Efficacy and Safety of Drugs for Gastroparesis: Systematic Review and Network Meta-analysis
Ingrosso MR, Camilleri M, Tack J, Ianiro G, Black CJ, Ford AC. Efficacy and Safety of Drugs for Gastroparesis: Systematic Review and Network Meta-analysis. Gastroenterology. 2022 Dec 26:S0016-5085(22)01398-1. doi: 10.1053/j.gastro.2022.12.014. Epub ahead of print. PMID: 36581089.
Abstrak
Latar Belakang dan Tujuan: Meskipun sudah banyak obat yang diuji untuk gastroparesis, efikasi dan keamanan obat-obat tersebut masih belum diketahui. Oleh karena itu, kami mengevaluasi hal tersebut melalui meta-analisis jaringan terhadap percobaan acak terkontrol (RCT).
Metode: Kami melakukan pencarian literatur hingga tanggal 7 September 2022. Kami menentukan efikasi obat menurut gejala umum dari gastroparesis dan gejala individu yang meliputi nausea, muntah, nyeri abdomen, kembung atau rasa penuh. Sedangkan aspek keamanan didasarkan pada total kejadian merugikan/adverse events dan kejadian merugikan yang berujung pada penghentian obat.
Kami mengekstraksi data sebagai analisis intention-to-treat, dengan asumsi drop out sebagai kegagalan terapi dan melaporkannya sebagai pooled relative risk (RR) yang tidak mengalami perbaikan disertai 95% confidence interval (CI), dan menentukan peringkat obat berdasarkan P-score.
Hasil: Teridentifikasi 29 RCT (3722 pasien). Menurut gejala umum, clebopride menempati peringkat pertama untuk efikasi (RR=0,30;95%CI 0,16-0,57; P-score 0,99) diikuti oleh domperidone (RR=0,69;95%CI 0,48-0,98; P-score 0,76). Tidak dijumpai obat lain yang lebih superior daripada plasebo.
Hanya ada dua kelas obat yang dinilai bermanfaat: berdasarkan peringkat, antagonis dopamin oral (RR=0,58; 95%CI 0,44-0,77;P-score 0,96) dan antagonis tachykinin-1 (RR=0,69; 95%CI 0,52-0,93; P-score 0,83).
Untuk gejala individu, metoclopramide oral menempati peringkat pertama untuk nausea (RR 0,46; 95%CI 0,21-1,00; P-score 0,95), rasa penuh (RR 0,67; 95%CI 0,35-1,28; P-score 0,86), dan kembung (RR 0,53; 95%CI 0,30-0,93; P-score 0,97). Hal ini berdasarkan satu-satunya percobaan kecil yang ada. Hanya prucalopride yang nampaknya berkaitan dengan kejadian merugikan dibanding plasebo.
Kesimpulan: Menurut meta-analisis jaringan, antagonis dopamin oral dan antagonis tachykinin-1 lebih bermanfaat daripada plasebo untuk gastroparesis. Namun, tingkat confidence dari bukti yang tersedia masih berkisar dari low to moderate untuk sebagian besar data perbandingan. Masih ada kebutuhan yang belum terpenuhi untuk terapi yang bermanfaat bagi gastroparesis.
Ulasan Alomedika
Gastroparesis merupakan penyakit pada motilitas saluran pencernaan bagian atas tanpa adanya obstruksi mekanis apapun pada lambung atau duodenum. Sejauh ini baru metoclopramide yang mendapat persetujuan Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi gastroparesis. Namun, peresepannya hanya direkomendasikan untuk selama 12 minggu saja dan untuk pasien berusia dibawah 65 tahun karena berisiko menyebabkan efek samping ekstrapiramidal.
Selain dari metoclopramide, sudah digunakan pula obat lainnya (off-label use) seperti antibiotik makrolid, inhibitor asetilkolinesterase, antagonis tachykinin-1. Namun efikasi maupun aspek keamanan dari sejumlah obat-obatan tersebut masih belum jelas.
Ulasan Metode Penelitian
Penelitian ini menerapkan tinjauan sistematis dan meta-analisis jaringan melalui Confidence in Network Meta-Analysis framework (CINeMA) terhadap data RCT. Adapun database RCT bersumber pada MEDLINE, EMBASE, dan Cochrane central register hingga tanggal publikasi 7 September 2022. Hanya RCT yang membandingkan obat aktif dengan obat lain atau plasebo pada pasien gastroparesis yang digunakan.
Kriteria inklusi berupa pasien dengan gastroparesis di atas usia 16 tahun dan durasi terapi minimal 7 hari. Percobaan yang memeriksa efikasi peralatan atau melibatkan intervensi endoskopi atau bedah disingkirkan dari pencarian.
Luaran primer studi ialah efek/dampak suatu obat dibandingkan obat lain atau plasebo dalam memperbaiki gejala umum gastroparesis berdasarkan gastroparesis cardinal symptom index (GCSI). Luaran sekunder meliputi efek/dampak obat untuk memperingan gejala individu gastroparesis. Hasil analisis dilaporkan sebagai pooled relative risk (RR) yang tidak mengalami perbaikan disertai 95% confidence interval (CI), dan menentukan peringkat obat menurut P-score. Aspek keamanan dinilai menurut jumlah total kejadian merugikan/adverse events dan kejadian merugikan yang berujung pada penghentian obat.
Ulasan Hasil Penelitian
Hasil pencarian menemukan 3.146 sitasi, namun hanya 29 RCT (3722 pasien) yang memenuhi syarat inklusi untuk analisis.
Untuk efek/dampak terhadap gejala umum gastroparesis, analisis menemukan bahwa clebopride menempati peringkat pertama untuk efikasi diikuti oleh domperidone. Obat lain seperti cisapride, fedotozine, mitemcinal, nortriptyline, prucalopride, relamorelin, revexepride, tradipitant, dan aprepitant ditemukan tidak superior terhadap plasebo. Clebopride juga ditemukan paling superior dibandingkan dengan obat-obat lainnya, kecuali aprepitant.
Pada subanalisis berdasarkan golongan obat, ditemukan hanya ada dua kelas obat yang bermanfaat yakni antagonis dopamin oral dan antagonis tachykinin-1. Selain dua golongan obat tersebut, tidak ditemukan golongan obat lain yang lebih superior daripada plasebo.
Data yang tersedia hanya sedikit untuk menilai efek obat terhadap gejala individu. Hasil analisis menemukan bahwa metoclopramide oral menempati peringkat pertama untuk gejala individu, yaitu gejala nausea, rasa penuh, dan kembung. Namun, hal tersebut berdasarkan satu studi kecil yang ada dan CI mencapai 1. Sedangkan dalam mengatasi gejala nyeri abdomen, tidak ada obat yang dinilai lebih efektif dibandingkan plasebo.
Dari segi keamanan, hanya prucalopride yang nampaknya berkaitan dengan kejadian merugikan/adverse event dibanding plasebo.
Kelebihan Penelitian
Penelitian ini menerapkan metode Confidence in Network Meta-Analysis framework (CINeMA) maupun PRISMA extension statement terhadap data RCT sehingga menyajikan perbandingan secara langsung dan tidak langsung. Selain itu, dilakukan pula penilaian kualitas dan risiko bias melalui Cochrane risk of bias tool, serta penilaian heterogenitas statistik.
Ekstraksi data studi sebagai analisis intention-to-treat, dengan asumsi drop out sebagai kegagalan terapi dan melaporkannya sebagai pooled relative risk (RR) yang tidak mengalami perbaikan disertai 95% confidence interval merupakan pendekatan yang lebih stabil untuk penilaian efikasi luaran primer pada kondisi terkait jika dibandingkan dengan RR improvement atau menggunakan odds ratio saja.
Limitasi Penelitian
Hasil CINeMA framework dalam mengevaluasi confidence pada hasil analisis luaran menunjukkan low to moderate confidence. Hanya ada empat RCT yang masuk dalam penilaian low risk of bias sehingga efikasi dari obat-obat yang dinilai berisiko overestimated. Selain itu, studi mengenai gastric emptying tidak dilakukan pada semua RCT yang dinilai, hal ini menyiratkan kemungkinan bahwa pasien dengan dispepsia fungsional dapat saja “tercampur” dengan pasien gastroparesis yang sesungguhnya.
Ketidakseragaman pada pengukuran luaran terapi gastroparesis antar RCT termasuk perbedaan pada time points penilaian efikasi terapi bisa berdampak pada bias hasil analisis perbandingan. Selain itu, meski meta-analisis ini mencakup total 3772 pasien, patut diketahui bahwa jumlah percobaan dari masing-masing obat relatif sedikit. Hal ini dicerminkan pada hasil analisis dengan konfidens interval yang cukup lebar pada beberapa obat, yang berarti studi ini kemungkinan underpowered untuk mendeteksi perbedaan manfaat obat golongan tertentu terhadap plasebo.
Aplikasi Hasil Penelitian Di Indonesia
Terlepas dari sejumlah limitasinya, hasil studi ini dapat memberikan gambaran umum dan petunjuk praktis pemanfaatan obat-obat golongan tertentu untuk terapi gastroparesis selain metoclopramide.
Hasil analisis studi ini menunjukkan bahwa domperidone dapat menjadi terapi alternatif selain metoclopramide pada terapi gastroparesis. Domperidone sendiri sudah tersedia dalam jenis generik dengan harga yang terjangkau di Indonesia. Namun, untuk obat-obat yang lain, dokter perlu mempertimbangkan ulang saat akan memberikannya karena telah terbukti tidak lebih baik daripada plasebo.