Deteksi dan tata laksana awal yang tepat terhadap hiponatremia akibat olahraga (exercise-associated hyponatremia) dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas kasus ini. Dokter perlu memahami cara membedakan hiponatremia akibat olahraga dari diagnosis lain seperti dehidrasi dan heat stroke karena meskipun memiliki gejala yang mirip, kasus-kasus ini membutuhkan tata laksana yang sangat berbeda.
Hiponatremia yang terjadi akibat olahraga disebut juga sebagai exercise-associated hyponatremia (EAH). Kondisi ini didefinisikan sebagai konsentrasi natrium serum yang berada di bawah nilai rujukan (135 mmol/L) dan yang terjadi saat aktivitas fisik sedang berlangsung atau dalam waktu 24 jam setelah aktivitas fisik. EAH dapat bersifat simptomatik maupun asimptomatik. Pada kondisi yang berat, EAH dapat menimbulkan manifestasi klinis berupa perubahan status mental seperti delirium, kejang, dan koma akibat edema serebri.[1,2]
Aktivitas fisik yang sering menimbulkan EAH adalah olahraga dengan intensitas sedang hingga berat yang menguji ketahanan (endurance) seperti lari marathon (42.2 km), triathlon (3.8 km berenang, 180 km bersepeda, dan 42.2 km lari), dan ultramarathon (100 km). Namun, EAH juga dapat ditemukan pada individu yang melakukan hiking, backpacking, atau bersepeda untuk kebutuhan rekreasional.[1,2]
Patofisiologi Hiponatremia Akibat Olahraga
Kondisi hiponatremia dalam serum dapat disebabkan oleh berkurangnya zat terlarut (natrium), meningkatnya zat pelarut (cairan), atau kombinasi keduanya. Terdapat tiga hal yang mendasari patofisiologi EAH yaitu overhidrasi dengan cairan hipotonik, sekresi arginine vasopressin (AVP), dan kehilangan natrium melalui keringat.[1,3]
Overhidrasi dengan Cairan Hipotonik
Saat berolahraga, seseorang biasanya meminum cairan hipotonik seperti air atau minuman olahraga dalam volume yang banyak. Hiponatremia dapat terjadi ketika volume cairan hipotonik yang dikonsumsi melebihi cairan fisiologis yang diekskresikan melalui keringat, urin, dan insensible water loss.[2,4]
Sekresi Hormon Arginine Vasopressin
Hormon arginine vasopressin (AVP) merupakan hormon antidiuretik. Pada tubulus distal ginjal, AVP menginduksi reabsorbsi air. Proses ini akan meningkatkan volume air dan akhirnya menurunkan konsentrasi natrium dalam serum. Sekresi AVP dapat meningkat saat seseorang terpapar panas atau menjalani aktivitas fisik.[1,5]
Kehilangan Natrium Melalui Keringat
Hubungan kehilangan natrium melalui keringat dengan EAH masih menjadi kontroversi karena jumlah natrium yang hilang melalui keringat sangat bervariasi antar individu. Patofisiologi ini terutama dikaitkan dengan beberapa kasus EAH yang disertai kondisi hipovolemik dan bukan hipervolemik.[2,3]
Deteksi Hiponatremia Akibat Olahraga
Metode diagnosis utama EAH adalah dengan memeriksa konsentrasi natrium dalam serum. Namun, fasilitas pemeriksaan ini sering kali tidak tersedia di tempat-tempat berlangsungnya olahraga. Oleh karena itu, dokter perlu mengetahui cara deteksi EAH meskipun analisis natrium serum tidak tersedia.
Manifestasi klinis EAH dapat bervariasi mulai dari gejala ringan hingga berat tergantung pada konsentrasi natrium dalam serum. Pada kasus EAH ringan, tanda dan gejala yang umumnya dialami antara lain:
- Pusing
- Mual dan muntah
- Malaise
- Perut kembung
- Penambahan berat badan akibat peningkatan intake cairan
Sedangkan pada kasus EAH berat, dapat terjadi pergerakan air secara osmotik dari ruang interseluler ke ruang intraseluler yang menyebabkan edema sel. Hal ini dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial otak dan edema paru nonkardiogenik. Gejala yang dapat timbul antara lain:
- Nyeri kepala
- Muntah
- Letargi
- Disorientasi
- Kejang
- Penurunan kesadaran
- Sesak napas
Frothy sputum[1,2]
Pada pasien dengan gejala-gejala di atas, dokter perlu menganalisis lebih lanjut hal-hal berikut dan mempertimbangkan diagnosis EAH bila:
- Terdapat riwayat konsumsi cairan hipotonik dengan volume yang diduga lebih besar dari volume kehilangan cairan tubuh
- Tidak adanya gejala-gejala khas dehidrasi seperti rasa haus, postural dizziness, membran mukosa kering, dan perubahan tanda-tanda vital secara ortostatik seperti hipotensi atau takikardia saat berdiri
- Adanya peningkatan berat badan setelah berolahraga akibat peningkatan intake cairan
- Rendahnya output urine[2,6,7]
Tata laksana Awal Hiponatremia Akibat Olahraga
Tata laksana awal pasien EAH dibedakan berdasarkan gejalanya, yaitu gejala ringan dan gejala berat. Tata laksana awal ini harus dilakukan ketika diagnosis EAH sudah dikonfirmasi atau diduga kuat.
Tata laksana Hiponatremia Ringan
Pada pasien-pasien dengan EAH simptomatik ringan, tata laksana yang perlu dilakukan adalah restriksi cairan peroral, konsumsi makanan atau minuman yang mengandung natrium, dan pemberian cairan intravena isotonik hanya bila benar-benar diperlukan.
Restriksi Cairan Peroral:
Pasien EAH akibat overhidrasi dan retensi cairan perlu menjalani restriksi konsumsi cairan peroral hingga terjadi urinasi. Hal ini bertolak belakang dengan tata laksana dehidrasi sehingga diagnosis banding dehidrasi harus benar-benar disingkirkan.[1,2]
Konsumsi Makanan atau Minuman yang Mengandung Natrium:
Pemberian natrium secara oral baik dalam bentuk cairan hipertonik maupun makanan yang kaya natrium direkomendasikan pada pasien dengan gejala EAH ringan yang tidak mengalami mual dan muntah. Contoh makanan atau minuman yang diberikan adalah 100 ml cairan salin hipertonik yang diberikan perasa atau 3-4 kaldu blok (mengandung 880 mg natrium per blok) yang dilarutkan dalam 125 mL air.[1,2]
Pemberian Cairan Intravena:
Salah satu manifestasi klinis EAH adalah mual dan muntah. Tak jarang pasien sulit menerima cairan atau makanan secara peroral. Pemberian cairan isotonik intravena sebenarnya tidak disarankan untuk EAH dengan overload cairan, namun hal ini dapat dipertimbangkan pada kondisi hemodinamik tidak stabil atau muntah-muntah berat. Pemberian cairan hipotonik intravena dikontraindikasikan pada pasien EAH.[1,2,8]
Tata laksana Hiponatremia Berat
Pasien yang dicurigai mengalami EAH berat dan mengalami gejala ensefalopati perlu segera diberikan 100 mL cairan hipertonik (NaCl 3%) secara bolus intravena. Pemberian dapat diulang 2 kali dengan interval waktu 10 menit. Target peningkatan serum natrium adalah sebanyak 4-5 mmol/L atau hingga gejala neurologis mengalami perbaikan. Pemberian cairan hipertonik intravena pada EAH berat dengan ensefalopati terbukti bermanfaat untuk meringankan edema otak dan menurunkan tekanan intrakranial. Tidak diberikannya larutan hipertonik intravena akan berisiko memunculkan edema paru, edema serebri progresif, herniasi batang otak, dan kematian.[1,2]
Tata laksana Saat Transfer Pasien dan Saat Tiba di Rumah Sakit
Setelah menjalankan tata laksana awal, dokter perlu menginformasikan kepada petugas kesehatan yang akan memindahkan pasien ke fasilitas kesehatan bahwa pasien diduga mengalami EAH dan bahwa pemberian cairan hipotonik atau isotonik secara intravena harus dihindari sedapat mungkin.
Setelah pasien tiba di rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang memiliki pemeriksaan elektrolit darah, analisis konsentrasi natrium dalam serum harus segera dilakukan. Dokter di rumah sakit juga perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai edema otak dan edema paru yang mungkin terjadi pada semua pasien EAH. Pemberian cairan isotonik dan hipotonik hanya dapat dilakukan ketika koreksi natrium sudah dilakukan atau ketika terkonfirmasi ada kondisi hipovolemik.[1]
Kesimpulan
Gejala exercise-associated hyponatremia (EAH) dapat tampak mirip dengan dehidrasi dan heat stroke. Diagnosis pasti dilakukan dengan pemeriksaan natrium serum, namun karena fasilitas ini jarang tersedia di tempat olahraga, dokter perlu mempertimbangkan diagnosis EAH bila pasien memiliki riwayat overhidrasi cairan hipotonik, tidak memiliki tanda fisik dehidrasi, atau mengalami peningkatan berat badan. EAH berat dapat disertai dengan gejala neurologis.
Tata laksana awal EAH ringan dilakukan dengan restriksi cairan peroral, pemberian makanan atau minuman yang kaya natrium, dan penghindaran cairan isotonik dan hipotonik intravena. Pada EAH berat dengan gejala neurologis, direkomendasikan untuk memberikan 100 mL larutan saline hipertonik secara bolus intravena yang dapat diulang 2 kali dengan interval 10 menit.
Pasien perlu terus dimonitor untuk memastikan bahwa tidak ada progresivitas penyakit. Setiba di rumah sakit atau fasilitas kesehatan dengan pemeriksaan laboratorium lebih lengkap, analisis natrium serum harus segera dilakukan.[1,2]