Angka kelahiran bayi prematur secara global mencapai 15 juta kelahiran per tahun. Indonesia masuk dalam 5 negara dengan kelahiran prematur 675.700 per tahun. Bayi prematur adalah bayi yang lahir pada usia gestasi <37 minggu.[1,4]
Faktor Risiko Bayi Prematur
Faktor risiko bayi prematur dapat berasal dari faktor maternal dan faktor fetus. Faktor maternal meliputi meliputi usia dan penyakit ibu, komplikasi obstetri, riwayat aborsi atau kelahiran prematur sebelumnya, psikososial, genetik, infeksi, serta nutrisi ibu pada saat kehamilan.
Usia dan Penyakit Ibu
Usia ibu yang berisiko untuk terjadinya persalinan prematur adalah <18 atau >40 tahun pada saat hamil. Sedangkan penyakit yang menjadi faktor risiko untuk kelahiran prematur adalah hipertensi, diabetes mellitus, gangguan koagulasi, serviks yang lemah, kelainan uterus.[2,3]
Komplikasi Obstetri
Komplikasi obstetri seperti ketuban pecah dini (KPD), abruptio plasenta, plasenta previa, oligohidramnion dan polihidramnion, serta perdarahan pervaginam merupakan kondisi klinis yang menjadi faktor risiko kelahiran prematur.[2,4]
Psikososial
Faktor psikososial juga berperan dalam kelahiran prematur, seperti stress maternal, penggunaan obat-obatan terlarang, alkohol, pelayanan antenatal yang terlambat atau tidak sesuai ketentuan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), berdiri terlalu lama, merokok, serta jarak kehamilan yang terlalu dekat.[2,3]
Infeksi
Infeksi maternal dapat menjadi faktor risiko kelahiran prematur, seperti penyakit radang panggul (pelvic inflammatory disease/PID), penyakit kelamin dan infeksi menular seksual (IMS), infeksi saluran kemih (ISK).[2,3]
Nutrisi
Kurang nutrisi saat kehamilan, obesitas maupun malnutrisi dan underweight juga dapat menjadi risiko kelahiran prematur.[2,3]
Faktor Fetus
Faktor fetus seperti anomali fetus, intrauterine growth restriction (IUGR), kehamilan kembar baik gemeli atau lebih juga berperan dalam kelahiran prematur.[2,3]
Dampak Kelahiran Prematur di Kemudian Hari
Pada usia gestasi 34–40 minggu, otak fetus mengalami perkembangan yang pesat. Pada usia 34 minggu, berat korteks otak mencapai 65% dari berat korteks otak pada bayi neonatus yang lahir cukup bulan. Pada trimester akhir, terjadi proliferasi neuron dan sinaptogenesis intrauterin.[4]
Kebutuhan nutrisi bayi prematur lebih besar daripada bayi cukup bulan, karena kehilangan periode pertumbuhan pesat pada usia gestasi 24–40 minggu. Maka dari itu, kelompok usia ini berisiko untuk mengalami faltering growth terutama dalam 6 bulan pertama kehidupan dan hal ini dapat menjadi cikal bakal terjadinya stunting.[1,5]
Gangguan Pertumbuhan
Bayi prematur berisiko untuk mengalami poor feeding, defisiensi nutrisi dan keterlambatan pertumbuhan. Hal ini karena kemampuan menelan, menghisap, minum, dan bernapas pada beberapa bayi yang lahir prematur belum cukup matur.[3]
Bayi prematur dan/atau IUGR seringkali mengalami berat badan lahir rendah dan berisiko untuk mengalami early growth faltering. Hal ini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko untuk kelahiran prematur, seperti kurangnya asupan nutrisi, malnutrisi saat kehamilan, penyakit ibu saat kehamilan, sanitasi yang buruk, dan enteropati.[1,5]
Osteopenia Prematuritas
Osteopenia prematuritas adalah penurunan densitas tulang pada bayi prematur dan berat badan lahir rendah (BBLR). Fetus mendapat kalsium dan fosfor intrauterin pada 3 bulan terakhir masa gestasi, sehingga bayi prematur seringkali tidak mendapat kalsium dan fosfor dengan jumlah adekuat dan berisiko mengalami osteopenia prematuritas.
