Terapi antibiotik yang tepat merupakan salah satu manajemen yang sangat penting dalam penanganan pasien kolesistitis dan kolangitis akut. Pemberian terapi antibiotik yang tepat sangat penting karena mortalitas dari kolesistitis dan kolangitis akut masih tinggi. Angka kematian berturut-turut sesuai derajat keparahan infeksi traktus biliaris adalah sebesar 2,4% untuk derajat 1 atau ringan, 4,7% untuk derajat 2 atau sedang, dan 8,4% untuk derajat 3 atau berat dengan adanya disfungsi organ.[1,2]
Tujuan Terapi Antibiotik pada Kolesistitis dan Kolangitis Akut
Dalam pengobatan kolesistitis dan kolangitis akut, bagian penting dari manajemen terapi adalah mengontrol sumber infeksi, yaitu drainase bilier. Terapi antibiotik diberikan untuk mengeradikasi kuman sesuai dengan karakteristik bakteri, sehingga dapat membatasi respon sepsis sistemik dan peradangan lokal, serta mencegah infeksi pada lokasi pembedahan dan pembentukan abses intrahepatik.[12-14]
Sementara itu, World Society of Emergency Surgery (WSES) pada tahun 2020 memperkuat peran laparoskopi kolesistektomi sebagai terapi pilihan kolesistitis yang disebabkan kolelitiasis, bahkan pada pasien berisiko tinggi.[20]
Mikroorganisme Penyebab Kolesistitis dan Kolangitis Akut
Adanya isu peningkatan dan penyebaran resistensi antibiotik secara global, menyebabkan restriksi penggunaan antibiotik. Diharapkan penggunaan antibiotik dapat lebih bijaksana di setiap institusi kesehatan. Pemantauan terhadap antibiogram secara berkelanjutan dalam lingkup lokal, nasional, dan internasional sangat diperlukan sehingga terapi antibiotik yang diberikan akan aman dan sesuai untuk pasien dengan kolangitis akut dan kolesistitis akut.[1]
Bakteri yang paling sering ditemukan pada infeksi traktus biliaris adalah Escherichia coli, yaitu sebanyak 31−44%. Pada community-acquired infections, proporsi E.coli adalah sebesar 35−62%. Sedangkan pada healthcare‐associated infections, proporsi E.coli mencapai 23%. Selain itu, terdapat juga bakteri gram negatif lain yang sering ditemukan pada infeksi traktus biliaris, yaitu Klebsiella spp, Pseudomonas sp, dan Enterobacter spp.[3]
Resistensi Antibiotik pada Kolesistitis dan Kolangitis Akut
Terapi antibiotik sangat tergantung pada data kerentanan antimikroba lokal. Munculnya resistensi antibiotik untuk bakteri Enterobacteriaceae telah banyak dilaporkan pada pasien dengan infeksi intraabdominal, terutama resistensi terhadap antibiotik golongan beta-laktam (penicillin, sefalosporin, monobactam aztreonam) dan golongan carbapenem (doripenem, meropenem). Hal ini secara signifikan mempengaruhi pemilihan terapi empiris untuk pasien dengan infeksi intraabdomen, termasuk kolesistitis dan kolangitis akut.
Extended Spectrum Beta Lactamases (ESBL) adalah enzim yang menyebabkan resistensi terhadap sebagian besar antibiotik beta-laktam. Sedangkan yang dapat menyebabkan resistensi antibiotik carbapenem salah satunya adalah enzim carbapenemase. Dalam memilih terapi antibiotik empiris, perhatian khusus harus diberikan pada sasaran bakteri penghasil ESBL dan carbapenemase.[4-6]
Sebuah studi kohort prospektif pada pasien dengan kolesistitis akut yang melibatkan 116 institusi di seluruh dunia menunjukkan hasil bahwa di antara 96 isolat E. coli, 16,7% (16 isolat) memproduksi ESBL. Selain itu, proporsi E. coli yang memproduksi ESBL sangat bervariasi antar institusi, yaitu 31,2% di dua rumah sakit universitas Jerman, 70% di pusat medis universitas Korea, dan 66% di rumah sakit perguruan tinggi medis India.[7-10]
Terdapat beberapa laporan tentang prevalensi bakteri resisten carbapenem, khususnya pada pasien dengan kolangitis akut dan kolesistitis. Salah satu studi dari Korea melaporkan 13 dari 376 (3,5%) isolat dalam empedu menunjukkan adanya bakteri yang memproduksi carbapenemase.[11]
Rekomendasi Penggunaan Antibiotik pada Kolesistitis dan Kolangitis Akut
Ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih antibiotik empiris, antara lain target organisme, antibiogram (epidemiologi lokal dan data kerentanan terhadap antibiotik), karakteristik obat seperti farmakokinetik dan farmakodinamik, toksisitas obat, fungsi ginjal dan hati pasien, serta riwayat alergi dan efek samping lain dari antibiotik [15,16]
Waktu pemberian terapi antibiotik empiris harus dimulai segera setelah diagnosis infeksi bilier diduga dari pemeriksaan klinis pasien. Antibiotik harus diberikan dalam waktu sebagai berikut:
- Untuk pasien dengan syok septik, kurang dari 1 jam sejak diagnosis hasil pemeriksaan klinis ditegakkan
- Untuk pasien tidak disertai penyulit syok septik, pemeriksaan diagnostik dapat dilakukan terlebih dahulu dalam kurun waktu hingga 6 jam untuk memperoleh diagnosis pasti sebelum memulai terapi antibiotik[17,18]
