Sindrom Ogilvie atau ileus merupakan salah satu komplikasi terkait sectio caesarea yang perlu diwaspadai. Sindrom Ogilvie atau pseudo-obstruksi kolon akut (acute colonic pseudo-obstruction/ ACPO) merupakan bentuk khas dari dilatasi kolon tanpa adanya bukti penyebab anatomis atau mekanik. Dilatasi usus ini secara klasik terjadi pada caecum dan kolon ascendens dengan adanya transisi di dekat fleksura splenika.[1,2]
Sindrom Ogilvie menimbulkan gangguan motilitas pada usus normal, menyebabkan akumulasi udara dan cairan berlebih. Pada pemeriksaan radiologi, seringkali muncul gambaran kolon yang terdilatasi tanpa adanya bukti lesi obstruktif. Tanpa terapi, distensi dapat menyebabkan perforasi usus karena ruptur atau iskemia. Pasien yang menjalani pembedahan, seperti sectio caesarea (SC) sering mengalami sindrom Ogilvie pada hari ke-3 sampai ke-5 pasca operasi.[1-3]
Sindrom Ogilvie pada Kehamilan dan Persalinan
Angka kejadian sindrom Ogilvie selama kehamilan diperkirakan sangat rendah. Sebuah laporan kasus mendeskripsikan seorang pasien usia 30 tahun, hamil 23 minggu, yang terdiagnosis sindrom Ogilvie dan awalnya diberikan terapi konservatif. Namun, dikarenakan gejala yang memburuk dan pada MRI didapatkan distensi kolon parah, dilakukan pembedahan berupa apendektomi dan cecostomy. Setelah operasi, gejala pasien membaik dan tidak terdapat komplikasi perkembangan janin.[4-6]
Pada kasus ini, peneliti menduga bahwa ketidakseimbangan sistem saraf otonom mempengaruhi fungsi intestinal yang menyebabkan berlebihnya aktivitas simpatik atau inhibisi komponen parasimpatik sehingga menyebabkan hipotoni dari usus. Peneliti lain juga menyebutkan bahwa Sindrom Ogilvie berhubungan dengan menurunnya aktivitas komponen parasimpatis pada sistem saraf otonom yang berasal dari pleksus pelvis.[6]
Dalam laporan kasus lain, pasien berusia 33 tahun dengan usia kehamilan 36 minggu dan preeklampsia berat menjalani persalinan pervaginam setelah diinduksi. Dalam 24 jam setelah persalinan, pasien mengeluh nyeri dengan abdomen yang distensi dan didiagnosis sindrom Ogilvie. Secara keseluruhan, kasus sindrom Ogilvie postpartum diperkirakan sangat rendah. Sindrom Ogilvie postpartum diperkirakan berkaitan dengan penurunan inervasi parasimpatik kolon yang menyebabkan atonia kolon distal dan dilatasi kolon proksimal.[7]
Sindrom Ogilvie dan Sectio Caesarea
Sindrom Ogilvie memang paling banyak dikaitkan dengan komplikasi tindakan pembedahan pada perut, termasuk sectio caesarea. Faktor yang meningkatkan risiko sindrom ini adalah preeklampsia, paparan terhadap anestesi umum, kehilangan darah >1 liter, dan transfusi produk darah. Apabila tidak ditangani dengan baik, usus akan mengalami dilatasi progresif yang dapat menjadi iskemik atau perforasi. Mortalitas akan sangat tinggi (hingga 40%) bila pasien mengalami iskemia atau perforasi usus.[5,8]
Pada sectio caesarea, mekanisme terjadinya sindrom Ogilvie diperkirakan berkaitan dengan adanya disfungsi parasimpatik sekunder yang menyebabkan peristaltik yang tidak teratur dan dilatasi progresif. Hal tersebut diperburuk oleh kondisi uterus gravid yang menekan pleksus parasimpatik dari sakrum yang menginervasi kolon.[9]
Kejadian sindrom Ogilvie lebih banyak ditemukan pada sectio caesarea darurat dibandingkan elektif. Faktor patogenik di antaranya partus memanjang, kelelahan maternal, kehilangan berat badan, status kesehatan yang buruk, kehilangan cairan, hipoalbuminemia, imbalans elektrolit, dan kelainan keseimbangan asam-basa. Sindrom Ogilvie juga lebih banyak didapatkan pada pasien dengan Haemolysis, Elevated Liver enzymes and Low Platelets syndrome (HELLP), kehamilan ganda, dan perdarahan antepartum.[9,10]
Penanganan Sindrom Ogilvie Pasca Sectio Caesarea
