Pemilihan kortikosteroid topikal dalam bidang dermatologi dilakukan dengan membandingkan potensinya. Kortikosteroid topikal sering digunakan dalam tata laksana berbagai penyakit kulit yang bersifat inflamatorik, seperti psoriasis, vitiligo, dermatitis atopik, dan liken simpleks kronik. Kortikosteroid topikal efektif untuk menangani kondisi kulit yang memiliki komponen hiperproliferasi, imunologis, dan inflamasi.
Mekanisme aksi kortikosteroid topikal dianggap efektif dengan sifat antiinflamasi, antimitotik dan memiliki efek supresi. Formulasi kortikosteroid topikal memengaruhi potensinya dalam tata laksana lesi kulit. Potensi kortikosteroid diklasifikasikan berdasarkan kemampuannya dalam memberikan efek samping, seperti atrofi kulit, stretch mark, telangiektasis, purpura, sampai dengan efek samping sistemik seperti sindrom Cushing's.[1,2,7]
Potensi Kortikosteroid Topikal
Potensi kortikosteroid topikal dibagi menjadi:
- Potensi lemah, direkomendasikan pada anak, lesi inflamatorik ringan, luas, atau area tubuh dengan kulit yang tipis, misalnya wajah dan lipat paha
- Potensi sedang-tinggi, direkomendasikan pada area batang tubuh dan ekstremitas
- Potensi sangat tinggi, direkomendasikan pada lesi inflamatorik berat dan kulit yang tebal, seperti lesi pada telapak tangan dan kaki, atau lesi psoriasis[1,2,7]
Kortikosteroid potensi sangat tinggi tidak direkomendasikan untuk anak (kecuali kondisi khusus dan jangka waktu pendek), pemberian dengan oklusi, dan pada area dengan kulit yang tipis, seperti wajah, selangkangan, atau lipat kulit.[7]
Berikut beberapa contoh kortikosteroid topikal berdasarkan potensinya:
Tabel 1. Klasifikasi Kortikosteroid Sistemik dan Contoh Sediaannya
Klasifikasi Amerika | Klasifikasi Inggris | Contoh Obat dan Sediaan |
Class I superpotent | Class I superpotent | Clobetasol propionate 0,05% Augmented betamethasone dipropionate 0,05% gel/ointment Diflorasone diacetate 0,05% ointment Fluocinonide 0,1% cream Halobetasol propionate 0,05% cream/ointment |
Class II high potency | Class II high potency | Amcinonide 0,1% ointment Augmented betamethasone dipropionate 0,05% cream/lotion Betamethasone dipropionate 0,05% ointment Desoximetasone cream/gel/ointment Diflorasone diacetate 0,05% cream Fluocinonide 0,05% cream/gel/ointment Halcinonide 0,1% cream/ointment/solusio |
Class III medium-to-high potency | Amcinonide 0,1% cream Betamethasone dipropionate 0,05% cream Fluticasone propionate 0,005% ointment Triamcinolone acetonide 0,5% cream/ointment | |
Class IV and V medium potency | Class III moderate potency | Betamethasone valerate 0,1% cream/lotion/foam Desoximetasone 0,05% cream Fluocinolone acetonide 0,025% cream/ointment Fluticasone propionate 0,05% cream Hydrocortisone butyrate 0,1% ointment Hydrocortisone probutate 0,1% cream Hydrocortisone valerate 0,2% cream/ointment Mometasone furoate 0,1% cream/lotion/ointment Triamcinolone acetonide 0,025% cream/lotion/ointment Triamcinolone acetonide 0,1% cream/lotion/ointment |
Class VI low potency | Class IV low potency | Alclometasone dipropionate 0,05% cream/ointment Desonide 0,05% cream Fluocinolone 0,01% cream Hydrocortisone butyrate 0,1% cream |
Class VII least potent | Hydrocortisone 1% cream/lotion/ointment Hydrocortisone 2,5% cream/lotion/ointment |
Sumber: dr. Krisandryka, 2021[2,3]
Beberapa Pertimbangan Memilih Kortikosteroid Topikal
Beberapa pertimbangan terkait pemilihan kortikosteroid topikal dipengaruhi oleh carrier obat, usia, area tubuh yang akan diaplikasikan, dan efek samping penggunaannya. Penggunaan perban oklusif juga dapat meningkatkan potensi kortikosteroid, terutama pada area tubuh yang lembab, jaringan kulit yang rusak, atau lipatan-lipatan kulit (ketiak, lipat paha).[2,4,7]
Pertimbangan Pemilihan Kortikosteroid Topikal Berdasarkan Carrier Obat
Carrier obat untuk kortikosteroid topikal terdiri dari ointment, cream, lotion, gel, dan foam. Sediaan ointment merupakan carrier dengan potensi yang paling tinggi karena lebih oklusif, dan direkomendasikan untuk area kulit yang tebal atau mengalami hiperkeratosis, seperti psoriasis. Sediaan ointment pada aplikasikan akan meninggalkan residu sehingga tidak direkomendasikan area intertriginosa maupun area berambut, karena berisiko maserasi dan folikulitis.
Sediaan cream kurang poten dibandingkan dengan ointment, tetapi aplikasinya tidak meninggalkan residu, dapat mengering, dan tidak bersifat oklusif. Maka dari itu, penggunaannya lebih direkomendasikan untuk lesi inflamasi dengan eksudasi dan dermatitis pada area intertriginosa.
Sedangkan sediaan lotion sifatnya kurang oklusif dan berminyak, sehingga lebih baik digunakan pada area yang berambut. Begitu pula dengan sediaan gel, tetapi gel lebih tidak menyebabkan rambut menggumpal maupun berminyak, sehingga lebih baik bila digunakan pada area rambut kepala. Sediaan foam memiliki bentuk dan konsistensi yang baik untuk digunakan pada area rambut kepala, tetapi harganya lebih mahal.[2,4,7]
Pertimbangan Pemilihan Kortikosteroid Topikal Berdasarkan Ketebalan Kulit
Ketebalan kulit yang berbeda-beda pada tiap area tubuh sehingga kemampuan absorpsi yang bervariasi pula. Kortikosteroid topikal yang lebih poten diperlukan pada area kulit yang tebal, seperti telapak tangan dan kaki.
Sebaliknya, absorpsi obat topikal meningkat pada kulit yang tipis, seperti kelopak mata, wajah, dan area genital. Maka dari itu, penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi ringan atau sedang dalam jangka panjang pada area kulit yang tipis dapat meningkatkan risiko efek samping.[4]
Pertimbangan Pemilihan Kortikosteroid Topikal Berdasarkan Usia, Durasi Pemakaian Obat, dan Metode Step-Ladder
Kortikosteroid dengan potensi sangat tinggi tidak direkomendasikan rutin pada anak, kecuali pada kasus jarang dengan jangka waktu singkat. Hal ini karena barrier kulit yang belum sebaik orang dewasa, serta memiliki rasio luas permukaan tubuh dan berat badan yang lebih besar dibandingkan orang dewasa. Dengan demikian, absorpsi obat lebih tinggi dan anak lebih berisiko untuk mendapatkan efek samping sistemik dari penggunaannya.[4,7,8]
Peresepan kortikosteroid topikal dapat dilakukan dengan metode step-ladder. Ketika tanda-tanda inflamasi pada kulit mereda, pengobatan diganti menjadi kortikosteroid topikal dengan potensi lebih rendah, dan sebaliknya. Penggunaan kortikosteroid topikal umumnya tidak melebihi 2 minggu untuk meminimalisir risiko efek samping. Setelah 2 minggu, tinjau kembali perbandingan lesi awal dan postterapi untuk penatalaksanaan lebih lanjut.[4]
Indikasi Penggunaan Kortikosteroid Topikal
Indikasi penggunaan kortikosteroid topikal adalah dermatosis inflamatorik dan pruritik pada kulit, kecuali infeksi dermatofita dan bakterial. Remisi gejala akan timbul pada dermatosis yang berespon baik terhadap kortikosteroid topikal.
Pada dermatosis yang kurang responsif evaluasi etiologi dan singkirkan kemungkinan penyebab yang dapat bertambah parah bila diberikan kortikosteroid, misalnya tinea yang berisiko menjadi tinea incognito.
Bila yakin potensi kortikosteroid perlu ditingkatkan, dapat memiliki potensi lebih tinggi, dengan atau tanpa perban oklusif, untuk mencapai perbaikan klinis optimal. Kortikosteroid topikal superpoten atau kortikosteroid intralesi dapat dipertimbangkan pada kondisi tertentu, seperti psoriasis, untuk mencapai respon klinis yang diinginkan.[5]
Klasifikasi dermatosis berdasarkan responnya terhadap kortikosteroid adalah sebagai berikut:
- Respon baik (very responsive): dermatitis atopik, dermatitis seboroik, liken simpleks kronik, pruritus ani, dermatitis kontak iritan fase lanjutan, dermatitis kontak alergi fase lanjutan, dermatitis eksim numular, dermatitis stasis, psoriasis, dermatitis pada wajah dan kelopak mata, dan diaper dermatitis
- Respon kurang (less responsive): lupus eritematosus diskoid, psoriasis pada telapak tangan dan kaki, necrobiosis lipoidica diabeticorum, sarcoidosis, lichen striatus, pemfigus, pemphigus benign familial, vitiligo, dan granuloma annulare
- Respon buruk (poorly responsive): keloid, bekas luka hipertrofik, dermatitis atopik resisten, alopecia areata, kista acne, prurigo nodularis, chondrodermatitis nodularis helicis[5,6]
Efek Samping Kortikosteroid Topikal
Efek samping kortikosteroid topikal dapat dibagi menjadi efek samping lokal dan sistemik. Efek samping lokal yang sering terjadi adalah atrofi, striae, rosacea, dermatitis perioral, acne, dan purpura.[2]
Atrofi Kulit
Kortikosteroid topikal memiliki efek antimitotik. Jika diaplikasikan pada regio yang sama terus-menerus, dapat berisiko atrofi kulit. Perubahan kulit pada pemakaian kortikosteroid topikal terdiri dari 3 fase, yaitu preatrofi, atrofi, dan takifilaksis.[1,2]
Pada atrofi kulit, epidermis menipis dan resorpsi dermis meningkat. Selanjutnya, hilangnya jaringan ikat mengakibatkan eritema, telangiektasis, dan purpura. Pasien juga dapat mengeluhkan sensasi terbakar pada kulit.[1,2]
Area yang paling berisiko mengalami atrofi adalah intertriginosa karena lebih tipis dan efek oklusif meningkat. Atrofi bersifat reversibel jika penggunaan steroid dihentikan, tetapi dapat membutuhkan waktu berbulan-bulan hingga kulit normal kembali.[2]
Takifilaksis
Takifilaksis merupakan keadaan hilangnya efektivitas kortikosteroid pada penggunaan dalam jangka waktu lama. Hal ini karena adanya toleransi kulit terhadap steroid yang digunakan.
Pada keadaan ini kemampuan vasokonstriksi kapiler menghilang. Kapiler dapat kembali vasokonstriksi setelah 4 hari. Maka dari itu, direkomendasikan untuk melakukan pulse therapy dan menghentikan penggunaan kortikosteroid topikal selama 4 hari jika sudah tidak efektif lagi.[2,5,7]
Efek Samping Lokal Lainnya
Striae terjadi akibat kerusakan pada dermis dan stres mekanik. Edema dan inflamasi dermis menyebabkan deposit kolagen pada area yang terpapar stres mekanik. Secara histologis, striae menyerupai bekas luka dan bersifat permanen.[1,2]
Acne dapat timbul akibat degradasi epitel folikular dan peningkatan konsentrasi asam lemak bebas pada permukaan kulit. Kondisi tersebut merupakan lingkungan ideal bagi pertumbuhan bakteri, mengakibatkan komedogenesis.[1,2]
Efek samping lainnya berupa rosacea, hipertrikosis, dan terhambatnya penyembuhan luka.[2]
Efek Samping Sistemik
Meskipun jarang terjadi, efek samping sistemik kortikosteroid topikal dapat timbul akibat penggunaan preparat high potency pada area epidermis yang tipis. Efek samping sistemik ini, antara lain glaukoma, supresi aksis hipotalamus-hipofisis, sindrom Cushing, hipertensi, dan hiperglikemia.[2]
Mengoptimalkan Penggunaan Kortikosteroid Topikal
Berikut beberapa hal yang perlu dipertimbangkan klinisi sebelum meresepkan kortikosteroid topikal:
- Memberikan kortikosteroid topikal untuk dermatosis yang sesuai dan potensi yang tepat
- Menggunakan preparat yang lebih lemah/mengurangi frekuensi aplikasi setelah remisi tercapai
- Memiliki kortikosteroid topikal yang kurang poten dengan carrier nonointment pada area kulit tipis/lipatan kulit
- Mempertimbangkan risiko efek samping, terutama pada anak dan lansia
- Memberikan jadwal follow up untuk pasien dan batasan durasi penggunaan yang umumnya tidak melebihi 2 minggu
- Menghindari kombinasi kortikosteroid topikal dengan preparat antijamur
- Tidak menggunakan kortikosteroid topikal pada ruam yang belum terdiagnosis karena akan semakin menyulitkan diagnosis di kemudian hari
- Mengedukasi pasien mengenai tata cara aplikasi kortikosteroid topikal, sehingga jumlah obat yang digunakan pasien sesuai dengan instruksi dokter[4,6]
Long dan Finley menyusun guideline mengenai jumlah kortikosteroid topikal yang dibutuhkan untuk menutupi bagian tubuh tertentu. Satuan yang digunakan adalah fingertip unit (FTU). Satu (1) FTU adalah jumlah ointment yang dikeluarkan dari tabung (diameter lubang 5 mm) sepanjang ruas paling distal bagian palmar jari telunjuk. Jumlah FTU yang diperlukan untuk menutupi bagian tubuh tertentu pada orang dewasa dijabarkan pada tabel.[5,6]
Tabel 2. Jumlah FTU yang Diperlukan Area Tubuh
Area Tubuh | Jumlah FTU yang Diperlukan |
Wajah dan leher | 2,5 |
Batang tubuh (depan + belakang) | 14 (7+7) |
Masing-masing lengan (bahu hingga pergelangan tangan) | 3 |
Masing-masing tangan (sisi palmar dan dorsal) | 1 |
Masing-masing tungkai | 6 |
Masing-masing kaki | 2 |
Sumber: dr. Krisandryka, 2021[5,6]
Kesimpulan
Pemilihan kortikosteroid topikal potensi tertentu ditentukan oleh lokasi anatomis kulit yang diaplikasikan, lesi kulit dan ketebalan kulit, carrier obat, usia, durasi, dan risiko efek samping. Berdasarkan potensinya, kortikosteroid topikal dibagi menjadi beberapa kelas mulai dari super potent hingga least potent.
Area kulit yang tebal, seperti telapak tangan dan kaki, atau lesi kulit dengan hiperkeratosis, dapat dipertimbangkan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat hingga sangat kuat. Sedangkan pasien anak, area kulit yang tipis atau area intertriginosa, dapat dipertimbangkan kortikosteroid potensi ringan karena absorbsinya meningkat pada area ini.
Carrier obat umumnya tersedia dalam bentuk ointment, cream, lotion, gel dan foam. Perban oklusif dapat meningkatkan penetrasi obat sehingga potensi kortikosteroid topikal juga meningkat.
Kortikosteroid topikal umumnya diindikasikan pada dermatosis inflamatorik yang sifatnya pruritik, kecuali pada dermatofita dan infeksi bakteri. Contoh dermatosis inflamatorik yang diindikasikan kortikosteroid topikal adalah dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi, dan psoriasis.
Penggunaan kortikosteroid topikal umumnya direkomendasikan tidak melebihi dua minggu untuk meminimalisasi risiko efek samping. Setelah remisi tercapai, klinisi perlu mempertimbangkan untuk melakukan tapering off atau menghentikan penggunaanya.
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli