Manajemen nutrisi penting dilakukan untuk penanganan stunting dan gagal tumbuh. Salah satu penatalaksanaan gizi pada stunting adalah pemberian susu formula padat energi (nutrient dense formula). Pemerintah Indonesia telah membentuk suatu Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) untuk pencegahan, deteksi dini, dan tata laksana segera bayi dan anak stunting di Indonesia.[1,2]
Berdasarkan PNPK, salah satu penatalaksanaan stunting adalah dengan pemberian pangan keperluan medis khusus (PKMK). PKMK diberikan kepada pasien stunting dengan berbagai jenis status gizi, di mana PKMK diberikan secara penuh atau sebagian, beserta pemberian makanan dengan komposisi seimbang yang mengutamakan sumber protein hewani.[1-4]
Sekilas Tentang Stunting dan Gagal Tumbuh
Gagal tumbuh atau faltering growth merupakan kondisi yang disebabkan oleh ketidakseimbangan asupan energi dengan kebutuhan biologis untuk pertumbuhan bayi/anak. Gagal tumbuh sering terjadi pada 15 bulan pertama kehidupan. Kondisi gagal tumbuh yang berlarut dapat menyebabkan terjadinya stunting.[1,5,6]
Sementara, kondisi stunting dapat ditegakkan berdasarkan indeks PB/U atau TB/U (panjang badan atau tinggi badan berbanding umur). Berdasarkan standar antropometri, jika hasil indeks tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 hingga -3 SD maka dikategorikan pendek (stunted), sementara jika <-3 SD dinyatakan anak sangat pendek (severely stunted).[1,6,7]
Kondisi stunting berkorelasi dengan peningkatan risiko morbiditas, mortalitas, dan hambatan pada pertumbuhan anak, baik motorik maupun mental. Oleh karena itu, saat ini program penanganan stunting menjadi salah satu fokus pemerintah Indonesia.[2,5,6]
Epidemiologi Kasus Stunting di Indonesia
Global Hunger Index (GHI) tahun 2021 melaporkan bahwa Indonesia berada diurutan ke-73 dari 116 negara, dengan hunger score moderat. Prevalensi wasting dan stunting pada anak-anak <5 tahun (balita) dinyatakan cukup tinggi.[7-9]
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi balita dengan status pendek dan sangat pendek adalah 37,2%, dan menurun menjadi 30,8% pada tahun 2018. Sementara, anak usia <2 tahun (baduta) memiliki prevalensi stunting 32,8% pada tahun 2013, dan menurun menjadi 29,9% pada tahun 2018.[7-9]
Sejalan dengan hasil studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 di 34 provinsi, prevalensi stunting nasional turun dari 27,7% pada tahun 2019 menjadi 24,4% di tahun 2021. Namun, walaupun prevalensi ini mengalami penurunan, angka tersebut masih tergolong kategori tinggi (>20%) berdasarkan WHO.[7,9]
Sampai saat ini, data epidemiologi stunting di Indonesia belum memisahkan antara pendek (stunting) yang disebabkan oleh faktor nutrisi maupun faktor nonnutrisi, seperti genetik, hormon atau familial.[1,7,9]
Sekilas Tentang Pangan Olahan untuk Kondisi Medik Khusus (PKMK)
PNPK Indonesia telah merekomendasikan pangan olahan untuk kondisi medik khusus (PKMK) sebagai salah satu bagian dari terapi masalah gizi. PKMK merupakan formula padat kalori yang khusus digunakan untuk intervensi gizi. PKMK dapat memenuhi kebutuhan nutrisi anak dengan penyakit atau gangguan tertentu, seperti stunting dan gagal tumbuh.[1,4]
Bentuk sediaan PKMK dapat berupa olahan makanan atau minuman yang dapat diberikan secara oral maupun enteral. PKMK bentuk cair dengan formula padat kalori relatif lebih mudah untuk diberikan kepada anak, dan telah dilaporkan bermanfaat untuk mendukung tumbuh kembang anak dengan gagal tumbuh maupun stunting.[1,4,10,11]
Pemberian PKMK harus diawasi oleh tenaga medis, terutama dokter spesialis anak. Hal ini sesuai dengan peraturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) nomor 1 tahun 2018, mengenai pengawasan pangan olahan untuk keperluan gizi khusus. Pengawasan ini bertujuan untuk mencegah efek yang tidak diharapkan akibat penggunaan berlebih, seperti obesitas.[1,4,10,11]
Pemberian PKMK pada Stunting dan Gagal Tumbuh sesuai dengan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Stunting
Dalam penatalaksanaan stunting, Keputusan Menteri Kesehatan (Kemenkes) nomor HK.01.07/MENKES/1928/2022 dalam PNPK merekomendasikan intervensi nutrisi, yaitu pemberian makan yang benar dan energi cukup (protein energy ratio atau PER 10‒15%). PER di sini merupakan total asupan protein harian, bukan dari satu sumber makanan seperti PKMK.[1,6]
Konsumsi protein hewani sangat direkomendasikan. Sebagian besar protein hewani mencapai kategori kualitas protein sangat baik, dengan skor digestible indispensable amino acid score (DIAAS) ≥100. Pemberian lebih dari satu sumber protein hewani akan menurunkan kejadian stunting.[1,6]
PKMK untuk Stunting dan Gagal Tumbuh
PKMK direkomendasikan sebagai tata laksana nutrisi pada stunting dengan berbagai jenis status gizi. Pemberian PKMK harus berdasarkan indikasi medis dan penyebab potensial yang mendasari stunting, dan harus diresepkan oleh dokter spesialis anak.[1,4,10]
Pilihan PKMK yang direkomendasikan oleh Kemenkes untuk anak stunting, termasuk anak dengan asupan nutrisi MPASI yang tidak adekuat ataupun berat badan lahir sangat rendah, adalah sebagai berikut:
- Untuk anak dengan gizi kurang atau gizi buruk: oral nutrition supplement (ONS) dengan kandungan energi lebih dari 0,9 kkal/mL
- Untuk bayi sangat prematur (masa gestasi <1500 gram): formula prematur dengan ketentuan kandungan energi minimal 24 kkal/30 mL, atau pelengkap gizi air susu ibu (human milk fortifier atau HMF)
- Untuk anak dengan alergi protein susu sapi: formula berbasis susu sapi dengan protein terhidrolisat ekstensif atau asam amino bebas
- Untuk anak dengan kelainan metabolisme bawaan tertentu: formula dengan komposisi makronutrien dan mikronutrien spesifik[1,3,4]
Kandungan Formula Padat Energi sebagai PKMK
Jenis PKMK yang umumnya diberikan kepada anak dengan stunting dan gagal tumbuh adalah formula padat energi (nutrient dense formula), dengan total energi 100‒150 kkal/100 mL. Selain kalori tinggi, PKMK mengandung protein yang tinggi, yaitu 42% lebih banyak daripada formula pertumbuhan.[1,2,11]
Formula padat energi juga dilengkapi dengan nutrisi yang dapat memperkuat sistem imun, seperti vitamin A, vitamin B, vitamin C, vitamin E, dan mineral (zat besi, zink, dan selenium). Selain itu, terdapat pula prebiotik FOS:GOS (fruktooligosakarida - galaktooligosakarida) untuk mencegah dan meminimalisasi risiko infeksi.[2,5,11]
Formula Padat Energi untuk Kejar Tumbuh
Formula padat energi atau nutrient dense formula umumnya merupakan formula cair, semi padat, atau bubuk yang mengandung setidaknya satu sumber kalori nonprotein (karbohidrat dan/atau lemak), disertai sumber nitrogen yang tinggi (protein utuh, protein tercerna, dan/atau asam amino).[5,6,11]
Formula pada energi diberikan dalam jumlah seimbang, sebagai intervensi gizi pada anak-anak berisiko gagal tumbuh. Pemberian formula padat energi diharapkan dapat mendukung proses kejar tumbuh. sehingga anak dapat mencapai rasio pertumbuhan yang diharapkan.[5,11,12]
Pedoman WHO untuk mengejar ketertinggalan pertumbuhan berfokus pada pengelolaan pola makan, di mana asupan energi dan protein harus optimal dan memadai.[12,13]
Tabel 1. Pedoman WHO Mengenai Asupan Energi dan Protein untuk Mengejar Ketertinggalan Pertumbuhan yang Optimal
Rate of gain (g/kg/hari) | Protein (g/kg/hari) | Energi (kkal/kg/hari) | Protein Energy Ratio (PE%) |
10 | 2,82 | 126 | 8,9 |
20 | 4,82 | 167 | 11,5 |
Sumber: dr. Eva Naomi, 2023.[12,13]
Pedoman WHO di atas menjadi standar kebutuhan harian yang disesuaikan dengan kilogram berat badan anak. Sementara, pedoman Kemenkes yang menyatakan protein harus mencapai 10‒15% total energi merupakan total asupan protein harian, bukan dari satu sumber makanan seperti PKMK.[1,12,13]
Beberapa studi penelitian telah melaporkan manfaat pemberian formula padat energi untuk kejar tumbuh. Studi acak terkontrol oleh Devaera et al memberikan formula padat energi di Indonesia. Hasil studi melaporkan bahwa pemberian formula padat energi 1,5 kkal/mL dan 1 kkal/mL, dengan kisaran protein 2,4 gram dan 3,4 gram selama 28 hari, terbukti dapat meningkatkan berat badan anak usia 3‒6 tahun dengan malnutrisi ringan sedang.[14]
Jung et al melakukan penelitian prospektif mengenai pemberian formula padat energi. Dalam studi penelitian ini, sebanyak 400 mL (1 kkal/mL) formula padat energi setiap harinya diberikan di luar makanan harian selama 6 bulan pada dua kelompok yaitu, anak yang tidak mengonsumsi 60% dosis rekomendasi dan yang mengonsumsi 60% dosis rekomendasi.[15]
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbaikan seluruh parameter antropometri pada kedua kelompok (p <0,001), serta peningkatan skor z berat badan sesuai usia yang signifikan pada bulan 2, 4, 6 di kelompok anak yang mengonsumsi 60% dosis rekomendasi.[15]
Studi Wendy: Penggunaan Formula Padat Energi di Indonesia
Studi Wendy merupakan penelitian klinis baru di Indonesia, di mana poster abstraknya telah dipresentasikan pada Annual Conference Nutrimet tahun 2023. Studi ini mempelajari pengaruh penggunaan susu formula berkalori tinggi sebagai intervensi pada anak dengan gangguan pertumbuhan atau gizi buruk terhadap pertambahan berat badan, tinggi badan dan kadar IGF-1(insulin-like growth factor 1).[13]
Studi ini melibatkan anak usia 1‒5 tahun yang mengalami gangguan pertumbuhan dan gizi kurang, tanpa disertai kelainan kongenital, genetik, maupun hormonal. Subjek dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok usia 1‒2 tahun (sebanyak 41 anak) dan kelompok usia >2‒5 tahun (sebanyak 34 anak). Kedua kelompok menerima intervensi gizi dengan formula padat energi 400 kkal/hari selama 90 hari, disertai dengan perbaikan pola makan anak dengan dominasi protein hewani.[13]
Dalam studi ini, parameter pertumbuhan diukur pada hari ke-0 (baseline), 15, 30, 60, dan 90. Selain parameter pertumbuhan, parameter hormon IGF-1 melalui sampel darah juga diukur pada hari ke-0 (sebelum intervensi) dan ke-90 (setelah intervensi).[13]
Hasil studi Wendy menunjukkan adanya perbaikan status antropometri pada kedua kelompok penelitian. Rerata kenaikan total berat badan pada kelompok usia 1‒2 tahun adalah 1.570 g (tertinggi) dan 246 g (terendah), dengan rerata kenaikan total tinggi badan 4,88 cm (tertinggi) dan 1,98 cm (terendah).[13]
Sementara pada kelompok usia >2‒5 tahun, rerata kenaikan total berat badan adalah 1.437 g (tertinggi) dan 310 g (terendah), dengan rerata kenaikan total tinggi badan 3,36 cm (tertinggi) dan 1,1 cm (terendah). Tingkat keberhasilan penggunaan intervensi nutrisi selama 3 bulan pada anak stunted (34,5%), underweight (51,7%), dan wasting (72,7%).[13]
Hasil parameter IGF-1 setelah 90 hari pada kelompok usia 1‒2 tahun menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi daripada kelompok usia >2‒5 tahun, terutama pada anak kategori severely stunted (132% vs 19,57%) dan severely underweight (84,4% vs 19,53%). Terdapat selisih kenaikan IGF-1 sebelum dan setelah intervensi PKMK yang signifikan pada anak yang mengalami underweight dan stunted.[13]
Kesimpulan
Gagal tumbuh pada bayi dan anak yang berlarut dapat menyebabkan stunting. Prevalensi stunting yang masih tinggi di Indonesia merupakan salah satu permasalahan gizi yang menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Stunting berhubungan dengan peningkatan morbiditas, mortalitas, dan hambatan pertumbuhan baik motorik maupun mental, sehingga dibutuhkan penatalaksanaan yang dini dan tepat.
Melalui pemberian susu formula padat energi yang tepat, rasio pertumbuhan yang diharapkan dapat tercapai, salah satunya dengan perbaikan status tinggi/panjang dan berat badan bayi dan anak yang mengalami gagal tumbuh maupun stunting.