Saat ini sudah ditemukan beberapa opsi obat antituberkulosis baru untuk penatalaksanaan tuberkulosis resistan obat (TB RO) yakni bedaquiline, delamanid, pretomanid, dan sutezolid.[1-13]
Menurut laporan Global Tuberculosis tahun 2017, WHO memperkirakan ada 1,67 juta kematian yang disebabkan oleh tuberkulosis pada tahun 2016. Dilaporkan juga bahwa ditemukan 490.000 kasus multidrug-resistant tuberculosis (TB MDR) di tahun 2016 dan 6,2% dari kasus tersebut termasuk infeksi yang disebabkan oleh strain extensively drug-resistant tuberculosis (TB XDR).[1]
Kasus tuberkulosis resistan obat (TB RO) masih menjadi salah satu masalah utama kesehatan masyarakat hingga saat ini.[1-12] Penatalaksanaan kasus TB RO masih menjadi tantangan karena besarnya angka adverse event obat antituberkulosis, durasi terapi yang panjang, rendahnya angka kesuksesan terapi, serta masalah biaya regimen terapi yang besar. Oleh karena itu, dibutuhkan opsi terapi atau regimen terapi yang baru.[1-13]
Bedaquiline
Bedaquiline merupakan obat baru golongan diarylquinoline yang menghambat pompa proton adenosine triphosphate (ATP) synthase mitokondria Mycobacterium tuberculosis (Mtb).[1-4] Bedaquiline dapat menginhibisi baik mikobakterium yang sedang aktif bereplikasi maupun yang yang dorman.[3]
Obat ini mempunyai aktivitas antimikobakterium poten dengan nilai minimal inhibitory concentration (MIC) yang amat rendah (0,003 mg/L terhadap Mtb in vitro). Aktivitas antimikobakterium obat ini sinergis dengan kombinasi obat primer TB (isoniazid, rifampicin, ethambutol, dan pyrazinamide).[2]
Bedaquiline aktif terhadap strain Mtb sensitif obat maupun yang resistan.[1-4] Waktu paruh obat ini cukup lama yakni 5,5 bulan. Bedaquiline direkomendasikan dengan dosis 400 mg per hari selama dua minggu per oral, diikuti 200 mg per hari dengan pemberian selang sehari selama 22 minggu.[3]
Hasil Studi Ilmiah
Pada penelitian fase IIa yang menguji early bactericidal activity (EBA) selama 7 hari pada pasien TB paru apusan sputum positif yang belum mendapatkan terapi, aktivitas bakterisidal bedaquiline didapatkan signifikan pada dosis 400 mg per hari (serupa dengan isoniazid dan rifampicin) dan tidak menimbulkan efek samping serius.
Penelitian fase IIb memeriksa efikasi dan keamanan bedaquiline yang dikombinasi dengan regimen terapi WHO selama 8 minggu dan selama 24 minggu. Grup bedaquiline menunjukkan rating konversi kultur yang lebih tinggi daripada grup plasebo. Cure rate pun lebih tinggi pada grup bedaquiline jika dibandingkan dengan grup plasebo.[2]
Penelitian observasional retrospektif yang melaporkan hasil dari 428 kasus TB MDR yang diterapi dengan regimen mengandung bedaquiline di 15 negara, menunjukkan bahwa rating konversi sputum dan kultur masing-masing sebesar 88,7% dan 91,2%, sedangkan rating kesuksesan secara keseluruhan sebesar 77%.[1]
Studi TB alliance Nix-TB pada pasien pre TB XDR dan TB XDR, menunjukkan bahwa 26 dari 30 pasien (86,7%) yang melengkapi terapi dengan regimen bedaquiline-pretomanid-linezolid tetap relapse-free selama observasi 6 bulan post terapi, walaupun ada 4 pasien yang meninggal saat fase awal terapi. Dilaporkan pula bahwa konversi kultur dicapai oleh semua pasien pada bulan ke-4, sedangkan konversi kultur untuk 8 minggu pertama terapi mencapai 65%.[1]
Namun, dari segi keamanan masih ada kekhawatiran terkait risiko hepatotoksisitas, interaksi obat dengan enzim sitokrom p450 CYP3A4, drug-induced QT prolongation, dan resistansi terhadap obat ini maupun cross resistance dengan klofazimin. [1-4]. Efek samping bedaquiline yang paling sering dilaporkan adalah mual (30%), artralgia (26%), nyeri kepala (22%), hemoptisis (14%), nyeri dada (9%), anoreksia (9%), dan ruam kulit (6%).[3]
Delamanid
Delamanid merupakan derivat dihydro-nitroimidazooxazole. Delamanid bekerja dengan cara menghambat sintesis asam mikolat (methoxy mycolic acid dan ketomycolic acid) dinding sel mikobakterium. [1,2,5,6] Delamanid merupakan pro-drug yang akan diaktivasi oleh enzim deazaflavin dependent nitroreductase. Waktu paruh delamanid sekitar 38 jam. Konsentrasi steady-state dicapai setelah 10-14 hari. Paparan delamanid tidak proporsional mengikuti dosis dan mencapai plateau pada 300 mg.[5]
Dosis delamanid yang direkomendasikan adalah 100 mg dua kali sehari selama 24 minggu sebagai bagian dari regimen terapi MDR. Delamanid dianjurkan untuk diberikan bersamaan dengan makanan karena meningkatkan absorpsinya.[6]
Pada studi preklinis, delamanid memperlihatkan aktivitas bakterisidal yang poten baik terhadap strain Mtb sensitif obat maupun Mtb resistan obat. Minimum inhibitory concentration obat ini amat rendah yakni 0,006-0,024 mcg/ml.[2,5] Tidak ditemukan efek antagonis ataupun cross resistance dengan obat antituberkulosis lini pertama.[5]
Hasil Studi Ilmiah
Pada percobaan fase IIa untuk memeriksa EBA selama 14 hari, pemberian dosis 100, 200, 300 atau 400 mg delamanid sekali sehari pada pasien TB treatment-naïve dengan apusan dahak positif menunjukkan aktivitas bakterisidal yang signifikan dan kontinu. Aktivitas bakterisidal meningkat sampai mencapai dosis 300 mg per hari, namun berkurang pada 400 mg per hari. Sedangkan pada percobaan fase IIb multinasional terkontrol plasebo pada pasien TB MDR, didapatkan rating konversi kultur yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan plasebo.[2]
Belum ada data yang menyokong aspek efikasi dan keamanan pemberian delamanid pada anak di bawah umur 6 tahun. Saat ini sedang berlangsung penelitian 233 Otsuka yang mengevaluasi profil farmakokinetik dan keamanan delamanid selama 6 bulan pada populasi pediatrik. Hasil percobaan ini diperkirakan akan dirilis pada tahun 2020. Selain itu, masih berlangsung percobaan MDR-END yang mengevaluasi regimen yang terdiri dari delamanid-linezolid-levofloxacin-pyrazinamide selama 9 dan 12 bulan. Sedangkan percobaan H-35265 sedang mengevaluasi regimen yang sama dengan durasi yang lebih pendek.[1]
Dari segi keamanan, ditemukan insiden pemanjangan interval QT yang signifikan, terutama pada pasien hipoalbuminemia. Akan tetapi, pemanjangan interval QT tersebut hanya derajat ringan hingga sedang dan bersifat transien, tidak sampai menyebabkan sinkop atau aritmia.[2,5]
Selain itu, ada kekhawatiran akibat data studi preklinis yang menunjukkan risiko resistansi spontan akibat mutasi pada salah satu dari 5 gen yang berhubungan dengan koenzim mikobakterium. Tapi tingkat resistansi spontan delamanid serupa dengan isoniazid sehingga disarankan bahwa delamanid diberi bersamaan dengan obat antituberkulosis lainnya untuk mengurangi risiko resistansi.[6]
Pedoman saat ini tidak menganjurkan pemberian bersama delamanid dengan bedaquiline karena ada peningkatan risiko pemanjangan interval QT.[1,2,7] Selain itu, belum ada data lengkap yang menguji konsistensi atau risiko keamanan dari pemberian kombinasi dua obat tersebut.[1]
Pretomanid
Pretomanid merupakan bicyclic nitroimidazole yang mempunyai aktivitas antimikobakterium poten baik terhadap strain Mtb sensitif obat maupun yang resistan obat.[1,2,9-12] Pretomanid mempunyai MIC rendah berkisar dari 0,015 hingga 0,25 mg/mL, sebanding dengan isoniazid.[2]
Mekanisme kerja obat ini adalah mengganggu pembentukan asam mikolat.[1,2,11,12] Efek bakterisidal pretomanid efektif baik untuk Mtb replikatif maupun yang hypoxic-static. Pada kondisi hipoksia, mekanisme antimikobakterium pretomanid terletak pada pelepasan nitrit oksida intrasel.[2]
Hasil Studi Ilmiah
Pada penelitian fase IIa selama 14 hari untuk memeriksa EBA, regimen pretomanid-moxifloxacin-pyrazinamide menunjukkan aktivitas bakterisidal yang sebanding dengan regimen TB standar dan lebih superior dari regimen lain yang menggunakan bedaquiline atau bedaquiline-pyrazinamide dan bedaquiline-pretomanid. Pada penelitian fase IIb selama 8 minggu, aktivitas bakterisidal regimen pretomanid-moxifloxacin-pyrazinamide ditemukan juga efektif pada pasien TB MDR, bahkan sebanding dengan efek bakterisidal pada pasien TB sensitif obat.[1,2]
Pada percobaan fase 3 NiX-TB, regimen bedaquiline-pretomanid-linezolid (BpaL) diberikan pada pasien dewasa dengan TB resistan obat (TB XDR dan TB MDR), atau intoleransi atau gagal terapi dengan durasi selama 6 bulan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa konversi kultur TB negatif terjadi setelah 4 bulan terapi (74% di antaranya negatif setelah 8 minggu terapi). Dari 107 pasien yang dievaluasi selama 6 bulan pasca terapi, 95 (85%) di antaranya dinyatakan sembuh dan tidak mengalami relaps. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pretomanid efektif pada pasien TB MDR maupun TB XDR.[9,10]
Food and Drug Administration (FDA) amerika baru saja mengesahkan pretomanid pada bulan Agustus 2019 untuk diberikan bersama-sama dengan bedaquiline dan linezolid untuk penatalaksanaan TB resistan obat.[9] Dosis yang direkomendasikan untuk pretomanid adalah 200 mg per hari selama 26 minggu.[12]
Dari segi keamanan, efek samping yang paling sering ditemukan dari kombinasi regimen mengandung pretomanid ialah neuropati perifer, jerawat, anemia, mual, muntah, nyeri kepala, peningkatan enzim hepar, dyspepsia, ruam kulit, hiperamilasemia, gangguan penglihatan, hipoglikemia, dan diare.[9,12]
Sutezolid
Sutezolid (PNU-100480) merupakan analog thiomorpholinyl linezolid dengan efikasi tinggi terhadap Mtb. Pada model tikus maupun kultur whole blood, aktivitas bakterisidal sutezolid lebih superior dari linezolid.
Penelitian fase I tidak menemukan abnormalitas hematologik atau biokimia, begitu pula untuk neuropati perifer atau oftalmik pada subyek yang diberikan sutezolid 600 mg dua kali sehari selama 28 hari. Hal ini mengindikasikan bahwa profil keamanan sutezolid lebih superior daripada linezolid dengan dosis yang sama. Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa aktivitas bakterisidal sutezolid yang diukur pada kultur whole blood (ex vivo), menjadi maksimal pada dosis 600 mg dua kali sehari dan efek tersebut lebih baik lagi jika diberikan dengan pyrazinamide.[2]
Wallis et al melaporkan bahwa pemberian sutezolid dengan dosis 600 mg 2 kali sehari atau 1200 mg sekali sehari selama 14 hari pada pasien TB paru apusan dahak positif, menunjukkan efek bakterisidal yang cepat terdeteksi pada pemeriksaan dahak maupun kultur darah, serta tidak menimbulkan efek samping serius. Saat ini masih diperlukan penelitian lanjutan untuk menguji konsistensi efek bakterisidal maupun keamanan terhadap sutezolid sebelum bisa disahkan untuk penatalaksanaan TB resistan obat.[2,13]
Pedoman WHO Untuk Obat TB Baru
WHO telah mengeluarkan pedoman interim untuk bedaquiline pada tahun 2013 dan delamanid pada tahun 2014. Pedoman untuk pretomanid belum dirilis karena obat tersebut baru saja disetujui oleh FDA sedangkan sutezolid belum disetujui oleh FDA
Pedoman WHO secara khusus mensyaratkan lima hal yang mesti terpenuhi sebelum mengimplementasikan obat TB baru:
Proper patient inclusion : usia ≥ 65 tahun, penderita TB-HIV, anak-anak, wanita hamil atau menyusui belum disarankan
- Effective treatment and monitoring
Treatment regimen must adhere to WHO recommendations : penggunaan obat baru harus mengikuti regimen terapi yang direkomendasi WHO, terutama harus melibatkan empat obat efektif lini kedua plus pyrazinamide. Obat baru tidak boleh diberikan secara tunggal atau ke regimen yang tidak efektif.
Informed consent : pasien harus diberitahu mengenai potensi benefit and harm dan harus memberikan persetujuan sebelum terapi dimulai
Pharmacovigilance and management of adverse events[14]
Pedoman kebijakan interim menyatakan bahwa bedaquiline dapat digunakan jika regimen terapi yang menggunakan empat obat lini kedua (ditambah pyrazinamide), termasuk fluorokuiniolon dan agen injeksi lini kedua, tidak dapat diterapkan. Hal ini termasuk pasien dengan resistan obat, reaksi obat yang merugikan, intoleransi obat, atau ada kontraindikasi terhadap salah satu obat di regimen tersebut. Pedoman kebijakan interim untuk delamanid serupa dengan bedaquiline.[14]
Kesimpulan
Masalah TB resistan obat menjadi tantangan tersendiri karena berbagai pertimbangan terkait pengobatan yang kompleks. Hingga saat ini, berbagai obat tengah diteliti sebagai regimen baru untuk tata laksana TB resisten obat. Obat baru ini di antaranya bedaquiline, delamanid, pretomanid, dan sutezolid. Introduksi obat antituberkulosis baru ke dalam praktek klinis hendaknya mengikuti pedoman kebijakan interim WHO guna memaksimalkan potensi cure rate dan meminimalkan efek samping merugikan, termasuk mencegah timbulnya kasus resistansi.