Osteopenia prematuritas ditandai dengan penurunan kadar ion kalsium (Ca2+) dan fosfor serta peningkatan serum alkali phosphatase (ALP). Pemeriksaan kadar ini sebaiknya dilakukan pada usia gestasi <34 minggu dan berat badan lahir <1800 gram.[1]
Keterlambatan Perkembangan Kognitif
Bayi late preterm berisiko 2 kali lebih besar untuk memiliki IQ <85 dibandingkan bayi yang lahir cukup bulan. Akan tetapi, beberapa studi tidak menemukan perbedaan kemampuan kognitif antara bayi prematur dan cukup bulan di kemudian hari.[4]
Keterlambatan Berbicara
Keterlambatan berbicara ditemukan di beberapa studi. Akan tetapi, beberapa studi juga menemukan hal ini tidak berbeda secara statistik dibandingkan anak yang lahir matur.[4]
Cerebral Palsy
Risiko cerebral palsy ditemukan pada beberapa studi berhubungan dengan kelahiran prematur. Faktor risiko untuk cerebral palsy pada bayi prematur meliputi resusitasi saat persalinan, mereka yang mendapatkan antibiotik pada perawatan awal, APGAR <7, dan perdarahan intrakranial.[4]
Perkembangan Masa Sekolah
Gangguan perkembangan pada masa sekolah untuk bayi prematur berhubungan dengan keterlambatan kemampuan membaca serta kemampuan kognitif.[4]
Gangguan Neuroperilaku
Gangguan neuroperilaku pada anak yang lahir prematur antara lain seperti attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) dan autisme. Angka kejadian ADHD dan autisme meningkat pada anak yang lahir prematur dibandingkan cukup bulan. [4]
Komplikasi Saat Remaja dan Dewasa
Beberapa studi menunjukkan bahwa anak yang lahir prematur lebih banyak mengalami keterlambatan menamatkan sekolah menengah atas (SMA). Beberapa hal yang mempengaruhi hal ini adalah diabetes tipe 2, asma, gangguan kognitif, mental, dan fisik.[4]
Penanganan Kejar Tumbuh Bayi Ex–Prematur yang mengalami Faltering Growth
Penanganan kejar tumbuh pada bayi ex–prematur yang mengalami faltering growth dilakukan dengan pemeriksaan status gizi dan masalah nutrisi, pemberian ASI dan tambahan susu formula, identifikasi kebutuhan kalori dan protein, serta monitoring tumbuh kembang.
Pemeriksaan Status Gizi dan Masalah Nutrisi
Pemeriksaan status gizi dan masalah nutrisi pada bayi ex–prematur yang mengalami faltering growth dibagi berdasarkan kelompok usia bayi dan anak. Faltering growth ditegakkan bila:
- Berat badan anak secara konsisten berada di bawah persentil ke–3 hingga ke–5 untuk usia dan jenis kelamin
- Penurunan berat badan secara progresif hingga di bawah persentil ke–3 hingga ke–5
- Terjadi penurunan 2 persentil pertumbuhan mayor dalam waktu singkat[7,8]
Identifikasi Kebutuhan Kalori dan Protein
Kelompok yang mengalami faltering growth membutuhkan diet yang tinggi energi dan nutrisi untuk kejar tumbuh (catch up growth). Kejar tumbuh tidak akan terjadi kecuali asupan energi melebihi estimated energy requirement (EER) sesuai usia, yaitu:
- 0-2 bulan: 100–110 kkal/kgBB per hari
- 3-5 bulan: 85-95 kkal/kgBB per hari
- 6-8 bulan: 80-85 kkal/kgBB per hari
- 9-11 bulan: 80 kkal/kgBB per hari
- 12-24 bulan: 80-83 kkal/kgBB per hari[13]
Estimasi kebutuhan energi untuk kejar tumbuh anak malnutrisi dapat dihitung dengan cara berikut:
Nutrisi berdasarkan kebutuhan energi diberikan sesuai toleransi, kebiasaan makan, faktor aktivitas, dan faktor stres dengan memperhatikan prinsip gizi seimbang.[14]
Selain kebutuhan kalori, kebutuhan protein juga berbeda pada kelompok yang mengalami faltering growth, yaitu 2,5 gram/kgBB/hari usia 0–1 bulan, 1,8 gram/kgBB/hari usia 1 sampai <2 bulan, dan 1,4 gram/kgBB/hari usia 4–12 bulan.[15]
Sedangkan kebutuhan protein pada anak yang membutuhan catch-up growth maupun pada anak yang sedang sakit adalah 2,82–4,82 gram/kgBB/hari dengan kisaran kalori 126–167 kkal/kg/hari.[16]
Pemberian ASI dan Tambahan Susu Formula
Nutrisi dari ASI merupakan yang utama direkomendasikan, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi prematur untuk kejar tumbuh terutama BBSLR (BB <1500 gram) untuk protein, fosfor, kalsium dan prebiotik, seperti scGOS:lcFOS (9:1); sehingga diperlukan human milk fortifier (HMF) atau hindmilk sebagai tambahan ASI.[1,6]
Pada anak–anak, diberikan susu formula yang padat nutrisi dan tinggi kalori dalam jangka pendek. Jenis makanan yang dapat diberikan berupa polimerik (makanan padat kalori), oligomerik (glukosa polimer, protein terhidrolisat, trigliserida rantai sedang) atau modular (makronutrien tunggal).[9–12]
Monitoring Tumbuh Kembang
Monitoring tumbuh kembang pada kelompok yang mengalami faltering growth direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dengan Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Pada buku KIA, terdapat grafik kartu menuju sehat (KMS). Apabila berat badan tidak naik 2 kali berturut–turut, Ibu dianjurkan untuk merujuk ke petugas kesehatan.[7]