Pemilihan sclerosing agent untuk mencegah berulangnya efusi pleura masif sampai saat ini belum ada yang dapat dianggap sebagai agent yang paling utama dan unggul. Sclerosing agent yang tersedia saat ini masih memunculkan efek samping berupa aktivitas inflamasi, sehingga pemilihan baru selalu dikaitkan dengan faktor agen yang mudah tersedia dan efisien. Akan tetapi, diyakini bahwa sclerosing agent yang ideal harus menghasilkan adhesi intrapleura yang tahan lama, dengan sesedikit mungkin atau bahkan tanpa peradangan.[1,2]
Efusi Pleura Masif
Efusi pleura masif adalah akumulasi cairan berlebih yang mengisi ruang antara pleura viseral dan pleura parietal. Cairan efusi sering mengandung sel-sel keganasan, karena efusi pleura masif umumnya disebabkan oleh proses inflamasi yang dipicu keganasan. Sejumlah keganasan yang dapat mengakibatkan efusi pleura adalah kanker paru, kanker payudara, kanker ginekologis seperti kanker serviks, limfoma, dan yang tersering mesothelioma.[2]
Munculnya efusi pleura masif merupakan tanda stadium lanjut dari keganasan, atau sering dikaitkan dengan perburukan prognosis pasien. Efusi pleura masif dapat merusak aliran limfatik di rongga dada sehingga menyebabkan atelektasis paru, sehingga pasien mengalami gejala sesak napas berat dan kadang disertai nyeri dada.[2]
Pleurodesis Kimiawi
Tata laksana efusi pleura masif adalah mengeluarkan cairan dalam rongga pleura dengan cara thoracentesis, kemudian dilanjutkan dengan tindakan pleurodesis (baik secara kimia maupun mekanik), dilanjutkan dengan pemasangan kateter menetap (indwelling pleural catheter). Tindakan pleurodesis bertujuan untuk mencegah terjadinya efusi pleura berulang.[3,27]
Pleurodesis kimia adalah pemberian cairan kimia atau sclerosing agent ke dalam rongga intrapleural. Contoh sclerosing agent di antaranya talc (baik dalam bentuk poudrage maupun slurry), iodopovidone, bleomycin, tetrasiklin, doksisiklin, dan Corynebacterium parvum. Agen kimia tersebut dapat diberikan ke dalam rongga pleura melalui kateter pleura, atau bersamaan saat dilakukan thoracoscopy.[1,3,27,31]
Hampir semua sclerosing agent untuk pleurodesis bersifat iritan lokal, yaitu menyebabkan peradangan yang memicu fibrogenesis atau perlengketan fibrin pada komponen penyusun pleura parietal dan viseral. Tindakan pleurodesis melibatkan komponen kolagen dan matriks ekstraseluler pleura untuk terjadinya reaksi inflamasi dan memunculkan fibrin baru dan halus untuk memacu reaksi koagulasi atau adhesi antar pleura.
Keberhasilan pleurodesis dinilai dalam waktu beberapa minggu maupun bulan, dengan harapan efusi pleura masif tidak terulang kembali. Akan tetapi, kadang peradangan yang terjadi dalam pembentukan adhesi pleura memberikan efek samping, termasuk rasa sakit.[1,3,31]
Pemilihan Sclerosing Agent
Pleurodesis pertama kali dilakukan pada tahun 1901 oleh seorang ahli bedah Swiss, Lucius Spengler, menggunakan larutan glukosa hipertonik dan hasilnya tidak memuaskan. Awal tahun 1906, Lucius menyarankan penggunaan larutan perak nitrat 0,5%.
Kemudian tahun 1935, Norman Bethune mengusulkan aplikasi iodized talc untuk membuat adhesi pleura pada pasien bronkiektasis sebelum lobektomi. Penggunaan talc untuk pengobatan paliatif efusi pleura masif pertama kali dijelaskan oleh John Chambers pada tahun 1958. Sampai saat ini, talc masih menjadi agen sklerosan yang efektif dan paling banyak digunakan.[5,6]
Berbagai metode telah diusulkan dan diuji untuk mencapai perlengketan antar pleura yang efektif. Beberapa sclerosing agent adalah:
- Antibiotik, seperti tetrasiklin, eritromisin, minocycline, doksisiklin
- Antiseptik, seperti perak nitrat, iodopovidone
- Agen sitostatik, seperti mitomycin C, bleomycin, cytarabine, doxorubicin, etoposide, mitoxantrone, nitrogen mustard
- Radioaktif emas koloidal
- Quinacrine
Transforming growth factor β (TGF-β)
- Darah autologik
- Asam lipoteichoic-T[7–14,27,31]
Selain itu, bakteri seperti Corynebacterium parvum dan Streptococcus pyogenes juga dapat digunakan sebagai sclerosing agent.[7–14,27]
Mekanisme Kerja Sclerosing Agent untuk Pleurodesis
Mekanisme kerja berbagai sclerosing agent untuk pleurodesis berbeda-beda berdasarkan jenis agen yang digunakan.
Pleurodesis dengan Talc
Nasreen et al. melakukan tindakan pleurodesis dengan pemberian talc, pada pemeriksaan sampel pleura ditemukan terjadi pembentukan angiogenik di pleural mesothelial cells (PMC). Sampel pleura yang didapatkan berasal dari sejumlah kecil cairan pleura dari pasien dengan efusi pleura masif setelah dilakukan pleurodesis.
Secara umum, penelitian menunjukkan bahwa talc mengaktifkan pelepasan endostatin dari PMC. Pada penelitian lain, Montes et al. melakukan pengumpulan data dari kelinci setelah tindakan pleurodesis menggunakan talc, dan menunjukkan bahwa pleurodesis menghasilkan tidak hanya bekas luka perbaikan, tetapi juga terbentuknya vaskularisasi dan persarafan baru pada jaringan ikat dengan perlengketan yang baik antara dua pleura.[16,17,28]
Pleurodesis dengan Injeksi Campuran Bio-Produk Staphylococcus aureus
Lansley et al. memperlihatkan bahwa pleurodesis dengan menggunakan injeksi campuran bio-produk Staphylococcus aureus dapat memacu terjadinya apoptosis sel mesothelioma melalui mekanisme yang dimediasi langsung oleh sel T.
Penelitian kecil oleh Ren et al. yang menunjukkan bahwa, pada pasien yang dilakukan pleurodesis terpapar S. aureus–superantigen memiliki harapan hidup lebih lama secara signifikan. Hal ini mungkin terkait dengan efek imunostimulasi dari reaksi S. aureus.[18,19]
Pleurodesis dengan Tetrasiklin
Karandashova et al. melakukan pemeriksaan fokus pada plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) di mesothelium pleura manusia, untuk mempelajari mekanisme pleurodesis menggunakan sclerosing agent sediaan antibiotika jenis tetrasiklin. Serin protease inhibitor PAI-1 adalah faktor inflamasi yang menyebabkan perlengketan.
Pasca pleurodesis, ditemukan peningkatan PAI-1 yang signifikan sejalan dengan peningkatan cedera pada pleura, sehingga terjadi pembentukan adhesi dan penebalan jumlah adhesi yang disebabkan oleh tetrasiklin.[20]
Penelitian Membandingkan Berbagai Sclerosing Agent untuk Pleurodesis
Studi metaanalisis pada tahun 2017, meninjau 62 studi random terkontrol yang membandingkan pemberian sclerosing agent untuk pleurodesis pada pasien efusi pleura karena keganasan. Studi ini melibatkan total 3428 pasien dan bertujuan untuk mengevaluasi tingkat kegagalan dan efek samping yang disebabkan tindakan pleurodesis.
Hasil studi menunjukkan bahwa talc poudrage adalah sclerosing agent yang paling efektif dan dipastikan lebih efektif daripada tetrasiklin dan bleomisin. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengkonfirmasi apakah talc poudrage lebih efektif daripada talc slurry, povidone iodine dan doksisiklin. Akan tetapi, efek samping yang dilaporkan tidak konsisten, sehingga memerlukan studi lebih lanjut untuk membandingkan penggunaan beberapa sclerosing agent pada pasien yang sama.[25]
Perbandingan penggunaan talc poudrage yang diberikan selama thoracoscopy dengan talc slurry yang diberikan melalui pleural catheter, menunjukkan bahwa talc poudrage lebih efektif. Selain itu, talk poudrage juga dapat memiliki efek apoptosis terhadap sel-sel ganas.
Sebuah penelitian acak terkontrol kecil membandingkan pemberian talc poudrage dan povidone iodine pada pasien dengan efusi pleura ganas akibat metastasis kanker payudara. Penelitian menunjukkan kedua sclerosing agent memberikan efek yang serupa, tetapi dengan povidone iodine memiliki efek samping nyeri dada dan demam pasca prosedur yang lebih sedikit, sehingga mungkin povidone iodine bisa merupakan alternatif yang baik.[26]
Efek Samping Pleurodesis Kimiawi
Hampir semua sclerosing agent yang digunakan untuk pleurodesis kimia bertindak sebagai penyebab terjadinya peradangan lokal, yang akhirnya menghasilkan adhesi pleura. Akan tetapi, munculnya kejadian peradangan tersebut sering dikaitkan dengan efek samping seperti rasa sakit.
Selain itu, data terperinci tentang mekanisme aksi berbagai agen sclerosing masih belum lengkap walaupun sudah digunakan selama bertahun-tahun. Misalnya untuk sclerosing agent jenis iodopovidone yang masih menjadi sclerosant agent pilihan karena murah dan mudah ketersediaannya, memiliki efek proinflamasi yang baru diuji pada model hewan.[1,22-24]
Efek samping lain yang dapat ditemukan pada penggunaan sclerosing agent untuk pleurodesis pneumonitis dan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Akan tetapi, efek samping ini jarang ditemukan dan seringkali berhubungan dengan pleurodesis yang dilakukan berulang pada interval waktu tertentu. Selain itu, perbaikan klinis didapatkan dengan terapi suportif.[28–30]
Kesimpulan
TIndakan pleurodesis bertujuan untuk mencegah terjadinya efusi pleura masif yang berulang. Pada pleurodesis kimia tersedia berbagai macam sclerosing agent yang bersifat merusak sel mesotelial pleura sehingga terbentuk adhesi antara pleura. Para ahli berpendapat bahwa sclerosing agent yang ideal harus menghasilkan adhesi intrapleura yang tahan lama dengan sesedikit mungkin atau bahkan tanpa peradangan, sehingga risiko efek samping rasa sakit dapat dihindari.
Saat ini tidak ada yang sclerosing agent yang superior, sehingga pemilihan jenis agent umumnya disesuaikan dengan ketersediaannya di pusat pelayanan. Berdasarkan studi saat ini menyebutkan talc kemungkinan merupakan sclerosing agent yang paling efektif, dan metode talc poudrage memberikan tingkat kekambuhan yang terendah. Serta ada penelitian yang menyebutkan povidone iodine terbukti efektif dalam efusi pleura metastasis dari kanker payudara, dan pasien memiliki lebih sedikit keluhan nyeri dada setelah tindakan.
Namun, masih dibutuhkan penelitian yang dapat menjelaskan lebih spesifik proses terjadinya aktivasi sel pleura, kaskade koagulasi, pembentukan rantai fibrin, dan proliferasi fibroblast. Pemahaman yang lebih rinci tersebut merupakan prasyarat untuk mengembangkan sclerosing agent baru tanpa efek samping peradangan.
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli