Dalam praktik klinis, dokter mungkin berhadapan dengan pasien yang meminta second opinion atau opini kedua tentang masalah kesehatannya. Hal ini merupakan salah satu perubahan yang terjadi pada layanan medis akhir-akhir ini, yaitu perubahan layanan yang bersifat paternalistik menjadi lebih terpusat pada pasien atau patient-centered.
Pencarian second opinion bahkan disarankan oleh lembaga-lembaga kesehatan di beberapa negara maju. Akan tetapi, hal ini sering menjadi momok tersendiri bagi dokter. Beberapa dokter mungkin merasa tersinggung jika pasiennya mencari opini kedua, terutama jika hal ini dilakukan secara mandiri tanpa anjuran dokter yang bersangkutan. Di sisi lain, second opinion merupakan hak pasien, seperti tertulis dalam Declaration of Lisbon on the Rights of the Patient, World Medical Association, 2017.[1-3]
Pemberian second opinion juga menjadi sulit dilakukan karena berpotensi menimbulkan konflik antar sejawat, terutama jika terjadi kesalahan dalam diagnosis pertama dan cara berkomunikasi yang kurang baik. Untuk menghindari hal-hal ini, konsep tentang opini kedua harus diketahui oleh dokter dengan baik.[1,2,4]
Second opinion adalah topik yang sensitif. Tiap-tiap dokter memiliki cara pandang yang berbeda terhadap opini kedua. Dokter sering kali melupakan bahwa dalam pencarian second opinion, dokter bukan satu-satunya pihak yang merasa dirugikan atau tidak nyaman. Pasien juga mungkin merasakan hal serupa. Salah satu faktor yang dapat mendorong pasien mencari second opinion adalah dokter sendiri.[1,5,6]
Alasan Pasien Mencari Second Opinion
Pasien umumnya mencari opini medis dari dokter yang berbeda karena beberapa alasan, yaitu: (1) keraguan terhadap diagnosis atau terapi yang diberikan (38%); (2) ketidakpuasan dengan komunikasi dokter pertama (19%); (3) keinginan expertise subspesialis (19%); dan (4) rekomendasi dari orang lain.
Selain mencari second opinion dari dokter lain, pasien saat ini juga lebih aktif mencari informasi lain dari internet. Secara umum, terdapat dua hal utama yang mendorong pasien untuk mencari second opinion, yaitu komunikasi dokter yang kurang baik atau pembinaan rapor serta rasa percaya terhadap dokter yang kurang baik.
Pasien yang mencari second opinion sering kali merasa tidak didengarkan atau tidak mendapat penjelasan yang baik tentang penyakit yang dideritanya. Hal ini mungkin saja terjadi karena dokter kurang meluangkan waktu untuk melakukan KIE (konseling, informasi, dan edukasi) dengan baik kepada pasien, padahal diagnosis dan terapi yang diberikan dokter tersebut sudah tepat.[1,5-7]
Pasien juga sering kali mencari opini kedua ketika harus menjalani terapi yang dinilai berat atau meragukan diagnosis yang diberikan. Dokter mungkin merasa tersinggung jika pasien mencari opini kedua. Padahal, dalam praktik sehari-hari, opini kedua dapat menyelamatkan nyawa pasien.
Studi menunjukkan bahwa dokter melakukan kesalahan diagnosis terhadap 1 dari 20 pasien rawat jalan per tahun dan sekitar 50% dari kesalahan tersebut berpotensi membahayakan nyawa pasien. Setiap tahun, sekitar 100.000 kematian di rumah sakit terjadi karena kesalahan medis. Angka ini dinilai sangat tinggi dan seharusnya menjadi pertimbangan bagi para dokter bahwa second opinion merupakan hal yang mungkin bermanfaat bagi pasien.[1,5,6,8]
Mengenali Manfaat dan Risiko Second Opinion
Pencarian second opinion memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing. Tindakan ini mungkin menimbulkan konflik antara dokter dan pasien serta konflik antara dokter pertama dan dokter kedua. Selain itu, pencarian second opinion juga mungkin akan membuang waktu pasien dan menunda inisiasi terapi. Namun, second opinion juga memiliki manfaat. Second opinion dapat memberikan perspektif diagnosis dan terapi yang berbeda, sehingga prognosis pasien dapat menjadi lebih baik.[4,5,7]
Suatu penelitian cross-sectional pada 848 pasien mendapatkan bahwa dengan mencari second opinion, pasien menjadi lebih puas terhadap layanan medis yang didapat (84%) dan mengalami perbaikan klinis (77%). Penelitian lain menunjukkan bahwa dengan mencari second opinion, pasien menjadi lebih mengerti tentang kondisinya (92,6%; P = 0,0003) dan lebih yakin dalam membuat keputusan medis (95,1%; P = 0,025).[6,7]
Landasan Etik dan Medikolegal untuk Pemberian Second Opinion
Opini medis, termasuk opini medis kedua, merupakan salah satu hak pasien yang harus dihargai oleh dokter sebagaimana diatur dalam Deklarasi Lisbon tentang hak-hak pasien. Hak pasien tersebut adalah “freedom of choice”, yaitu hak untuk memilih dan mengganti dokter, rumah sakit, atau fasilitas layanan medis yang didapatnya dengan bebas, serta hak untuk mendapatkan opini dari dokter lain kapan pun.
Di Indonesia, hal ini juga diatur dalam Undang Undang No.23 tahun 1992 pasal 53 ayat 2 tentang kesehatan, yang berbunyi “tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien”.
Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) tahun 2012 juga mempertegas kembali hal ini dalam pasal 10, yang berbunyi “seorang dokter wajib menghormati hak-hak- pasien, teman sejawatnya, dan tenaga kesehatan lainnya, serta wajib menjaga kepercayaan pasien”. Landasan hukum dan etik kedokteran ini merupakan hal yang tidak boleh dilupakan oleh dokter dalam menyikapi opini kedua ketika berpraktik sehari-sehari.[3,9]
Cara Menyikapi Permintaan Second Opinion sebagai Dokter Pertama
Dokter pertama sering kali merasa tidak nyaman jika pasien yang dirawatnya mendapat opini kedua karena merasa pasien tidak loyal, kompetensinya dipertanyakan, ataupun takut kehilangan pasien.
Suatu studi menyatakan bahwa hanya ada sekitar 50% kasus di mana pendapat dokter pertama tidak berbeda dengan dokter kedua dan 91% pasien tetap memilih menjalani pengobatan dengan dokter pertama ataupun mengikuti saran dokter pertama.[1,6,10]
Dokter tidak boleh melupakan bahwa tujuan utama praktik kedokteran adalah untuk memberikan layanan medis yang terbaik bagi pasien. Seorang dokter juga diwajibkan untuk bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya.
Dokter harus mengakui batasan kompetensinya, bahkan menganjurkan pasien mencari second opinion dari sejawat lain di bidang yang sama atau di bidang spesialisasi dan subspesialisasi lain. Hal ini sering ditemukan pada kasus kanker serta tindakan elektif.
Dokter tidak boleh memaksakan suatu terapi atau diagnosis tertentu pada suatu pasien yang dapat membahayakan atau merugikan pasien, terutama bila hal tersebut belum teruji kebenarannya atau berada di luar kompetensinya.[1,9,11]
Dokter perlu menawarkan opsi kepada pasien untuk mencari second opinion dari dokter lain apabila:
- Terdapat keraguan dalam diagnosis pasien
- Pasien memiliki kondisi medis yang berada di luar bidang kompetensinya
- Pilihan terapi yang dianjurkan masih kontroversial atau eksperimental
- Pasien menginginkan opini kedua
- Respons terapi pasien tidak baik seperti yang diharapkan
- Terjadi komplikasi karena terapi yang diberikan
- Pasien membutuhkan tindakan atau pemeriksaan yang memakan biaya besar
- Tindakan elektif atau operasi besar
Dokter berkewajiban untuk melakukan KIE dan membina rapor dengan baik. Apabila setelah pembinaan rapor dan KIE yang baik pasien tetap menginginkan opini kedua, dokter harus mendukung hal tersebut. Dalam hal ini, dokter perlu memberikan pasien informasi medis serta resume medis secara objektif dan lengkap tanpa jargon medis.
Apabila pasien kemudian memutuskan untuk menjalani terapi kembali dengan dokter pertama, dokter tetap harus merawat pasien dengan baik dan tetap memberikan layanan medis tanpa menghakimi keputusan pasien.[1,4,9]
Cara Menyikapi Permintaan Second Opinion sebagai Dokter Kedua
Dokter mungkin menjadi pihak yang diminta untuk memberikan second opinion. Pasien mungkin mencari second opinion karena disarankan oleh dokter yang merawat dirinya sebelumnya. Namun, pasien juga mungkin mencari opini medis lain secara mandiri dengan memberitahukan kepada dokter yang bersangkutan ataupun tidak.[1,6,11]
Tindakan yang Harus Dilakukan Saat Dokter Hendak Memberikan Second Opinion
Dalam memberikan opini medis, dokter harus mengingat bahwa kewajiban utamanya adalah memberikan layanan medis yang terbaik bagi pasien. Bila dokter mendapatkan bahwa dirinya harus memberikan opini kedua, baik disadari ataupun tidak, dokter harus selalu memperhatikan hal-hal berikut ini:
- Tetap memeriksa pasien kembali dan mendapatkan informasi medis yang paling lengkap, termasuk mendapatkan resume medis, surat pengantar, ataupun hasil pemeriksaan dari dokter pertama sebelum memberikan opini profesionalnya
- Menjadikan informasi dari dokter sebelumnya sebagai bahan analisis tetapi tetap bersifat objektif dalam membuat keputusan medisnya tersendiri, sesuai dengan kompetensinya dan tidak dipengaruhi faktor lain
- Menyadari bahwa dirinya berada dalam posisi yang lebih mudah dibandingkan dokter pertama karena memiliki informasi medis yang lebih banyak, sehingga hampir selalu dapat memberikan expertise medis yang lebih baik dan terkesan lebih kompeten
- Tidak dibenarkan untuk menyombongkan diri ketika memberikan second opinion atau merendahkan dokter sebelumnya
- Tidak dibenarkan untuk memberikan saran medis demi keuntungan pribadinya, dan tetap harus menyarankan pasien untuk kembali melakukan pengobatan dengan dokter pertama
- Menyadari bahwa second opinion tetap memiliki risiko, seperti memberikan harapan palsu, mematahkan harapan pasien akan diagnosis yang lebih baik, atau mengalami kesalahan. Dalam hal ini, dokter kedua juga dapat melakukan kesalahan dan pasien tetap berhak menempuh jalur hukum
Seluruh hal ini juga telah dipertegas dalam Kodeki bahwa tiap dokter wajib menghindari perbuatan yang bersifat memuji diri. Dokter harus menghormati hak teman sejawatnya, menghormati hak pasien, dan senantiasa mengutamakan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi pasien.[1,9,11,12]
Tindakan yang Dilakukan Jika Dokter Menemukan Kesalahan Opini Medis Sebelumnya
Bila dokter menemukan kesalahan dalam diagnosis ataupun terapi sebelumnya, dokter diwajibkan bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
- Dokter kedua memiliki kewajiban untuk memberitahukan pasien kondisi yang dialami dengan sejujurnya berdasarkan penilaian klinis yang telah dilakukan
- Dokter diwajibkan memberitahukan pasien hasil temuan dan penilaian klinisnya tanpa menyalahkan dokter sebelumnya dan tanpa memicu konflik antara dokter dan pasien
- Dokter kedua tidak memiliki kewajiban secara legal untuk menyatakan bahwa dokter sebelumnya salah. Dokter pertama memiliki kewajiban moral terhadap pasien untuk memberitahukan kesalahan yang dilakukannya terhadap pasien
- Opini kedua diberikan sesuai dengan batas kemampuan dokter, yakni dengan tujuan pengobatan medis. Dokter kedua dapat memberikan saran seputar keputusan medis yang harus dibuat pasien, tetapi bukan saran medikolegal
- Dokter tidak dapat menyarankan pasien untuk melakukan gugatan terhadap dokter sebelumnya. Namun, pasien memiliki hak untuk menuntut dokter pemberi opini sebelumnya bila tindakan atau keputusan dokter sebelumnya memenuhi kriteria dan unsur malpraktik
- Dokter yang menemukan kesalahan praktik medis memiliki kewajiban untuk mengingatkan sejawatnya yang pada saat menangani pasien diketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan
- Dokter kedua juga berkewajiban untuk menjelaskan hasil temuannya ke dokter pertama dalam bentuk resume medis atau surat pengantar
Baik dokter pertama ataupun dokter kedua tetap harus menghargai hak pasien untuk menentukan keputusan medisnya, baik dalam menentukan dokter mana yang akan merawat pasien ataupun akan menempuh jalur hukum atau tidak. Setiap dokter yang terlibat memiliki kewajiban masing-masing untuk mengutamakan kesehatan pasien dan bekerja sama dalam merawat pasien.[6,9,11]
Kesimpulan
Second opinion medis adalah hal yang bersifat sensitif, baik bagi pasien maupun bagi tiap dokter yang terlibat. Pencarian second opinion merupakan hak pasien yang harus dihargai oleh tiap dokter. Pemberian second opinion itu sendiri merupakan salah satu kewajiban dokter.
Pemberian second opinion memiliki risiko dan keuntungannya masing-masing. Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati sambil tetap memperhatikan hak pasien serta hak sejawat yang terlibat sesuai dengan kaidah kode etik kedokteran.
Bila kesalahan dalam praktik medis terjadi, pasien memiliki pilihan untuk menempuh jalur hukum sesuai dengan landasan medikolegal yang berlaku. Akan tetapi, hal ini merupakan keputusan pasien dan bukan merupakan keputusan dokter yang terlibat. Kerja sama dan komunikasi yang baik antara dokter pertama, dokter kedua, dan pasien serta keluarga merupakan kunci utama kualitas layanan medis yang terbaik.
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur