Fibrosis paru merupakan salah satu komplikasi utama yang dijumpai pada pasien dengan coronavirus disease 2019 atau COVID-19 dengan penyakit paru berat . Sayangnya, meskipun virus SARS-CoV-2 berhasil dieradikasi dari tubuh pasien, penyakit COVID-19 masih meninggalkan beberapa sekuele atau gejala sisa yang berat, di mana salah satunya adalah fibrosis paru.[1,2]
Fibrosis paru ditandai sebagai deposisi matriks ekstraseluler yang berlebihan di dalam interstisium serta destruksi parenkim paru yang progresif sebagai imbas dari sejumlah penyakit paru. Fibrosis paru umumnya bersifat ireversibel dan sulit diobati. Bahkan, pada sebagian besar kasus fibrosis paru menjadi salah satu faktor yang meningkatkan mortalitas pada COVID-19.[2,3]
Secara umum, fibrosis paru dapat terjadi sebagai kondisi fibroproliferatif sekunder (dipicu peradangan kronis pada paru) atau sebagai proses fibroproliferatif primer yang dipengaruhi faktor genetik dan usia, seperti pada fibrosis paru idiopatik (idiopathic pulmonary fibrosis/IPF). Fibrosis paru telah diketahui sebagai suatu sekuele dari acute respiratory distress syndrome (ARDS), sementara itu data terkini mengindikasikan bahwa 40% pasien COVID-19 mengalami ARDS, di mana 20% dari kasus ARDS dapat berkembang menjadi lebih progresif.[2,4]
Patomekanisme Fibrosis Paru pasca COVID-19
Beberapa hipotesis terkait patomekanisme fibrosis paru pada COVID-19 telah dipaparkan oleh peneliti. Sejumlah penyakit paru lain seperti pneumonia interstisial non-spesifik dan fibrosis paru idiopatik juga memiliki onset yang sama dengan fibrosis paru yang dipicu COVID-19, sehingga diduga memiliki patofisiologi yang serupa.[4,5]
Lapisan sel epitel saluran napas merupakan barrier mukosa pseudostratifikasi yang terdiri dari beberapa jenis sel, yang bertindak sebagai penghalang bagi banyak patogen seperti SARS-CoV-2, MERS-CoV (Middle East respiratory syndrome related coronavirus), dan SARS-CoV. Jejas pada paru diketahui memicu proliferasi dan aktivasi dari alveolar epithelial cells type 2 (AT2).[4,5]
Peranan Sel Epitel pada Alveoli
Infeksi SARS-CoV-2 menyebabkan kerusakan pada sel epitel alveoli dan menginduksi produksi sitokin inflamasi dan imun yang berasal dari epitel dan makrofag yang memicu terjadinya jejas pada paru. Mayoritas sel epitel dapat mengaktivasi sitokin profibrotik yang poten yaitu transforming growth factor-β (TGF-β), sejumlah mediator, sitokin inflamasi dan faktor pro remodeling yang sangat krusial dalam patogenesis fibrosis paru. Sel-sel inflamasi yang teraktivasi dan sel-sel epitel yang rusak berkontribusi pada denudasi membran basal yang kemudian memicu migrasi dan proliferasi fibroblas interstisial di ruang alveolar sebagai respons terhadap TGF-β, platelet derived growth factor (PDGF) dan interleukin-6 (IL-6).[4,6]
Infeksi SARS-CoV-2 juga melukai sel-sel endotel yang mengakibatkan perdarahan dan kebocoran plasma ke dalam alveolus. Sebagai respon terhadap pelepasan urokinase dan plasminogen activator inhibitor type-1 (PAI-1) dari epitel alveolar yang rusak, jalur koagulasi kemudian diaktifkan dan menyebabkan deposisi fibrin. Aktivasi TGF-β alveolar, pelepasan PDGF dan IL-6 dari sel epitel alveolar, sel imun dan miofibroblas yang persisten menyebabkan proliferasi miofibroblas dan terbentuknya fibrosis paru.[4,6]
Peranan Reseptor Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2)
Angiotensin converting enzyme 2 (ACE2) merupakan salah satu reseptor entri utama ke dalam sel tubuh manusia terutama sel-sel pada saluran pernapasan manusia. Berbeda dengan SARS-CoV, protein receptor binding domain (RBD) dari SARS-CoV-2 terlihat menunjukkan afinitas pengikatan yang lebih tinggi untuk reseptor ACE2.[4,6]
Selain itu, terjadi peningkatan regulasi ACE2 melalui stimulasi interferon (INF) untuk melindungi parenkim paru selama jejas paru akut. Meskipun menginduksi respons imun yang tidak seimbang dan pensinyalan IFN yang tertunda, peneliti sejauh ini belum dapat mengesampingkan bahwa infeksi SARS-CoV-2 itu sendiri dapat memicu peningkatan regulasi ACE2 yang dimediasi oleh INF. Sehingga, ekspresi reseptor ACE2 yang meningkat bersama dengan TMPRSS2 berpotensi membuat sel epitel alveolar dan enterosit menjadi sangat rentan terhadap SARS-CoV-2 dan lebih mudah memicu kerusakan yang berat pada parenkim paru.[4,6]
Berdasarkan studi epidemiologi coronavirus, pada pasien dengan risiko tinggi mengalami gejala sisa berupa fibrosis paru. Pasien risiko tinggi yang dimaksud adalah usia tua, penyakit jantung koroner, limfopenia saat masuk, peningkatan kadar interleukin, lama tinggal di ICU, peningkatan kadar LDH (lactate dehydrogenase), riwayat merokok, dan alkoholisme kronis. Maka dengan itu, terapi antifibrotik dapat dipertimbangkan.[4,9]
Faktor Risiko Fibrosis Paru pasca COVID-19
Beberapa faktor risiko yang diketahui membantu kerusakan sel epitel pada alveoli pasca COVID-19 serta mempengaruhi progresivitas penyakit, antara lain genetik dan epigenetik (misalnya hipometilasi, telomerasi dan miRNA), faktor lingkungan (misalnya merokok, paparan polusi, infeksi virus), dan sindrom metabolik.[7,8]
Studi genetika telah menyoroti gen yang terlibat dalam pertahanan antivirus bawaan, jejas paru inflamasi dan sistem golongan darah ABO terkait dengan COVID-19 yang berat atau progresif. Meskipun hingga saat ini belum ada studi yang mempelajari hubungan genetik dengan fibrosis paru pasca-COVID-19, studi terkait genom telah menyoroti banyak gen yang terkait dengan terjadinya fibrosis paru.[4,7]
Faktor usia juga menjadi salah satu faktor risiko kunci baik pada fibrosis paru maupun COVID-19, serta dapat menjadi salah satu faktor yang berkontribusi memicu fibrosis paru pasca COVID-19 menjadi lebih progresif. Peningkatan usia diketahui berkaitan dengan kekakuan parenkim paru yang dapat menjadi implikasi penting untuk aktivasi TGF-β dan pembentukan fibrosis paru. Usia juga dilaporkan mempengaruhi potensial pro-fibrotik dari fibroblas paru.[4,7]
Obesitas dan sindrom metabolik juga dilaporkan salah satu faktor risiko COVID-19. Telah dilaporkan pula bahwa pasien dengan fibrosis paru umumnya memiliki berat badan berlebih, memiliki riwayat sindrom metabolik seperti hipertensi dan diabetes. Selain itu, peningkatan indeks massa tubuh (IMT) juga dilaporkan meningkatkan risiko pasien mengalami ARDS. Meski demikian, bukti langsung yang menunjukkan hubungan antara sindrom metabolik dengan terjadinya fibrosis paru masih belum tersedia.[4,7]
Intervensi Fibrosis Paru pasca COVID-1
Terdapat beberapa alasan terapeutik untuk penggunaan terapi antifibrotik pada fibrosis paru idiopatik eksaserbasi akut, termasuk yang dipicu oleh infeksi virus. Terapi antifibrotik yang tersedia memiliki aktivitas antifibrotik yang luas terlepas dari apapun etiologinya, dan obat ini mungkin bermanfaat untuk melemahkan jalur profibrotik pada infeksi SARS-CoV-2. Strategi antifibrotik baru memiliki serangkaian efek perlindungan antivirus dan epitel pada model jejas paru akut dan akibat infeksi virus.[9,10]
Efikasi Terapi Antifibrotik pada Fibrosis Paru karena Penyakit Paru Lain
Beberapa jenis obat antifibrotik yang potensial untuk mengobati fibrosis paru yang dilaporkan antara lain pirfenidone, nintedanib rapamycin, tetrandrine spironolactone, BG00011, dan PRM-151. Pirfenidone bekerja dengan meregulasi TGF-β and TNF-α dalam studi in vitro, menghambat proliferasi fibroblas dan sintesis kolagen. Nintedanib bekerja dalam inhibisi tirosin kinase atau mediator profibrotik (FGFR-1, PDGFR, dan VEGFR-2).[1,10]
Pirfenidone dan nintedanib adalah obat antifibrotik yang diakui efektif 50% dalam mengurangi kecepatan penurunan fungsi paru pada kasus fibrosis paru idiopatik, meskipun memiliki cara kerja yang berbeda. Terapi ini secara luas dianggap dapat meningkatkan angka harapan hidup sebanyak 2·5 tahun.[1,11]
Tetrandrine bertindak untuk mengganggu pensinyalan TGF-β. Pada studi hewan coba, penggunaan tetrandrine dilaporkan dapat melemahkan inflamasi dan remodeling pada saluran napas. Rapamycin bertindak sebagai inhibitor mTOR yang dilaporkan dapat mengobati fibrosis paru idiopatik dan yang diinduksi radiasi.[10,12]
BG00011 (Biogen) bekerja sebagai anti-Avb6-intergrins. Meski demikian peranan utamanya dalam mengobati fibrosis paru idiopatik masih memiliki bukti yang terbatas, serta terdapat memiliki masalah keamanan. PRM-151 merupakan rekombinan human pentraxin yang bekerja dengan menurunkan produksi TGF-β. PRM-151 dilaporkan bermanfaat untuk terapi fibrosis paru idiopatik dan fibrosis paru yang diinduksi bleomycin.[13,14]
Terapi Antifibrotik pada Fibrosis Paru Pasca COVID-19
Belum tersedia cukup data klinis terkait penggunaan terapi antifibrotik pada fibrosis paru pasca COVID-19. Sejauh ini uji klinis dari penggunaan antifibrotik pada COVID-19 masih berjalan, yaitu: pirfenidone, nintedanib dan tetrandrine. Oleh karena itu, penggunaan terapi antifibrotik sebagai pengobatan ataupun pencegahan fibrosis paru pasca COVID-19 harus menggunakan prinsip kehati-hatian. Penggunaan terapi antifibrotik pada COVID-19 mungkin bergantung pada identifikasi biomarker di awal perjalanan penyakit untuk mengidentifikasi pasien dengan prognosis buruk yang cenderung akan mengalami fibrosis paru dan cidera paru akut. Selain itu juga perlu ditekankan bahwa penggunaan terapi antifibrotik pada COVID-19 hanya dapat didasarkan pada ekstrapolasi dari penyakit paru kronis.[1,10]
Sejak April 2020, pirfenidone dan nintedanib hanya tersedia secara komersial dalam sediaan oral sehingga tidak dapat digunakan pada pasien yang diintubasi dan berventilasi mekanis. Hal ini jelas membatasi penggunaannya pada pasien dengan COVID-19 berat di unit perawatan intensif (ICU). Adapun penggunaan pirfenidone inhalasi masih dievaluasi pada pasien dengan COVID-19.Selain itu, penggunaan pirfenidone harus dihindari jika pasien memiliki estimasi laju filtrasi glomerulus kurang dari 30 mL/menit per 1,73 m2. [1,10]
Beberapa strategi pengobatan serta pencegahan fibrosis paru pasca COVID-19 dapat diadopsi untuk mengatasi masalah potensial ini, yaitu: pengobatan antivirus yang efektif, klinik rawat jalan khusus untuk follow-up pasien yang telah pulih, identifikasi pasien yang berisiko mengalami komplikasi jangka panjang, pemeriksaan Rontgen dada serial, dan rujukan ke pusat rehabilitasi. [1,10]
British Thoracic Society telah menyarankan penilaian klinis yang rinci, Rontgen toraks, dan tes fungsi paru pada 12 minggu pasca pemulangan pasien serta rujukan ke dokter spesialis secara tepat waktu jika terdapat bukti penyakit paru interstisial. Seiring dengan jumlah pasien yang pulih dari ARDS COVID-19 atau penyakit paru COVID-19 meningkat secara eksponensial dalam beberapa bulan terakhir, gejala sisa atau sekuele paru jangka panjang tidak boleh diabaikan.[1,10]
Kesimpulan
Adanya peningkatan jumlah pasien yang pulih dari ARDS akibat COVID-19 dalam beberapa bulan terakhir memberikan peringatan untuk tidak mengabaikan adanya potensi munculnya gejala sisa atau sekuele seperti fibrosis paru. Fibrosis paru ditandai sebagai deposisi matriks ekstraseluler yang berlebihan di dalam interstisium serta destruksi parenkim paru yang progresif dan bersifat ireversibel dan bahkan dapat meningkatkan progresivitas serta mortalitas COVID-19.
Bukti ilmiah terkait manfaat dan keamanan terapi antifibrotik pada kasus fibrosis paru pasca COVID-19 masih terbatas. Oleh karena itu, penggunaan terapi antifibrotik sebagai pengobatan ataupun pencegahan fibrosis paru pasca COVID-19 harus menggunakan prinsip kehati-hatian. Beberapa strategi pengobatan serta pencegahan fibrosis paru pasca COVID-19 dapat diadopsi untuk mengatasi masalah potensial ini, yaitu: pengobatan antivirus yang efektif, klinik rawat jalan khusus untuk follow-up pasien yang telah pulih, identifikasi pasien yang berisiko mengalami komplikasi jangka panjang, pemeriksaan Rontgen dada serial, dan rujukan ke pusat rehabilitasi.