Pedoman tata laksana berhenti merokok dipublikasikan untuk pertama kalinya oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2024. Pedoman ini merekomendasikan untuk menggabungkan antara terapi perilaku dengan farmakoterapi untuk meningkatkan keberhasilan berhenti merokok pada pasien dengan tobacco use disorder atau penyalahgunaan tembakau.
Dalam pedoman ini, WHO mendukung beberapa jenis pendekatan tata laksana, termasuk terapi perilaku, intervensi digital, terapi farmakologi, intervensi untuk pengguna tembakau tanpa asap, kombinasi terapi perilaku dan farmakologi, hingga kebijakan tingkat sistem. Beberapa farmakoterapi yang dianjurkan adalah varenicline, nicotine replacement therapy (NRT), bupropion, dan cytisine.[1]
Tabel 1. Tentang Pedoman Klinis Ini
Penyakit | Tobacco Use Disorder |
Tipe | Penatalaksanaan |
Yang Merumuskan | World Health Organization (WHO) |
Tahun | 2024 |
Negara Asal | Global |
Sasaran | Seluruh petugas kesehatan. |
Penentuan Tingkat Bukti
Bukti-bukti yang mendukung dan digunakan sebagai rekomendasi pada pedoman ini diperoleh dari evaluasi tinjauan sistematik yang relevan dan berasal dari Cochrane. Guideline Development Group (GDG) telah memeriksa bukti-bukti dan membuat rekomendasinya.
Sistem yang dikenal sebagai Grading of Recommendations Assessment, Development and Evaluation (GRADE) digunakan untuk memastikan validitas bukti-bukti yang ada, kemudian dilakukan penyusunan rekomendasi berdasarkan analisis terhadap bukti-bukti tersebut. Rekomendasi yang telah disusun, ditinjau kembali oleh badan eksternal yang disebut The External Review Group.[1]
Rekomendasi Utama untuk Diterapkan dalam Praktik Klinis Anda
Salah satu pokok rekomendasi penting dalam pedoman berhenti merokok oleh WHO ini adalah agar seluruh dokter melakukan edukasi mengenai bahaya kesehatan dari merokok selama 30 detik hingga 3 menit setiap kali kunjungan pada semua pasien dengan tobacco use disorder. Jika diperlukan farmakoterapi, maka WHO merekomendasikan varenicline, NRT atau bupropion sebagai lini pertama. Terapi tradisional dan alternatif tidak dianjurkan karena tidak didukung bukti adekuat.[1]
Dukungan Perilaku
- Berikan edukasi secara singkat (durasi 30 detik sampai 3 menit pada setiap pertemuan) scara konsisten kepada seluruh pengguna tembakau yang sedang mengakses layanan kesehatan apapun.
- Berikan konseling bagi pengguna tembakau yang memiliki keinginan untuk berhenti. Konseling dapat dilakukan secara tatap muka (face-to-face), baik secara individual maupun antar kelompok, atau dapat melalui telepon.[1]
Intervensi Digital
Intervensi digital perlu dimanfaatkan bagi pengguna tembakau yang ingin berhenti. Intervensi digital ini haruslah mudah diakses oleh pengguna, yakni dapat berupa pesan teks, aplikasi telepon genggam, atau intervensi berbasis artificial intelligent dan internet.[1]
Intervensi Farmakologi
- Varenicline, NRT, dan bupropion adalah farmakoterapi lini pertama bagi perokok yang ingin berhenti merokok.
- Bagi perokok yang ingin menggunakan terapi NRT, disarankan untuk menggunakan kombinasi, misalnya penggunaan patch dengan NRT short acting seperti permen karet atau lozenges.
- Bila pengobatan lini pertama dirasa kurang, maka terapi dapat menggunakan kombinasi bupropion dengan NRT atau varenicline.
- Terapi farmakologi sebaiknya dikombinasikan dengan terapi perilaku.[1]
Intervensi untuk Menghentikan Penggunaan Tembakau Tanpa Asap
- WHO menganjurkan penyediaan intervensi dukungan perilaku secara intensif (konseling tatap muka baik secara individual maupun konseling dalam kelompok secara tatap muka atau telepon) bagi pengguna tembakau tanpa asap yang ingin berhenti.
- Varenicline atau NRT disarankan sebagai pilihan terapi farmakologi.[1]
Intervensi dan Kebijakan Tingkat Sistem
- Seluruh fasilitas pelayanan kesehatan direkomendasikan untuk mencantumkan status penggunaan tembakau pasien dan intervensi yang sudah dilakukan dalam rekam medis.
- Seluruh tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan sebaiknya diberikan pelatihan mengenai pemberian intervensi berbasis bukti untuk menghentikan penggunaan tembakau.
- Dalam tingkat lebih tinggi lagi, WHO merekomendasikan agar intervensi yang berkaitan dengan penghentian penggunaan tembakau berbasis bukti diberikan tanpa biaya atau dengan biaya yang lebih rendah pada seluruh pengguna tembakau yang ingin berhenti.[1]
Perbandingan dengan Pedoman Klinis di Indonesia
Di Indonesia, pedoman klinis tata laksana berhenti merokok dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) pada tahun 2024. Pedoman ini memiliki banyak kesamaan dengan pedoman dari WHO, termasuk rekomendasi mengenai penilaian status awal perokok yang terintegrasi dalam rekam medis, pemberian edukasi singkat berupa saran untuk berhenti merokok, serta pendekatan lanjutan seperti bantuan konseling atau konsultasi.
Dalam hal farmakoterapi, PDPI juga menyarankan penggunaan varenicline, NRT, dan bupropion. Sedikit berbeda dengan panduan WHO, pedoman klinis PDPI menjabarkan dosis dan cara penggunaan yang lebih mudah dimengerti dan dibaca. Pedoman PDPI juga menyusun bagian farmakoterapi dengan lebih terstruktur, sehingga mudah melihat apa saja indikasi, kontraindikasi, dan perhatian khusus dari berbagai pilihan farmakoterapi.[2]
Kesimpulan
Pedoman tata laksana berhenti merokok dipublikasikan oleh WHO pada tahun 2024. Rekomendasi utama dalam pedoman klinis ini adalah:
- Intervensi perilaku, termasuk konseling singkat (dalam 30 detik hingga 3 menit) perlu diberikan secara rutin dalam pelayanan kesehatan pada semua pasien dengan tobacco use disorder.
- Intervensi perilaku yang lebih intens, termasuk konseling individu atau kelompok, serta intervensi digital (misalnya dengan aplikasi ponsel atau pesan singkat) perlu diberikan pada pasien yang ingin berhenti merokok.
- Varenicline, nicotine replacement therapy (NRT), bupropion, dan cytisine merupakan farmakoterapi yang efektif untuk penanganan berhenti merokok.
- Kombinasi farmakoterapi dan intervensi perilaku akan meningkatkan kesuksesan berhenti merokok secara signifikan.