Terapi intensif bertujuan untuk menurunkan risiko komplikasi diabetes mellitus tipe 2, tetapi di sisi lain juga meningkatkan risiko hipoglikemia berat pada pasien. Terapi intensif untuk diabetes mellitus tipe 2 dilakukan dengan menggunakan target kontrol HbA1c <6,5%. Target ini lebih rendah daripada rekomendasi yang ada.
Target Kontrol HbA1c
Penurunan glukosa darah pada diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) ditujukan untuk menurunkan angka terjadinya komplikasi dan mortalitas. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menunjukkan kontrol glikemik yang baik adalah menggunakan hemoglobin glikosilasi atau HbA1c.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) tahun 2021 merekomendasikan target HbA1c pada pasien DMT2 dalam pengobatan adalah <7%, atau disesuaikan dengan kondisi klinis.[1]
Terapi Intensif dengan Target Kontrol HbA1c yang lebih Rendah
Kontrol indeks glikemik dengan terapi intensif biasa memiliki target HbA1C dibawah 6,5–7%. Nilai HbA1C di bawah 6,5% diperkirakan optimal untuk mencegah komplikasi, terutama komplikasi mikrovaskular dari DMT2.[2]
Metaanalisis oleh Herrera-Gomez, et al. pada tahun 2018 menyatakan bahwa kontrol intensif terhadap indeks glikemik dapat menurunkan risiko gagal ginjal sebesar 38%. Studi kohort oleh Lind, et al. mendapatkan risiko mikrovaskular, berupa retinopati dan nefropati pada diabetes, menurun pada kadar HbA1C <7%. Namun, kejadian hipoglikemia berat pada nilai HbA1C <6,5% meningkat 1,34 kali lipat dibandingkan HbA1C sebesar 6,5–6,9%.[3,4]
Walau bermanfaat untuk menurunkan tingkat komplikasi akibat DMT2, dokter juga harus mempertimbangkan risiko hipoglikemia berat akibat target kontrol yang lebih rendah ini. Selain itu, terdapat beban tambahan akibat penggunaan polifarmasi, efek samping obat-obatan, dan biaya pengobatan.[2]
Pada orang dewasa penyandang diabetes yang tidak sedang hamil dan tidak berisiko mengalami hipoglikemia, nilai HbA1C yang direkomendasikan oleh American Diabetes Association (ADA) pada tahun 2022 adalah <7%.[5]
Berdasarkan ADA 2022, target glikemik harus disesuaikan secara individual. Pada pasien dengan risiko hipoglikemia rendah, diagnosis diabetes baru, memiliki harapan hidup yang masih panjang, tidak memiliki komorbiditas atau komplikasi, serta pada pasien dengan motivasi tinggi, maka target HbA1C dapat lebih ketat, yaitu <7%.[5]
Target yang lebih longgar, yaitu HbA1C maksimal 8%, dapat direkomendasikan bagi pasien yang diperkirakan tidak mendapatkan manfaat dari kontrol glikemik intensif, atau bahkan berpotensi dirugikan. Indikasi absolut target indeks glikemik yang lebih tinggi adalah pada pasien yang sering sering mengalami hipoglikemia, atau bila pasien pernah mengalami hipoglikemia berat. Target glikemik dapat berubah seiring perjalanan penyakit.[5]
Manfaat Terapi Intensif Diabetes Mellitus Tipe 2
Kondisi hiperglikemia pada diabetes mellitus tipe 2 dapat menimbulkan komplikasi makrovaskular, seperti penyakit kardiovaskular, dan mikrovaskular. Komplikasi mikrovaskular antara lain retinopati diabetik, nefropati diabetik dan neuropati diabetik.[2]
Studi kohort retrospektif oleh Pantalone, et al. pada tahun 2018 menilai efek kontrol glikemik terhadap skor Diabetes Complications Severity Index (DCSI) pada 32.174 pasien yang baru menerima diagnosis DMT2. Studi ini dilakukan selama 11 tahun. Pada kelompok dengan nilai HbA1C <7%, <8%, dan ≥8%, didapatkan peningkatan skor DCSI sebesar 10%, 19%, dan 16%, secara berurutan. Kontrol glikemik yang buruk dihubungkan dengan peningkatan skor DCSI.[7]