Terapi antibiotik harus dimulai sebelum dilakukan semua prosedur atau tindakan, baik drainase bilier perkutan, endoskopi, maupun operasi. Terapi antimikroba anaerob, seperti metronidazole, tinidazole, atau clindamycin perlu diberikan juga jika akan dilakukan operasi anastomosis bilier-enterik.[17,18]
Perlu diketahui bahwa terdapat beberapa antibiotik yang seringkali sudah resisten untuk digunakan sebagai terapi pada kasus infeksi traktus bilier oleh karena bakteri E.coli atau Klebsiella spp yang menghasilkan ESBL. Antibiotik tersebut antara lain golongan penicillin (seperti ampicillin-sulbactam), sefalosporin (seperti cefazolin, cefuroxime, ceftriaxone, cefotaxime), dan fluoroquinolone (seperti ciprofloxacin, levofloxacin, moxifloxacin).[19]
Oleh karena itu, ampicillin-sulbactam hanya direkomendasikan pada kondisi infeksi traktus bilier derajat 1, dan bila angka resistensi lokal kurang dari 20%.[19]
Tokyo Guidelines 2018
Salah satu pedoman yang dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik secara tepat pada kasus kolesistitis dan kolangitis akut adalah Tokyo Guidelines 2018 (TG 18). Pada TG 18 dijelaskan pedoman penggunaan antibiotik yang tepat untuk infeksi yang didapat dari masyarakat (community-acquired infections) berbeda dengan infeksi yang terkait perawatan kesehatan (healthcare‐associated infections).[1,2]
Berdasarkan ulasan oleh Buckman dan Mazuski pada tahun 2019 terhadap TG 18, disimpulkan rekomendasi penting penggunaan antibiotik pada infeksi traktus bilier, antara lain:
- Kultur empedu harus diperoleh pada awal prosedur yang dilakukan untuk kolangitis akut dan kolesistitis, kecuali untuk pasien dengan kolesistitis akut derajat 1
- Saat memilih antibiotik, perlu mempertimbangkan organisme yang ditarget, antibiogram lokal, farmakokinetik dan farmakodinamik, fungsi ginjal dan hati, riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya, alergi, dan efek samping lainnya
- Antibiotik broad spectrum direkomendasikan hanya untuk infeksi traktus biliaris yang didapat dari masyarakat (community-acquired infections) derajat 3, dan infeksi terkait perawatan kesehatan (healthcare‐associated infections)
- Antibiotik narrow spectrum direkomendasikan untuk infeksi traktus biliaris yang didapat dari masyarakat (community-acquired infections) derajat 1 dan 2
Piperacillin-tazobactam dapat digunakan untuk mengobati Escherichia coli dan Klebsiella spp yang menghasilkan ESBL, sebagai alternatif dapat juga digunakan vancomycin dan meropenem
- Durasi optimal terapi antibiotik untuk pasien dengan kolangitis akut adalah 4−7 hari setelah dilakukan kontrol sumber infeksi
- Durasi optimal terapi antibiotik untuk pasien dengan kolesistitis akut derajat 3 adalah 4−7 hari setelah kontrol sumber infeksi dilakukan
- Untuk pasien dengan kolesistitis akut derajat 1 dan 2, disarankan terapi antibiotik diberikan sebelum dan pada saat pembedahan
- Untuk pasien dengan abses perikolesistik atau perforasi kandung empedu, antibiotik harus dilanjutkan sampai pasien bebas demam, leukosit normal, dan tanpa temuan abnormal pada abdomen[14]
Kesimpulan
Pada kasus kolesistitis dan kolangitis akut, kontrol terhadap sumber infeksi merupakan terapi utama. Sedangkan terapi antibiotik merupakan terapi tambahan yang penting, bertujuan untuk membatasi respon septik sistemik dan inflamasi lokal, serta mencegah terjadinya infeksi daerah operasi dan terbentuknya abses intrahepatik. Meningkatnya resistensi antibiotik, terutama bakteri penghasil enzim ESBL atau carbapenemase, menyebabkan pemilihan antibiotik menjadi sulit. Pemilihan antibiotik sebaiknya didasarkan atas tingkat keparahan penyakit dan jenis infeksi apakah community-acquired infections atau healthcare‐associated infections.
Selain itu, waktu pertama pemberian antibiotik juga perlu dipertimbangkan berdasarkan kondisi pasien apakah dalam kondisi syok septik atau tidak. Durasi pemberian antibiotika dinilai berdasarkan jenis penyakit infeksi traktus biliaris dan tingkat keparahannya. Diharapkan dengan pemberian antibiotik yang tepat dan dengan durasi yang cukup, maka angka resistensi antibiotik dapat ditekan dan angka kematian akibat kolesistitis dan kolangitis akut dapat berkurang.
Tokyo Guidelines 2018 (TG 18) memberikan rekomendasi pemilihan antibiotik untuk kasus kolesistitis dan kolangitis akut berdasarkan antibiogram global. Sangat diperlukan penelitian di Indonesia yang menunjukkan data antibiogram lokal. Peresepan antibiotik akan lebih akurat jika data antibiogram tersedia di Indonesia.
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini