Leukositosis pada pasien polisitemia vera memiliki signifikansi klinis karena dapat mengindikasikan adanya transformasi ke keganasan, mielofibrosis, dan peningkatan risiko trombosis. Leukositosis dapat mencerminkan aktivitas inflamasi yang terkait dengan polisitemia vera, menyebabkan peningkatan viskositas darah, serta meningkatkan risiko trombosis dan komplikasi vaskular lain pada pasien polisitemia vera.[1,2]
Polisitemia vera merupakan suatu neoplasma mieloproliferatif kronik yang ditandai dengan eritrositosis, gambaran khas pada sumsum tulang, dan pada sebagian besar kasus terdapat mutasi pada ekson 12 atau Janus Kinase 2 (JAK2). Pasien dengan polisitemia vera telah dilaporkan memiliki kerentanan yang mencakup meningkatnya risiko trombus, splenomegali, pruritus, dan risiko terjadinya mielofibrosis maupun leukemia akut.[2]
Berbagai terapi polisitemia vera saat ini bertujuan untuk mengurangi risiko trombosis. Risiko ini tidak hanya terjadi akibat meningkatnya komponen eritrosit sendiri, melainkan peningkatan komponen darah lain seperti leukosit maupun trombosit. Hal ini penting diketahui karena sekitar 20% kematian pada polisitemia vera disebabkan oleh kejadian tromboemboli.[3,4]
Batasan Leukositosis pada Polisitemia Vera
Leukositosis merupakan suatu fenomena klinis yang secara alamiah dapat dijumpai pada pasien dengan polisitemia vera. Dalam perkembangan penyakitnya, leukositosis dapat menjadi suatu tanda objektif terjadinya mielofibrosis pada pasien polisitemia vera. Selain perannya sebagai tanda awal evolusi, leukositosis juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya trombosis pada pasien polisitemia vera.[5,6]
Berbagai studi melaporkan nilai cut-off yang berbeda mengenai batasan leukositosis pada pasien polisitemia vera. Sebagian melaporkan bahwa nilai hitung leukosit 11.000-15.000 sel/mm3 merupakan batasan leukositosis pada polisitemia vera, sedangkan sebagian lain melaporkan leukositosis yang bermakna secara klinis pada pasien polisitemia vera adalah di atas 13.000 sel/mm3.[3,6]
Leukositosis Persisten pada Polisitemia Vera
Pemeriksaan leukosit memiliki keterbatasan, yaitu hanya menggambarkan keadaan darah pada satu titik waktu, yaitu saat pengambilan sampel darah saat pasien kontrol rutin. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu data yang bersifat kontinyu untuk mengetahui tren leukosit pada pasien berdasarkan waktu. Meski begitu, batasan waktu untuk disebut sebagai leukositosis persisten belum disepakati secara global. Beberapa studi menggunakan batasan 13 bulan adanya suatu leukositosis pada pasien polisitemia vera untuk kemudian disebut leukositosis persisten.[3,4]
Pengaruh Leukositosis Persisten pada Polisitemia Vera Terhadap Prognosis Pasien
Dalam suatu tinjauan sistematik yang mencakup 41 artikel dan lebih dari 30.000 pasien, leukositosis ditemukan berperan sebagai faktor risiko untuk trombosis pada pasien dengan neoplasma mieloproliferatif, terutama pada polisitemia vera dan trombositosis esensial. Hasil dari tinjauan sistematik ini menunjukkan bahwa risiko relatif (RR) trombosis dalam keberadaan leukositosis adalah 1,59.[7]
Dalam sebuah studi retrospektif terhadap 520 pasien polisitemia vera dilakukan analisis kelompok berbasis trajektori untuk mengidentifikasi pengaruh berbagai faktor terhadap luaran klinis. Berdasarkan studi ini, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara trajektori leukosit yang persisten tinggi dan risiko kejadian trombotik, tetapi terdapat hubungan yang bermakna dengan peningkatan risiko evolusi penyakit menuju mielofibrosis, sindrom mielodisplastik, atau leukemia mieloid akut.[4]
Kaitan Leukositosis Persisten pada Polisitemia Vera dengan Mielofibrosis
Batasan leukosit yang secara klinis dapat dianggap menjadi tanda evolusi polisitemia vera menjadi mielofibrosis masih memerlukan penelitian lanjut. Studi terdahulu melaporkan hasil yang bervariasi. Meskipun ada studi yang melaporkan bahwa leukositosis persisten >35.000 sel/mm3 sugestif terhadap evolusi penyakit menuju ke mielofibrosis, terdapat pula studi yang melaporkan batasan pada angka yang jauh lebih rendah, yaitu >13.000 sel/mm3 selama 13 bulan.[3,4]
Pedoman The National Comprehensive Cancer Network (NCCN) melaporkan bahwa leukositosis >20.000 sel/mm3 merupakan indikasi terjadinya mielofibrosis.[6]
Adanya Leukositosis pada Polisitemia Vera dan Kaitannya dengan Transformasi Menjadi Leukemia
Selain mielofibrosis, leukositosis persisten pada pasien polisitemia vera telah dikaitkan dengan transformasi penyakit menjadi leukemia mieloid akut. Transformasi leukemia telah dilaporkan sebagai salah satu penyebab mortalitas pada pasien dengan polisitemia vera.
Perkiraan rentang waktu terjadinya leukemia pada pasien polisitemia vera dengan leukositosis masih belum jelas. Pada kelompok usia >65 tahun, telah dilaporkan terdapat rentang waktu 7 tahun untuk terjadinya transformasi menjadi leukemia.
Leukositosis ≥15.000 sel/mm3 dilaporkan sebagai faktor risiko terjadinya transformasi leukemia pada pasien polisitemia vera, di mana peningkatan risiko mencapai 4 kali lipat. Adanya temuan lain seperti kariotipe abnormal, splenomegali, dan grading retikulin dari sumsum tulang dapat mendukung diagnosis transformasi leukemia.[5,8]
Pengaruh Leukositosis Terhadap Manajemen Polisitemia Vera
Seperti telah diuraikan di atas, leukositosis pada polisitemia vera dapat mengindikasikan terjadinya evolusi penyakit menjadi mielofibrosis ataupun leukemia, serta meningkatkan risiko trombosis. Dalam sisi manajemen, adanya leukositosis persisten pada pasien yang telah menjalani terapi sitoreduksi dapat mengindikasikan bahwa pasien tidak merespon terhadap pengobatan. Atas dasar ini, pasien dengan leukositosis memerlukan evaluasi ulang gejala yang dialami dengan kuesioner MPN10 dan evaluasi splenomegali.
Jika pasien mengalami splenomegali progresif disertai tanda objektif dan subjektif (seperti demam, penurunan berat badan, dan rasa tidak nyaman pada perut), maka dapat disimpulkan bahwa penyakit pasien tidak terkontrol baik. Bila pasien telah mengonsumsi terapi sitoreduksi, maka pasien dinyatakan tidak merespon terhadap terapi sitoreduksi dan pengobatan dilanjutkan ke lini berikutnya, seperti penggunaan JAK-2 inhibitor ruxolitinib.[6]
Penggunaan ruxolitinib telah dilaporkan efektif membuat hematokrit terkontrol dan remisi hematologis dibandingkan terapi standar. Selain itu, dibandingkan dengan terapi standar, ruxolitinib dilaporkan memberikan penurunan setidaknya 50% dari skor gejala total pada minggu ke-32 pengamatan.[9]
Sebagai catatan tambahan, saat membuat rencana terapi, penting untuk memandang polisitemia vera sebagai penyakit kronis. Dalam melakukan terapi, dokter perlu menetapkan tujuan terapi yang tidak hanya untuk mengontrol gejala dan menurunkan angka kejadian perdarahan maupun trombosis, tetapi juga menurunkan risiko perkembangan ke arah mielofibrosis maupun leukemia.[6]
Kesimpulan
Peningkatan kadar leukosit pada pasien polisitemia vera merupakan temuan yang sering didapatkan. Penting diketahui bahwa leukositosis pada polisitemia vera telah dikaitkan dengan perburukan prognosis pasien. Ini mencakup peningkatan risiko trombosis, serta transformasi ke arah penyakit mielofibrosis maupun leukemia. Oleh sebab itu, pengawasan dan penyesuaian terapi sangat penting dilakukan pada pasien polisitemia vera yang mengalami leukositosis.