Penanganan pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) yang sedang hamil ataupun sedang merencanakan kehamilan merupakan salah satu bagian krusial perawatan pasien LES. Kehamilan pada LES umumnya dikaitkan dengan peningkatan kejadian flare dan luaran kehamilan yang kurang baik. Dalam beberapa dekade terakhir, pemahaman lebih baik tentang perjalanan penyakit dan penatalaksanaan LES selama kehamilan telah meningkatkan luaran pada ibu dan janin.[1]
LES adalah penyakit kronis yang ditandai dengan sel T dan B autoreaktif yang menyebabkan autoantibodi patogen dan pengendapan kompleks imun pada jaringan. Penegakkan diagnosis menjadi tantangan tersendiri karena penyakit ini sering berkembang secara perlahan dan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Selain itu, gejala melibatkan berbagai organ, seperti sistem muskuloskeletal, paru, kardiovaskular, hematologi, ginjal, kulit, dan saraf.[2,3]
Diagnosis LES memerlukan adanya antinuclear antibody (ANA) yang positif, dan adanya autoantibodi lain atau manifestasi klinis. Studi epidemiologi memperkirakan prevalensi LES adalah sebesar 45,2 dan 102,9 per 100.000 orang dengan insiden 2,4–7,2 per 100.000/tahun. LES lebih banyak terjadi pada perempuan, dengan puncaknya pada masa reproduksi.[4-8]
Pengaruh Lupus Eritematosus Sistemik pada Potensi Reproduksi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dapat mempengaruhi fekunditas (kemungkinan terjadinya konsepsi atau reproduksi) dan kesuburan (kapasitas reproduksi). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jumlah keturunan pada pasien dengan LES adalah inflamasi aktif; penyakit penyerta seperti insufisiensi ginjal, lupus nefritis, dan sindrom antifosfolipid; serta paparan terhadap pengobatan gonadotoksik. Faktor lain mencakup usia ibu yang lebih tua, aspek psikososial, dan riwayat keguguran.[8-10]
Pasien LES juga bisa memiliki gejala berupa amenorea ataupun ketidakteraturan dari menstruasi. Studi pendahulu melaporkan sebanyak 53% pasien LES berusia di bawah 40 tahun mengalami perubahan keteraturan menstruasi, dan pasien dengan aktivitas penyakit tinggi lebih cenderung mengalami menstruasi yang tidak teratur.
Nilai hormon anti-Mullerian (Anti-Mullerian hormone/AMH) dan jumlah folikel antral (antral follicular count/AFC) merupakan prediktor dari cadangan ovarium, di mana penurunan nilai ini mungkin mengindikasikan adanya gangguan fertilitas. Studi terdahulu menemukan bahwa kadar AMH dan AFC pada pasien LES secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol, bahkan pada pasien dengan menstruasi yang normal.[11]
Siklofosfamid (CYC) digunakan dalam pengobatan manifestasi LES yang berat, seperti lupus nefritis kelas III/IV. Obat ini dapat secara langsung merusak oosit. Wanita yang sebelumnya diobati dengan siklofosfamid dapat mengalami tingkat amenore dan menopause dini yang lebih tinggi. Selain itu, insufisiensi ovarium lebih mungkin terjadi seiring bertambahnya usia dan dosis kumulatif lebih besar dari 10 gram.[1,12]
Penanganan Terkait Kehamilan Pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik
