Beberapa golongan obat, seperti antidepresan dan antipsikotik, dapat menginduksi Restless legs syndrome (RLS) atau penyakit Willis-Ekbom. RLS merupakan kelainan neurologis yang ditandai dengan adanya dorongan kuat untuk menggerakkan tungkai, disertai dengan gangguan sensorik. Keluhan biasanya terjadi pada saat istirahat atau pada malam hari dan membaik dengan aktivitas.
Restless legs syndrome (RLS) terdiri dari RLS primer yang penyebabnya tidak diketahui atau idiopatik, serta RLS sekunder yang dapat disebabkan oleh kelainan sistem saraf atau kelainan medis lain, termasuk anemia defisiensi besi, kehamilan, gagal ginjal stadium akhir, defisiensi vitamin B9 atau B12, diabetes, rheumatoid arthritis, serta akibat efek samping obat. Obat-obatan yang diduga mencetuskan RLS mayoritas diketahui berdasarkan laporan kasus dan pengalaman klinis. Penelitian prospektif terkait ini masih belum banyak dilakukan.[1-4]
Antidepresan
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 9% pasien yang menerima antidepresan generasi kedua mengalami gejala Restless legs syndrome (RLS). Meskipun begitu, mekanisme antidepresan sebagai pencetus RLS masih belum sepenuhnya diketahui. Hipotesis yang ada menyebutkan bahwa peningkatan serotonin dan norepinefrin disertai dengan inhibisi dopaminergik dapat menyebabkan RLS.
Beberapa obat antidepresan yang telah dilaporkan dapat meningkatkan risiko terjadinya RLS adalah:
- Golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs): sertraline, citalopram, paroxetine, fluoxetine, dan escitalopram
- Golongan antidepresan trisiklik: imipramine
- Golongan antidepresan tetrasiklik: mirtazapine[2,3]
Mirtazapine merupakan obat antidepresan yang paling banyak dilaporkan menyebabkan RLS. Dari sebuah studi, sebanyak 25% pasien yang mengonsumsi mirtazapine mengalami RLS. Pada kasus-kasus RLS yang dicetuskan penggunaan mirtazapine, keluhan dapat muncul saat obat dikonsumsi pertama kali atau setelah peningkatan dosis. Sebagian besar pasien akan mengalami perbaikan gejala ketika penggunaan mirtazapine dihentikan.
Selain penghentian obat, opsi terapi lain yang dapat dilakukan adalah memberikan obat tambahan untuk mengurangi gejala RLS seperti obat golongan agonis dopamin atau menurunkan dosis mirtazapine. Pada beberapa laporan kasus, penggunaan kembali mirtazapine setelah perbaikan gejala RLS tidak menimbulkan gejala RLS kembali.[2,5]
Antipsikotik
Obat antipsikotik yang paling banyak dilaporkan mengakibatkan Restless legs syndrome (RLS) adalah olanzapine dan quetiapine. Selain kedua obat tersebut, antipsikotik lain yang telah dilaporkan menimbulkan RLS adalah aripiprazole, clozapine, risperidone, asenapine, lurasidone, haloperidol, dan ziprasidone.[2,3,6]
Mekanisme antipsikotik mengakibatkan RLS masih belum diketahui dengan pasti, tetapi kondisi ini diduga berkaitan dengan disfungsi dari dopaminergik. Hal ini ditunjukkan dengan kasus RLS yang banyak dicetuskan oleh obat antipsikotik dengan aktivitas blokade dopaminergik. Uniknya, terdapat laporan kasus yang menunjukkan terjadinya RLS pada pasien yang mengonsumsi olanzapine, tetapi tidak menunjukkan gejala saat obat antipsikotik diganti dengan risperidone yang juga memiliki aktivitas anti dopaminergik.[2,3,7]
Pada RLS yang dicetuskan antipsikotik, gejala dilaporkan muncul beberapa hari setelah inisiasi terapi atau setelah dilakukan peningkatan dosis. Peningkatan dosis juga dilaporkan dapat memperparah gejala RLS pada pasien. Sebagai terapinya, penghentian obat atau penurunan dosis antipsikotik pencetus dapat menunjukkan perbaikan gejala.[2]
Sebuah studi melaporkan tujuh kasus RLS yang berkaitan dengan penggunaan quetiapine pada pasien dengan gangguan mood. Semua pasien tersebut juga mendapatkan terapi antidepresan pada saat yang bersamaan. Hal ini memunculkan dugaan bahwa penggunaan kombinasi antipsikotik dan antidepresan dapat meningkatkan risiko terjadinya RLS.[2,8]
Antiepileptik
Beberapa obat antiepileptik dilaporkan dapat mencetuskan terjadinya Restless legs syndrome (RLS), antara lain phenytoin, zonisamide, dan topiramate. Topiramate bekerja dengan menghambat glutamat dan meningkatkan fungsi GABA, serta diduga memiliki efek antidopaminergik yang dapat menginduksi terjadinya RLS. Laporan kasus menunjukkan bahwa keluhan RLS membaik dengan pemberian agonis dopaminergik seperti cabergoline, penurunan dosis, atau penghentian obat pencetus.[2,9-11]
Antihistamin
Antihistamin juga dikenal sebagai obat yang dapat mencetuskan atau memperparah gejala Restless legs syndrome (RLS), terutama antihistamin generasi pertama yang bekerja pada reseptor H1, seperti chlorpheniramine (CTM) dan diphenhydramine. Sebuah laporan kasus menunjukkan seorang pasien yang rutin mengonsumsi diphenhydramine untuk mengatasi insomnianya mengalami gejala RLS yang semakin memberat seiring dengan kenaikan dosis difenhidramin yang dikonsumsi.[3,12-14]
Antiemetik
Antiemetik yang dilaporkan dapat mencetuskan Restless legs syndrome (RLS) adalah antiemetik dengan aktivitas antagonis dopamin seperti metoclopramide dan prochlorperazine. Peran dopamin dalam mekanisme terjadinya RLS masih belum sepenuhnya diketahui, namun RLS memberikan hasil yang baik dengan terapi agonis dopamin. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa jalur dopamin berperan penting dalam terjadinya RLS.[3,4,15,16]
Obat Golongan Lain
Selain golongan obat-obatan yang telah disebutkan di atas, beberapa obat lain yang juga dilaporkan berkaitan dengan Restless legs syndrome (RLS) adalah lithium, levotiroksin, interferon-α, clindamycin, serta obat anestesi perioperatif. Hal ini perlu menjadi perhatian dalam peresepan obat sehingga tenaga kesehatan dapat mewaspadai terjadinya efek samping RLS. Selain itu, kondisi ini perlu dikomunikasikan dengan pasien karena dapat berpengaruh terhadap kepatuhan pasien dalam minum obat, utamanya pada obat-obatan yang perlu dikonsumsi dalam jangka panjang, seperti obat antipsikotik.[2,3,7]
Kesimpulan
Restless legs syndrome (RLS) merupakan kelainan neurologis yang ditandai dengan adanya dorongan hebat untuk menggerakkan tungkai disertai dengan gangguan sensorik. RLS dapat merupakan penyakit idiopatik yang tidak diketahui penyebabnya atau terjadi secara sekunder sebagai akibat dari penggunaan obat. Beberapa golongan obat yang berperan dalam terjadinya RLS adalah antidepresan, antipsikotik, antiepileptik, antihistamin, serta antiemetik dengan antagonis dopamin. Selain golongan obat tersebut, beberapa obat lain yang dilaporkan berkaitan dengan RLS adalah lithium, levotiroksin, interferon-α, clindamycin, serta obat anestesi perioperatif. Tenaga kesehatan sebaiknya mengetahui risiko terjadinya RLS pada saat melakukan peresepan obat tersebut agar dapat segera melakukan tata laksana jika keluhan RLS muncul.