Menopause pada pria, atau dikenal dengan andropause, merupakan suatu konsep yang masih menuai kontroversi. Beberapa ahli menganggapnya sebagai konsep yang kurang jelas, dengan batasan diagnosis yang meragukan. Sebagian juga menganggap menopause pada pria sebagai perubahan alami yang tidak memerlukan intervensi khusus, sedangkan yang lain mempertimbangkan pendekatan terapi hormon atau perawatan lain untuk mengatasi gejala.[1-3]
Kontroversi Terkait Istilah Menopause pada Pria
Pada wanita, menopause berhubungan dengan penuaan dan perubahan pada aksis hipotalamus-hipofisis-gonad (HPG). Pada pria, perubahan aksis tersebut juga dapat terjadi seiring bertambahnya usia dan mengakibatkan menurunnya kadar testosterone, atau sering disebut sebagai menopause pada pria.
Namun, menyebut kondisi ini dengan menopause pria atau klimakterium pria dianggap tidak akurat, karena pada pria perubahan fisik yang dirasakan sangat bervariasi, sedangkan pada wanita gejala menopause biasanya tipikal. Penurunan kadar testosterone pada pria yang menua juga tidak terlalu menonjol dan tidak merata, di mana banyak pria lanjut usia memiliki kadar testosterone dalam kisaran normal atau kisaran rendah dan tidak bergejala.
Istilah yang dianggap lebih tepat untuk digunakan adalah late onset hypogonadism (LOH), partial androgen deficiency in aging males (PADAM), ataupun androgen deficiency in aging males (ADAM). Meski demikian, istilah yang saat ini digunakan oleh WHO adalah "andropause" atau "viropause".[4,5]
Penurunan Kadar Testosterone pada Pria Lanjut Usia Tidak Terjadi Merata
Pada pria, terjadi perubahan dan penurunan sel Leydig dan perubahan fisiologis pada aksis HPG seiring bertambahnya usia. Kondisi ini menyebabkan penurunan produksi testosterone.
Di samping itu, mayoritas testosterone terikat dalam plasma protein, yang mana sekitar 40% terikat pada protein sex hormone binding globulin (SHBG). Seiring pertambahan usia, SHBG meningkat dan menyebabkan penurunan bioavailabilitas testosterone. Meski begitu, penurunan kadar testosterone signifikan umumnya tidak terlihat pada pria sampai dekade ke-6 kehidupan dan penurunannya tidak terjadi merata pada setiap pria. Telah dilaporkan bahwa hanya 15-25% pria yang usianya lebih dari 50 tahun mengalami penurunan kadar testosterone di bawah batas normal.
Banyak faktor lain juga bisa mempengaruhi kadar serum testosterone, seperti faktor herediter, obesitas, depresi, dan adanya penyakit kronis seperti diabetes melitus atau rheumatoid arthritis. Selain itu, kadar testosterone juga dipengaruhi oleh konsumsi kortikosteroid jangka panjang, kebiasaan merokok, dan konsumsi alkohol.[4-6]
Batasan Klinis Andropause Masih Kurang Jelas
Andropause adalah sindrom klinis dan biokimia yang terkait dengan bertambahnya usia. Secara umum, pasien bisa disebut mengalami andropause apabila mengalami penurunan kadar testosterone serum serta mengalami gejala klinis. Gejala klinis yang muncul bisa bervariasi antar individu dan mayoritas gejala bersifat non-spesifik. Oleh karena itu, untuk mempermudah penegakan diagnosis, beberapa kuesioner telah dirancang tetapi belum ada yang dianggap akurat dan cukup dapat diandalkan.
Menurut studi yang dilakukan oleh kelompok peneliti European Male Aging Study (EMAS), dari sekian banyak gejala yang dianggap berasal dari andropause, hanya gejala berupa disfungsi ereksi, penurunan pikiran seksual, dan penurunan ereksi di pagi hari yang secara signifikan berkaitan dengan penurunan kadar testosterone. Sementara itu, gejala seperti insomnia, depresi, kelemahan otot, dan lekas marah, dianggap tidak cukup spesifik untuk diagnosis andropause.[3,7]
Pendekatan untuk Penegakkan Diagnosis
Diagnosis andropause memerlukan gejala dan tanda defisiensi testosterone. Gejala yang paling berhubungan adalah turunnya libido dan disfungsi ereksi. Gejala lain dapat berupa penurunan massa dan kekuatan otot, peningkatan lemak tubuh, penurunan kepadatan mineral tulang, osteoporosis, penurunan vitalitas, dan penurunan mood.
Gejala-gejala ini tidak spesifik, tetapi bisa digunakan untuk penelusuran kecurigaan defisiensi testosteron. Sementara itu, kuesioner seperti Aging Male Symptoms (AMS) tidak direkomendasikan karena spesifisitas yang rendah.
Selain adanya gejala, penurunan kadar testosterone juga merupakan aspek yang penting dalam menentukan seseorang mengalami andropause. Kadar testosterone total kurang dari 11 nmol/l dan kadar testosteron bebas kurang dari 220 pmol/l direkomendasikan sebagai kriteria minimum diagnosis pada populasi pria lanjut usia.[3,5]
Dampak Defisiensi Testosterone pada Kesehatan Keseluruhan Belum Diketahui Pasti
Pada beberapa penelitian, testosterone rendah telah diasosiasikan dengan peningkatan mortalitas, tetapi hubungannya masih belum dieksplorasi lebih lanjut. Studi prospektif dari EMAS menunjukan hubungan antara andropause simtomatik, tanpa gejala, dan gejala seksual tanpa penurunan testosterone dengan peningkatan mortalitas. Andropause simtomatik dilaporkan meningkatkan risiko 5 kali lipat mortalitas segala sebab dan mortalitas kardiovaskular, sedangkan andropause tanpa gejala meningkatkan risiko 2 kali lipat.[3]
Pendekatan Penatalaksanaan Terbaik Masih Belum Diketahui
Penurunan kadar testosterone yang berhubungan dengan usia dianggap bisa menjadi akar terjadinya obesitas dan penyakit lainnya. Atas dasar ini, terapi pengganti hormon diharapkan bisa mencegah dan mengoreksi masalah kesehatan yang terjadi. Meski begitu, bukti terkait manfaat pemberian hormon testosterone pada pasien andropause masih belum adekuat.[3]
Secara teori, terapi pengganti testosterone diharapkan dapat memperbaiki komposisi tubuh dan massa otot, meningkatkan densitas tulang, fungsi seksual, memperbaiki obesitas, meningkatkan fungsi kognitif, serta berefek pada perbaikan energi, mood, dan kualitas hidup keseluruhan. Namun, sekali lagi, bukti yang mendukung teori ini belum ada. Studi mengenai keamanan pemberian testosterone eksogen pada pasien andropause juga belum adekuat.[3,7]
Kesimpulan
Konsep menopause pada pria, atau disebut juga andropause, masih menjadi kontroversi. Batasan diagnosis dari andropause sendiri masih belum jelas, dan belum ada pendekatan diagnosis yang dapat diandalkan yang bisa digunakan pada praktik klinis. Selain itu, dalam kaitannya dengan manajemen, studi yang adekuat mengenai pendekatan terapi terbaik juga belum tersedia. Oleh sebab itu, penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengetahui dengan pasti apakah penurunan kadar testosterone yang terkait usia pada pria memang memerlukan terapi khusus.