Hasil dari berbagai studi terdahulu, menemukan adanya penurunan risiko infark miokard non-fatal sebesar 9–18% terkait dengan kontrol intensif indeks glikemik. Namun, studi-studi ini gagal mendapatkan perbaikan atherosclerotic cardiovascular disease (ASCVD), maupun mortalitas akibat seluruh penyebab, stroke, atau amputasi ekstremitas bawah, dibandingkan dengan kontrol glikemik secara konvensional.[2,8]
Pada tahun 2020, Tian, et al. melakukan analisis model Cox terhadap data dari uji klinis Action in Diabetes and Vascular Disease: Preterax and Diamicron MR Controlled Evaluation (ADVANCE). Setelah follow up 5 tahun, didapatkan kontrol glikemik intensif, yang memiliki target HbA1C ≤6.5%, menurunkan kejadian kardiovaskular mayor sebesar 0,9 kali, dengan faktor penentu terkuat berupa menurunnya makroalbuminuria.[9]
Risiko Terapi Intensif Diabetes Melitus Tipe 2
Data dari 7 tinjauan sistematis yang melibatkan 33.509 peserta melaporkan risiko hipoglikemia meningkat sebanyak 2–3 kali pada pasien dengan kontrol glikemik yang intensif. Selain itu, kontrol glikemik intensif berpotensi meningkatkan risiko terjadinya efek samping obat, polifarmasi, serta biaya pengobatan dan perawatan yang lebih mahal.[2,10]
Studi-studi dahulu mendapatkan manfaat kontrol glikemik intensif terhadap luaran mikrovaskular, antara lain penurunan risiko mikroalbuminuria sebesar 10–14%, makroalbuminuria sebesar 26%, dan fotokoagulasi sebesar 10–20%. Namun, secara klinis temuan ini kurang bermanfaat bagi pasien.[2,11]
Efek samping hipoglikemia berulang yang dapat terjadi karena terapi intensif, yang dihubungkan dengan kegagalan persarafan otonom, atau dikenal sebagai hypoglycemia-associated autonomic failure (HAAF) pada diabetes. Riwayat hipoglikemia dapat menyebabkan gangguan regulasi glukosa akibat berkurangnya peningkatan epinefrin, kegagalan penurunan insulin, dan kegagalan peningkatan glukagon, pada episode hiperglikemia sebelumnya.[12]
Tidak hanya itu, tubuh juga tidak menyadari terjadi hipoglikemia, karena adanya penurunan respon simpatoadrenal yang seharusnya menghasilkan gejala neurogenik pada hipoglikemia. Hal-hal ini akan menyebabkan siklus hipoglikemia yang terus berulang. Oleh karena itu, terapi intensif dengan target HbA1c yang lebih rendah sebaiknya tidak diterapkan pada pasien dengan riwayat hipoglikemia, terutama riwayat hipoglikemia berat atau berulang.[12]
Kesimpulan
Terapi intensif untuk diabetes mellitus tipe 2 dengan target HbA1c yang lebih rendah, <6,5%, bermanfaat untuk menurunkan risiko komplikasi, seperti retinopati dan infark miokard. Walau demikian, target HbA1c yang lebih rendah ini memiliki potensi menyebabkan hipoglikemia. Dokter perlu mengedukasi pasien untuk melakukan pengecekan glukosa rutin secara mandiri guna mencegah terjadinya hipoglikemia.
Pertimbangkan manfaat dan risiko penerapan terapi intensif diabetes mellitus tipe 2 pada pasien. Jangan gunakan target kontrol HbA1c yang lebih rendah ini pada pasien yang berisiko hipoglikemia, misalnya pada pasien dengan riwayat hipoglikemia berat atau berulang, serta pada ibu hamil.
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra