Pemahaman mengenai rentang dosis efektif hingga toksik, atau disebut juga spektrum dosis, pada anestesi lokal diperlukan untuk meningkatkan keamanan pasien dan mengoptimalkan luaran klinis. Pada praktik, anestesi lokal banyak digunakan untuk prosedur bedah minor, seperti penjahitan luka. Lidocaine dan bupivacaine merupakan obat anestesi yang paling sering digunakan.[1,2]
Kesalahan dosis pada pemberian anestesi lokal dapat menyebabkan kegagalan anestesi (bila terlalu rendah) atau menimbulkan toksisitas sistemik (bila terlalu tinggi). Hal ini tentu akan meningkatkan risiko komplikasi serius seperti kejang, aritmia, hingga henti jantung.[2-4]
Dosis Obat Anestesi Lokal
Obat anestesi lokal bekerja pada reseptor spesifik di kanal natrium. Mekanisme kerja yang paling umum adalah dengan mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium sehingga terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan tidak terjadi konduksi saraf.[5]
Dalam memilih obat anestesi lokal dengan konsentrasi yang sesuai, faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah saraf spesifik yang akan diblok, awitan kerja, dan durasi obat. Idealnya, anestesi lokal harus memiliki sifat-sifat berikut:
- Poten dan bersifat sementara (reversible)
- Tidak menimbulkan reaksi lokal, sistemik atau alergi
- Onset cepat dengan durasi kerja cukup
- Stabil dan dapat disterilkan
- Harga murah[6]
Saat ini, obat anestesi lokal yang sering digunakan adalah lidocaine dan bupivacaine. Walau begitu, terdapat berbagai alternatif obat anestesi lokal lain, seperti levobupivacaine dan ropivacaine yang memiliki efikasi yang mirip dengan bupivacaine dengan rentang dosis yang lebih luas.
Di Indonesia, sediaan anestesi lokal seperti lidocaine biasanya dikombinasikan dengan epinefrin. Epinefrin dapat menyebabkan vasokonstriksi yang bermanfaat untuk memperpanjang durasi anestesi, mengurangi perdarahan, dan menurunkan risiko toksisitas sistemik. Meski demikian, penggunaan dalam jumlah berlebih akan meningkatkan risiko efek samping.[2,7]
Tabel 1. Dosis Maksimum Obat Anestesi Lokal
Obat | Dosis Maksimal Tanpa Epinefrin | Dosis Maksimal Dengan Epinefrin | Awitan Obat | Durasi Obat | Dosis per 70 kg Dewasa Tanpa Epinefrin |
Lidocaine, Lignocaine | 5 mg/kg | 7 mg/kg | 3–5 menit | 30–90 menit | 350 mg |
Articaine | - | 7 mg/kg (dewasa) 5 mg/kg (anak) | 2–3 menit | 3–5 jam | - |
Bupivacaine | 2.5 mg/kgBB | 3 mg/kg | 5–15 menit | 6–8 jam | 175 mg |
Levobupivacaine | 3 mg/kgBB | 3 mg/kg | 5–15 menit | 6–8 jam | 210 mg |
Ropivacaine | 2.5 mg/kgBB | 3 mg/kg | 5–15 menit | 6–8 jam | 175 mg |
Sumber: dr. Andrian Yadikusumo, Sp.An, Alomedika, 2022.[2,5]
Kebanyakan anestesi lokal diberikan sebagai persentase, jadi untuk menghitung dosis berdasarkan berat badan akan memerlukan konversi ke mg/ml. Secara garis besar, sebanyak 1% larutan anestesi lokal biasanya setara dengan 10 mg/ml. Sebagai contoh, 2% lidocaine setara dengan 20 mg/ml, sedangkan 0,25% bupivacaine setara dengan 2,5 mg/ml.
Efek Samping dan Efek Toksik dari Anestesi Lokal
Efek samping umum dari anestesi lokal meliputi reaksi ringan seperti nyeri, kemerahan, atau edema di area suntikan. Pada beberapa kasus, dapat muncul gejala sistemik seperti pusing dan tinitus. Pada kasus yang jarang, bisa muncul efek samping berat seperti kejadian anafilaksis, toksisitas lokal, dan Local Anesthetics Systemic Toxicity (LAST).[11-14]
Toksisitas Sistemik Anestesi Lokal
LAST adalah kondisi toksik akibat kadar anestesi lokal yang tinggi dalam sirkulasi sistemik. Keadaan ini berbahaya karena dapat menimbulkan gangguan serius pada sistem saraf pusat dan kardiovaskular. Manifestasi awal biasanya berupa gejala neurologis seperti pusing, parestesia, kejang, hingga penurunan kesadaran. Pada fase lanjut, dapat terjadi aritmia, hipotensi, dan henti jantung.[13]
Kardiotoksisitas Akibat Bupivacaine
Bupivacaine memiliki risiko kardiotoksik yang dapat menimbulkan bradiaritmia fatal sehingga penggunaannya dibatasi hanya untuk anestesi lokal atau intratekal. European Medicines Agency pada tahun 2020 memperkenalkan bupivacaine liposomal (Exparel®), yaitu formulasi baru dengan pembawa liposomal yang membuat obat lebih stabil, lepas lambat, serta memungkinkan peningkatan dosis maksimal hingga 3,8 mg/kg/hari.
Meski demikian, karena sediaan ini belum ada di Indonesia, penggunaan bupivacaine konvensional tetap harus mempertimbangkan rasio manfaat dan risiko. Pemakaian bupivacaine perlu dilakukan di fasilitas kesehatan yang mampu mengenali dan mengatasi toksisitas sistemik.[1,3,11]
Reaksi Alergi
Dalam sebuah studi lama, dilaporkan bahwa kejadian alergi terhadap anestesi lokal sekitar 1% dari total penggunaan anestesi lokal. Hal ini diduga akibat penggunaan bahan paraben pada pengawet anestesi lokal atau gugus ikatan ester yang ada pada formulasi sediaan. Manifestasi alergi dapat berupa reaksi kulit seperti pruritus, eritema, dan urtikaria. Pada kasus yang lebih berat, dapat muncul bronkospasme, angioedema, hingga anafilaksis.[12]
Toksisitas Lokal
Toksisitas lokal yang dapat terjadi adalah terbentuknya jaringan nekrosis iskemik setelah penyuntikan anestesi lokal. Hal ini dapat terjadi apabila dilakukan injeksi dengan dosis besar, volume besar, dan penggunaan vasopressor seperti epinefrin secara berlebihan.[14]
Kesimpulan
Pemahaman spektrum dosis anestesi lokal penting untuk menjamin keamanan pasien dan efektivitas klinis. Kesalahan dosis dapat berakibat serius, mulai dari kegagalan anestesi hingga toksisitas sistemik seperti Local Anesthetics Systemic Toxicity (LAST), yang dapat menyebabkan aritmia hingga henti jantung. Dalam memilih dosis dan agen anestesi lokal yang akan digunakan, pertimbangkan aspek keamanan, manfaat, serta kesiapan untuk menangani komplikasi seperti kardiotoksisitas terkait bupivacaine.
Direvisi oleh: dr. Bedry Qintha