Pemilihan antibiotik golongan bakteriostatik atau bakterisidal, perlu didasari dengan pengetahuan bahwa klasifikasi tersebut didasarkan pada antimicrobial action yang dimiliki masing-masing obat. Sering terjadi kesalahpahaman, bahwa karena antibiotik golongan bakteriostatik tidak dapat membunuh bakteri, maka dinilai lebih inferior dibandingkan dengan golongan bakterisidal.[1]
Antibiotik Bakteriostatik dan Bakterisidal
Berdasarkan kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, antibiotik digolongkan menjadi dua kelompok yakni bakteriostatik dan bakterisidal. Secara sederhana, bakterisidal adalah obat yang membunuh bakteri, sedangkan bakteriostatik adalah obat yang menghambat pertumbuhan bakteri. Pembagian ini pada dasarnya diaplikasikan pada pemeriksaan laboratorium saja, dan tidak dapat sepenuhnya diaplikasikan pada kondisi klinis pasien.[2]
Pada kenyataannya, tidak ada antimikroba yang benar-benar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok tersebut. Antibiotik golongan bakterisidal tidak benar-benar dapat membunuh semua bakteri, terutama pada koloni bakteri yang besar, setelah 18-24 jam pasca pemberian.[2]
Sebaliknya, golongan antibiotik bakteriostatik memiliki kemampuan membunuh bakteri 18–24 jam pasca pemberian obat. Kemampuan antibiotik secara in vitro, baik bakteriostatik dan bakterisidal, dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan dan kepadatan bakteri, durasi percobaan, dan respon bakteri. Pada kondisi klinis, lebih banyak lagi faktor lain yang diperhitungkan. Sebagian besar antibakteri dideskripsikan memiliki potensi bakterisidal dan bakteriostatik.[2]
Implikasi Klinis Antibiotik Bakteriostatik dan Bakterisidal
Penggunaan antibiotik didasarkan pada kondisi klinis, mikroorganisme penyebab infeksi dan tujuan terapi pasien. Pertimbangan penting lainnya dalam menentukan pilihan antibiotik adalah kondisi sistem imun pasien. Aspek penting dari antibiotik yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan pilihan obat adalah waktu kerja dan spektrum antibiotik.[3,4]
Penggolongan antibiotik menjadi bakterisidal dan bakteriostatik tidak banyak digunakan dalam praktek klinis, bahkan banyak menyebabkan kesalahpahaman ketika tidak disertai dengan pengetahuan akan aspek farmakodinamik dan farmakokinetik obat.[3,4]
Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan antibiotik bakterisidal tidak selalu lebih baik dibanding golongan bakteriostatik. Hal ini ditentukan oleh konsentrasi hambat minimum dan konsentrasi bakterisidal minimum.[3,4]
Aminoglikosida, misalnya streptomisin, yang merupakan bakterisidal poten pada pemeriksaan in vitro, tidak menunjukkan efikasi klinis yang baik terhadap infeksi Salmonella typhi. Hal ini terjadi karena aminoglikosida sulit untuk menembus dinding sel eukariotik dan mengeradikasi salmonella intraseluler.[3,4]
Pasien-pasien yang diterapi dengan bakterisidal, seperti pada penyakit meningitis gram positif, endokarditis dan osteomielitis, juga menunjukkan hasil terapi yang baik pada pengobatan dengan agen bakteriostatik, seperti clindamycin.[3]
Untuk golongan bakteri gram positif, faktor penentu keberhasilan terapi pada infeksi lebih bergantung pada kerentanan agen penyebab infeksi, kemampuan obat mempenetrasi dan berkonsentrasi pada organ yang terinfeksi, serta resistensi bakteri, dibandingkan apakah obat termasuk golongan bakteriostatik atau bakterisidal.[3]
Antibiotik Spektrum Luas
Pada penggunaan antibiotik spektrum luas, tumpang tindih antara bakteriostatik dan bakterisidal menjadi tidak jelas. Pada konsentrasi tinggi, obat-obat golongan bakteriostatik dapat memiliki efek bakterisidal pada mikroba yang sesuai.
Beberapa contoh antibiotik golongan bakteriostatik yang dapat menunjukkan efek bakterisidal, antara lain:
- Antibiotik golongan makrolid adalah golongan bakteriostatik, tetapi eritromisin, azitromisin dan klaritomisin menunjukkan kerja bakterisidal pada in vitro terhadap Streptococcus pyogenes dan Streptococcus pneumonia
Kloramfenikol memiliki efek bakterisidal terhadap Streptococcus pneumonia, tetapi memiliki efek bakteriostatik pada Streptococcus aureus dan Streptococcus grup B
- Clindamycin dapat memiliki efek bakterisidal, tergantung mikroorganisme penyebab dan lingkungan
- Linezolid memiliki efek bakteriostatik pada pengobatan Staphylococcus dan Enterococcus, tetapi memiliki efek bakterisidal terhadap Streptococcus
Sebaliknya, antibiotik bakterisidal spektrum luas juga memiliki efek bakteriostatik. Antibiotik bakterisidal dalam konsentrasi rendah biasanya memiliki efek bakteriostatik, misalnya Quinupristin-dalfopristin memiliki efek bakterisidal terhadap Staphylococcus dan Streptococcus, tetapi memiliki efek bakteriostatik terhadap Enterococcus faecium.
Perbandingan Manfaat Antibiotik Bakterisidal dan Bakteriostatik
Sebuah metaanalisis yang melibatkan 33 penelitian mencoba membandingkan keberhasilan terapi pasien infeksi serius pada kelompok antibiotik bakterisidal dan bakteriostatik. Luaran penelitian yang dinilai adalah kesembuhan, kematian dan angka kekambuhan.[5]
Studi ini melibatkan 13 penelitian pada penyakit pneumonia, 8 penelitian pada penyakit infeksi kulit dan jaringan lunak, 4 penelitian pada penyakit infeksi intra abdomen dan 8 kasus penyakit infeksi lainnya. Kelompok antibiotik bakteriostatik yang masuk dalam penelitian adalah tigesiklin, linezolid, makrolid, sulfonamid, tetrasiklin dan streptogramin, sedangkan kelompok bakterisidal adalah beta laktam, glikopeptida, fluorokuinolon dan aminoglikosida.[5]
Pada penelitian tersebut tidak ditemukan perbedaan kecepatan kesembuhan antara kedua kelompok (RR 0,99; 95% CI 0,97-1,01; p = 0,11). Bahkan, pengobatan dengan linezolid menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding kelompok bakterisidal (RR 0,93; 95% CI 0,87-0,99; p = 0,04). Hal ini mungkin berkaitan dengan pasien yang termasuk dalam kondisi berat, termasuk pasien dengan Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA).[5]
Dari analisis terhadap 13.098 pasien, ditemukan tidak ada perbedaan kematian pada kedua kelompok antibiotik tersebut (RR 0,91; 95% CI 0,76-1,08; p = 0,28). Walaupun demikian, terdapat kecenderungan peningkatan kematian pada pasien yang menggunakan tigesiklin, terutama pada kelompok pasien dengan infeksi kulit.[5]
Dibandingkan linezolid, kematian pasien dengan tigesiklin lebih tinggi. Peningkatan kematian pada pasien lebih berhubungan dengan toksisitas obat, mekanisme kerja, seperti farmakodinamik dan farmakokinetik obat, serta dosis, dan bukan karena efek bakteriostatik obat tersebut.[5]
Sebuah tinjauan sistematis tahun 2018 melibatkan 56 randomized controlled trials (RCT) yang membandingkan kerja antibiotik golongan bakteriostatik dan bakterisidal infeksi bakteri. Dari 56 studi, sejumlah 49 studi tidak menemukan perbedaan efikasi antara golongan bakteriostatik dengan bakterisidal. Terdapat 6 studi yang menyatakan bahwa golongan bakteriostatik lebih superior dibandingkan bakterisidal, dan 1 studi yang menemukan bahwa golongan bakterisidal lebih superior.[6]
Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa antibiotik golongan bakterisidal tidak terbukti lebih superior daripada golongan bakteriostatik. Karakteristik obat lainnya, seperti dosis yang tepat, farmakokinetik, dan kemampuan penetrasi jaringan lebih berpengaruh terhadap efikasi obat.[6]
Faktor lain yang menjadi dasar antibiotik bakterisidal lebih superior dibandingkan dengan bakteriostatik adalah kemungkinan terjadinya kekambuhan pada kelompok penyakit infeksi yang diterapi dengan bakteriostatik. Hal ini dihipotesiskan karena mekanisme kerja bakteriostatik tidak membersihkan agen penyebab infeksi. Namun, hasil penelitian membuktikan tidak ada perbedaan tingkat kekambuhan pada kedua jenis kelompok antibiotik ini.[6]
Pemilihan Antibiotik pada Kondisi Khusus
Pada kondisi khusus, seperti immunocompromised, pasien sebaiknya diobati dengan antibiotik golongan bakterisidal. Hal ini disebabkan pada kondisi tersebut kondisi sistem imun tidak sepenuhnya maksimal sedangkan golongan antibiotik bakteriostatik memerlukan kerja sistem imun yang maksimal untuk dapat membunuh bakteri guna mencapai kesembuhan seperti pada golongan bakteriostatik.[7]
Golongan antibiotik bakterisidal juga sebaiknya diberikan pada pasien yang mendapat steroid jangka panjang atau dengan keganasan.[7]
Penggunaan antibiotik bakterisidal juga memiliki efek samping akibat lisisnya bakteri dalam jumlah yang banyak, dan waktu yang cepat. Lepasnya endotoksin akibat terapi sudah pernah didokumentasikan, misalnya pada cairan serebrospinal pasien dengan meningitis bakterial gram negatif.[8]
Kematian Streptococcus pneumonia secara cepat menyebabkan peningkatan produksi fragmen dinding sel dan pneumolisin intrasel. Pelepasan kedua komponen ini meningkatkan respons sel darah putih dan prostaglandin. Respons sel tersebut meningkatkan risiko edema serebral dan meningkatkan angka kematian. Kaskade kejadian ini tidak ditemukan pada penggunaan antibiotik golongan bakteriostatik.[8]
Kesimpulan
Pembagian antibiotik menjadi kelompok bakteriostatik dan bakterisidal merupakan pembagian berdasarkan temuan laboratorium. Definisi dan batasan ini tidak dapat digunakan dalam kondisi klinis. Penggunaan antibiotik golongan bakterisidal dosis rendah dapat menunjukkan efek bakteriostatik. Sebaliknya, penggunaan bakteriostatik dosis tinggi dapat membunuh mikroorganisme, seperti pada golongan bakterisidal.
Hasil penelitian membuktikan antibiotik golongan bakteriostatik non-inferior dibanding golongan bakterisidal. Tidak ada perbedaan signifikan antara penggunaan antibiotik golongan bakterisidal dan bakteriostatik yang dinilai dari keberhasilan terapi dan angka kematian. Faktor yang lebih penting pada keberhasilan terapi adalah mengenali agen penyebab infeksi, spektrum, dosis dan waktu pemberian antibiotik, lokasi infeksi, serta faktor sistem imun pejamu.
Hal lain yang penting untuk diingat adalah dokter perlu meresepkan antibiotik secara tepat dan sesuai indikasi, sehingga mencegah terjadinya resistensi antibiotik.
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra