Kortikosteroid Intranasal Tidak Bermanfaat dalam Mengatasi Gejala Obstruksi Akibat Deviasi Septum Nasal

Oleh :
dr. Alicia Pricelda

Efikasi penggunaan kortikosteroid intranasal pada kasus obstruksi akibat deviasi septum nasal masih menjadi perdebatan. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid intranasal tidak memiliki efek yang signifikan untuk menghilangkan obstruksi pada hidung bila dibandingkan dengan plasebo pada pasien dengan deviasi septum. Meski demikian, di praktik klinis, kortikosteroid intranasal merupakan terapi yang sering diberikan pada populasi pasien ini.

Deviasi septum adalah kondisi klinis yang ditandai dengan letak abnormal dari septum hidung. Meski sebagian besar asimptomatik, gejala paling umum yang dapat dirasakan oleh pasien adalah obstruksi atau kongesti akibat tertutupnya sebagian dari area lubang hidung. Gejala ini sebetulnya tidak membahayakan nyawa, tetapi dapat menurunkan kualitas hidup pasien akibat komplikasi yang ditimbulkan, misal gangguan tidur dan obstructive sleep apnea (OSA).[1-3]

Kortikosteroid Intranasal

Kaitan Antara Kortikosteroid, Deviasi Septum, dan Sinusitis Kronik

Deviasi septum dapat menyebabkan aliran udara menjadi lebih besar pada satu sisi hidung yang memiliki ruang yang lebih besar, dimana area tersebut juga kaya akan pembuluh darah dan kelenjar. Karena perubahan aliran udara ini, bagian konkaf hidung dapat menunjukkan infiltrasi sel inflamasi yang lebih intensif. Hal ini meningkatkan risiko timbulnya penyakit lain seperti rhinitis dan rhinosinusitis.

Secara patogenesis, sinusitis kronik sangat sering dikaitkan dengan deviasi septum. Sinusitis yang disebabkan oleh obstruksi pada deviasi septum nasal pada akhirnya akan menyebabkan hipertrofi mukosa. Sinus maksilaris adalah sinus yang paling sering terlibat karena deviasi septum dapat menutup osteomeatal complex (OMC).

Inflamasi yang terjadi pada sinusitis kronik diharapkan akan responsif terhadap pemberian kortikosteroid intranasal, yakni dengan mengurangi pembengkakan dan memperluas area napas pada hidung. Kortikosteroid tetes hidung yang paling sering digunakan adalah betamethasone dan fluticasone.[4-8]

Bukti Ilmiah Efek Kortikosteroid Intranasal pada Pasien dengan Deviasi Septum

Dalam uji klinis buta ganda yang melibatkan 42 pasien (2020), penggunaan kortikosteroid ditemukan tidak menghasilkan efek signifikan dalam memperbaiki gejala obstruksi akibat deviasi septum dibandingkan plasebo. Dalam studi ini, kortikosteroid yang digunakan adalah triamcinolone.[1]

Hasil serupa ditunjukkan oleh sebuah studi retrospektif yang menganalisis skor Nasal Obstruction Septoplasty Effectiveness (NOSE) pada 77 pasien yang menjalani koreksi bedah deviasi septum. Dari jumlah tersebut, didapat 46 pasien naif kortikosteroid pada saat konsultasi awal dengan rerata skor NOSE 69,5, sedangkan 31 pasien yang menggunakan steroid intranasal pada saat evaluasi awal memiliki rerata 66,3. Studi ini menemukan bahwa tidak ada perbedaan signifikan skor NOSE pada pasien yang menggunakan dan tidak menggunakan kortikosteroid intranasal.

Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa di antara pasien naif steroid yang kemudian menjalani uji coba steroid intranasal selama 6 minggu, tidak ada perubahan signifikan rerata skor NOSE dari baseline hingga akhir studi.[9]

Perbandingan Septoplasti dan Kortikosteroid Intranasal pada Deviasi Septum

Deviasi septum yang asimptomatik biasanya tidak membutuhkan tata laksana. Namun, deviasi septum yang simptomatik dan menimbulkan komplikasi, seperti sinusitis kronik atau nyeri kepala rekuren, harus menjalani terapi. Salah satu pilihan tata laksana adalah tindakan pembedahan berupa septoplasti. Septoplasti bertujuan untuk memperluas saluran hidung dan memungkinkan aliran udara yang memadai sehingga pasien dapat bernapas dengan baik.[8,10]

Belum ada uji klinis yang membandingkan secara langsung antara septoplasti dan kortikosteroid intranasal. Dalam sebuah uji klinis acak terkontrol, septoplasti dibandingkan dengan terapi konservatif yang di antaranya mencakup pemberian steroid intranasal berupa fluticasone 50 µg dan dikombinasikan dengan medikamentosa lain.

Menurut uji klinis ini, septoplasti lebih unggul dibandingkan terapi konservatif dalam memperbaiki gejala obstruksi nasal pada pasien dengan deviasi septum. Terapi konservatif didapatkan hanya efektif mengurangi gejala dalam jangka pendek, yakni periode 1 bulan terapi.[3]

Risiko Penggunaan Kortikosteroid Intranasal

Penggunaan kortikosteroid intranasal dikaitkan dengan efek samping seperti hidung kering, iritasi, dan epistaksis. Dalam penggunaan jangka panjang, efek samping yang dapat terjadi adalah perforasi septum.[3,5-7,11]

Kesimpulan

Tidak ada basis bukti kuat yang mendukung manfaat kortikosteroid intranasal dalam terapi gejala obstruksi akibat deviasi septum nasal. Di sisi lain, terdapat uji klinis dengan sampel terbatas yang mengindikasikan bahwa kortikosteroid intranasal tidak membawa manfaat signifikan dalam menghilangkan gejala obstruksi akibat deviasi septum.  Meskipun uji klinis acak terkontrol skala besar masih diperlukan untuk menarik kesimpulan yang lebih pasti, dokter perlu mengetahui bahwa pemberian terapi steroid intranasal memaparkan pasien pada risiko efek samping (seperti epistaksis dan deviasi septum) tanpa adanya manfaat yang jelas.

Referensi