, dalam praktik sehari-hari masih sering ditemukan pemberian antibiotik profilaksis pascaoperasi dengan durasi yang berkepanjangan. Data secara global pada tahun 2015 menunjukkan bahwa jumlah pasien yang mendapat antibiotik pascaoperasi lebih dari 24 jam berkisar antara 29,5% di negara maju hingga 92,5% di negara berkembang. Padahal pemberian antibiotik profilaksis yang berkepanjangan berisiko menimbulkan dampak negatif, termasuk gagal ginjal akut dan infeksi bakteri Clostridium difficile.[1,4]
Seperti pada praktik pemberian antibiotik secara umum, antibiotik profilaksis untuk tindakan bedah harus diberikan dengan dosis dan pada waktu yang sesuai dengan mempertimbangkan periode dimana terdapat risiko kontaminasi, diberikan dengan durasi paling singkat yang efektif untuk meminimalisir efek samping, resistensi, dan beban biaya.[2]
Durasi Pemberian Antibiotik Profilaksis dan Risiko Infeksi pada Lokasi Pembedahan
Infeksi pada lokasi pembedahan atau surgical site infection (SSI) merupakan penyebab healthcare associated infection yang paling sering. Antibiotik profilaksis pada tindakan pembedahan bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi tersebut.[5]
Pada praktik sehari-hari, durasi pemberian antibiotik profilaksis sampai lebih dari 24 jam pascaoperasi seringkali dianggap lebih baik dalam pencegahan infeksi. Namun, bukti-bukti ilmiah terbaru terkait durasi pemberian antibiotik profilaksis pada beberapa jenis tindakan pembedahan justru menunjukkan sebaliknya.
Bukti Ilmiah Pemberian Antibiotik Pasca Operasi Jangka Pendek VS Berkepanjangan
Pada sebuah studi kohort retrospektif di Amerika Serikat didapatkan bahwa durasi pemberian antibiotik profilaksis yang lebih dari 24 jam tidak menurunkan risiko terjadinya SSI, pada pasien yang menjalani tindakan bedah jantung, vaskular, ortopedi, dan kolorektal.[4]
Hasil serupa juga ditunjukkan dalam sebuah uji klinis multisenter di Tokyo Jepang. Studi yang melibatkan 1.211 pasien yang menjalani operasi ortopedi bersih menunjukkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis dengan durasi kurang dari 24 jam bersifat non-inferior terhadap durasi pemberian yang lebih panjang dalam hal pencegahan SSI, tanpa meningkatkan kejadian resistensi antibiotik.[6]
Meta analisis pada 21 studi terkait pembedahan telinga, hidung, tenggorokan, mulut, dan maksilofasial juga tidak menunjukkan perbedaan terhadap risiko relatif SSI pada kelompok dengan durasi antibiotik profilaksis <24 jam dan >72 jam. Dalam sebuah studi potong lintang di Ethiopia, dilaporkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis yang lebih dari 24 jam pascaoperasi justru meningkatkan risiko terjadinya SSI.[7,8]
Sementara itu, bukti ilmiah terkait hubungan antara durasi terapi antibiotik dengan risiko SSI pada tindakan operasi kardiovaskular dan ortognatik masih inkonklusif. Studi yang melibatkan populasi pediatrik juga masih sangat terbatas.[3]
Efek Samping Pemberian Antibiotik Profilaksis Pascaoperasi dengan Durasi Lebih dari 24 Jam
Melanjutkan pemberian antibiotik profilaksis sampai >24 jam pascaoperasi berpotensi meningkatkan risiko timbulnya efek samping, seperti gagal ginjal akut, resistensi antibiotik, infeksi Clostridium difficile, infeksi jamur oportunistik, kandidiasis oral, dan gangguan gastrointestinal.
Uji klinis acak terkontrol yang melibatkan 604 pasien dengan tumor tulang ekstremitas bawah yang menjalani tindakan rekonstruksi endoprostetik menunjukkan bahwa komplikasi akibat pemberian antibiotik ditemukan lebih banyak pada pasien dengan durasi antibiotik profilaksis selama 5 hari dibandingkan durasi terapi 1 hari (hazard ratio 3,24).[4,9]
Durasi Pemberian Antibiotik Pascaoperasi dan Risiko Gagal Ginjal Akut
Risiko gagal ginjal akut (GGA) umumnya ditimbulkan oleh regimen antibiotik yang berupa kombinasi atau regimen yang mengandung obat yang bersifat nefrotoksik, seperti vancomycin dan golongan aminoglikosida. Meski demikian, penelitian oleh Branch-Elliman, et al. (2019) menunjukkan bahwa durasi pemberian antibiotik secara independen meningkatkan risiko gagal ginjal akut. Risiko tersebut meningkat seiring bertambahnya hari pemberian antibiotik.
Pada pasien yang menjalani operasi non-kardiak, ditemukan peningkatan risiko GGA secara signifikan sebesar 31% pada durasi terapi 24-48 jam; sebesar 71,5% pada durasi terapi 48-72 jam; dan 79,2% pada durasi terapi 72 jam atau lebih. Sementara itu, peningkatan risiko GGA yang signifikan pada pasien yang menjalani pembedahan kardiak baru ditemukan pada durasi terapi lebih dari 48 jam, dimana terdapat peningkatan risiko GGA sebesar 22,3% pada durasi terapi 48-72 jam dan 82% pada durasi terapi 72 jam atau lebih.[4]
Durasi Pemberian Antibiotik Pascaoperasi dan Risiko Infeksi Clostridium difficile
Masih dari penelitian yang sama, didapatkan bahwa kemungkinan mengalami infeksi C. difficile secara signifikan meningkat 142,6% dengan durasi terapi 48‒72 jam, dan 265,1% dengan durasi terapi >72 jam pada prosedur pembedahan kardiak dan non-kardiak.[4]
Hubungan ini juga didukung oleh sebuah studi retrospektif pada pasien yang menjalani tindakan coronary artery bypass graft yang menunjukkan bahwa terdapat peningkatan risiko infeksi C. difficile pada penggunaan antibiotik profilaksis dengan durasi >48 jam (OR 1,43).[10]
Kesimpulan
Sampai saat ini durasi pemberian antibiotik profilaksis untuk tindakan pembedahan yang direkomendasikan oleh WHO dan beberapa asosiasi lainnya adalah tidak lebih dari 24 jam pascaoperasi. Berdasarkan bukti ilmiah yang tersedia saat ini, pemberian antibiotik dengan durasi lebih dari 24 jam pascaoperasi tidak lebih baik dalam mencegah terjadinya surgical site infection (SSI).
Bukti ilmiah juga menunjukkan bahwa pemberian antibiotik lebih dari 24 jam pascaoperasi meningkatkan risiko terjadinya efek samping berupa gagal ginjal akut dan infeksi Clostridium difficile. Terdapat pengecualian untuk prosedur pembedahan kardiovaskular dan ortognatik, dimana durasi pemberian antibiotik mungkin dapat diberikan lebih lama.
Masih diperlukan studi lebih lanjut untuk menentukan durasi pemberian antibiotik yang optimal dan hubungannya dengan risiko SSI serta efek samping pada operasi kardiovaskular. Begitu pula pada populasi pediatrik, karena penelitian yang ada saat ini masih sangat terbatas.