Methadone sering digunakan dalam tata laksana nyeri pada anak dengan kanker stadium lanjut. Pada anak yang menderita kanker stadium lanjut, nyeri merupakan gejala yang paling sering dilaporkan dan memiliki tantangan tersendiri dalam penanganannya. Nyeri bisa disebabkan oleh progresivitas kanker itu sendiri atau akibat prosedur pengobatan kanker. Pemberian analgesik methadone dalam perawatan kanker anak diindikasikan untuk nyeri nosiseptif dan atau nyeri neuropatik yang tidak bisa teratasi dengan pengobatan analgesik konvensional.[1,2]
Methadone disukai pada perawatan end-of-life karena durasi kerja yang panjang dan antagonisme N-Methyl-D-aspartate (NMDA) yang dapat membantu mengendalikan nyeri yang refrakter terhadap opioid konvensional. Penggunaan methadone dapat mengatasi nyeri yang hebat pada pasien yang telah menggunakan opioid dosis tinggi sebelumnya seperti morfin dan oksikodon.[2,3]
Methadone adalah obat golongan opioid yang bekerja sebagai agonis reseptor opioid subtipe µ yang sangat kuat, dan memiliki afinitas pada reseptor opioid subtipe δ dan ĸ. Methadone juga memiliki efek antagonis pada reseptor NMDA dan menghambat pengambilan kembali (reuptake) serotonin dan noradrenalin di daerah periaquaductal otak. Methadone memiliki variasi farmakokinetik antar individu yang luas, sehingga hubungan antara dosis, kadar konsentrasi plasma, dan efek farmakologis setiap individu sulit untuk diprediksi.[3-5]
Kelebihan dan Keterbatasan Methadone
Berdasarkan profil farmakokinetik dan farmakodinamik methadone, terdapat beberapa keuntungan dan juga kekurangan dalam penggunaannya sebagai analgesik pada kasus kanker.[4]
Kelebihan Methadone
Methadone merupakan opioid yang poten, bekerja di beberapa reseptor nyeri sehingga aktivitas analgesiknya luas, serta memiliki bioavailabilitas yang baik dalam sediaan oral maupun rektal. Methadone juga memiliki onset terapi yang cepat, memberi durasi analgesik yang panjang, dan sedikit terbentuk metabolit aktif. Kelebihan lain adalah efek samping konstipasi lebih jarang dibandingkan opioid jenis lainnya, efek imunosupresif lebih lemah dibandingkan morfin, dan di beberapa penelitian menunjukkan efek antineoplastik.[4]
Keterbatasan Methadone
Keterbatasan dari penggunaan methadone adalah waktu paruh yang panjang. Obat ini juga dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450, terutama CYP3A4 dan CYP2B6, sehingga risiko interaksi obat cukup luas dengan obat yang dimetabolisme oleh enzim yang sama.
Keterbatasan lain adalah konversi dosis yang tidak dapat diprediksi dari atau ke opioid jenis lainnya. Methadone juga memiliki efek samping jantung yaitu pemanjangan interval QTc dan adanya stigma negatif karena methadone biasanya digunakan sebagai terapi adiksi morfin.[4]
Efikasi dan Keamanan Methadone dalam Penatalaksanaan Nyeri pada Kanker Anak Stadium Lanjut
Sebuah studi retrospektif (2018) mengevaluasi 52 pasien kanker anak stadium lanjut yang mendapat methadone. Studi ini menunjukkan adanya penurunan skala nyeri yang dialami setelah pemberian methadone. Peneliti menyimpulkan bahwa methadone efektif dan aman untuk digunakan pada anak dengan kanker stadium lanjut. Tidak ada aritmia atau neurotoksisitas yang ditemukan.[1]
Sebuah kohort retrospektif (2021) di India mengevaluasi 11 pasien kanker anak dengan usia median 12 tahun. Diagnosis pasien terdiri atas Ewing sarkoma (55%), limfoma Hodgkin (18%), rhabdomiosarkoma (9%), tumor Wilms (9%), dan sarkoma synovial (9%). Dosis inisial berkisar dari 1-15 mg/hari dengan median durasi pemberian 50 hari.
Dari 9 anak yang mendapatkan methadone lebih dari satu kali, dilaporkan methadone memberikan efek analgesik yang baik pada 5 orang anak, tidak berubah dari pengobatan sebelumnya pada 3 orang anak, dan tanpa efek apapun pada 1 orang anak.[6]
Aspek Keamanan Methadone
Efek samping yang sering dikhawatirkan dalam penggunaan methadone adalah pemanjangan interval QT. Sebuah studi observasional retrospektif (2021) mengevaluasi 20 pasien kanker anak stadium lanjut yang meninggal dalam rawat inap dan menerima methadone dalam 30 hari terakhir kehidupan mereka. 90% subjek studi menerima methadone untuk nyeri nosiseptif. Durasi rata-rata penggunaan methadone adalah 32 hari. Dosis methadone berkisar antara 0,09 hingga 7,76 mg/kg/hari. Tidak ada kasus penghentian methadone karena peningkatan interval QT dan tidak ada episode Torsades de Pointes yang diamati.[2]
Studi lain oleh Anghelescu et al terhadap 37 orang anak menunjukkan adanya sedikit peningkatan interval QT dibandingkan sebelum terapi. Rerata dosis methadone yang diberikan adalah 27,0 ± 24,3 mg/hari atau 0,47 ± 0,45 mg/kg/hari, dengan rerata lama pengobatan 49 hari.[7]
Studi oleh Madden et al pada 25 orang anak juga menemukan adanya pemanjangan interval QT pada 4 orang, dimana 1 orang mengalami pemanjangan interval QT ≥500 milidetik. Dalam studi ini, methadone diberikan secara oral dengan dosis inisial 0,1 mg/kg/dosis yang diberikan setiap 12 jam dan dosis maksimum 5 mg setiap 12 jam, median durasi pemberian 21 hari.[8]
Kesimpulan
Methadone memiliki beberapa keuntungan dalam penanganan nyeri kanker stadium lanjut pada anak antara lain efek terapi yang lama dan onset terapi yang cepat. Studi yang ada menunjukkan bahwa methadone memiliki efikasi yang baik dalam penanganan nyeri pada anak dengan kanker stadium lanjut. Meski demikian, dokter perlu mewaspadai efek samping methadone, termasuk pemanjangan interval QT.