Gejala awal yang sering dirasakan pasien adalah adanya nyeri perut dan distensi abdomen, yang sangat mirip dengan gejala umum pasca SC. Untuk meningkatkan kecurigaan terhadap sindrom ini, klinisi perlu waspada jika terdapat distensi abdomen progresif tanpa penyebab mekanik yang jelas, penurunan motilitas usus, nyeri abdomen yang tidak proporsional terhadap temuan klinis lain, muntah, dan kesulitan flatus. Gejala umumnya muncul 48 jam pasca operasi, tetapi dapat muncul lebih cepat yakni dalam 6 jam pertama.[9]
Rontgen abdomen biasanya menunjukkan dilatasi kolon signifikan, terutama pada caecum dan kolon asendens, tanpa tanda obstruksi distal. CT scan lebih baik dalam menggambarkan kolon yang distensi, mengidentifikasi penyebab lain yang mungkin, serta menilai risiko perforasi. Pemeriksaan elektrolit juga penting karena ketidakseimbangan, terutama hipokalemia atau hipomagnesemia, dapat memperburuk kondisi. Kolonoskopi kadang dilakukan jika diagnosis masih belum jelas atau untuk dekompresi kolon terapeutik.[9,10]
Terapi Jika Diameter Usus Kurang dari 9 cm
Pada kasus dengan diameter caecum kurang dari 9 cm, terapi konservatif adalah pilihan pertama. Ini meliputi istirahat usus (puasa), koreksi ketidakseimbangan elektrolit, dan penghentian sementara obat-obatan yang memperlambat motilitas usus. Agen blokade simpatik seperti guanethidine dan inhibitor asetilkolinesterase seperti neostigmine dapat diberikan.[10]
Terapi lain yaitu pemantauan tanda vital, CRP, dan elektrolit, serta pemasangan nasogastric tube dan rectal tube. Neostigmine merupakan terapi yang efektif untuk mengobati dismotilitas pada saluran cerna. Efek samping yang perlu diwaspadai dalam penggunaan neostigmine yaitu bradikardia, hipotensi, dan vomitus.[11]
Sindrom Ogilvie juga dapat berhubungan dengan ketidakseimbangan elektrolit sehingga terapi untuk mengoreksi elektrolit dapat dilakukan bersamaan dengan terapi lainnya. Kolonoskopi dapat membantu dekompresi kolon, namun memiliki risiko signifikan terjadinya perforasi. [10-12]
Terapi Jika Diameter Usus Lebih dari 12 cm
Pada pasien dengan diameter kolon >12 cm, dekompresi endoskopik dengan kolonoskopi dapat dilakukan untuk mengurangi tekanan intraluminal. Meski demikian, prosedur ini memerlukan pengawasan yang ketat karena ada risiko perforasi selama intervensi. Pada kasus yang refrakter atau jika terdapat tanda iskemia atau perforasi usus, pembedahan seperti laparotomi emergensi dan reseksi segmental akan diperlukan.[5,10-12]
Pada saat pembedahan, tindakan yang dilakukan dapat berbeda-beda bergantung kondisi klinis pasien, misalnya dilakukan repair pada caecum, debridemen dinding yang mengalami nekrosis, reseksi ileocaecal, atau hemicolectomy. Selain itu, adanya peritonitis fekal akan memerlukan ileostomi yang dapat ditutup di kemudian hari dengan sayatan peristomal kecil.[13-14]
Kesimpulan
Sindrom Ogilvie merupakan suatu komplikasi tindakan sectio caesarea (SC) di mana terjadi pseudo-obstruksi kolon pasca operasi. Sindrom ini sulit dideteksi pada tahap awal karena gejalanya mirip dengan keluhan pasca SC umumnya, seperti nyeri dan distensi abdomen. Meski begitu, adanya distensi abdomen progresif tanpa penyebab mekanik yang jelas, penurunan motilitas usus, nyeri abdomen yang tidak proporsional terhadap temuan klinis lain, muntah, dan kesulitan flatus dapat meningkatkan kecurigaan ke arah sindrom Ogilvie.
Pemeriksaan radiologi, seperti rontgen dan CT scan abdomen, dapat menunjukkan adanya dilatasi kolon signifikan tanpa bukti adanya obstruksi di bagian distal. Penatalaksanaan bergantung pada seberapa besar diameter usus pasien. Jika diameter usus diperkirakan <9 cm, maka terapi konservatif dapat dilakukan. Di sisi lain, jika diameter usus melebihi 12 cm, maka tindakan operatif umumnya diperlukan.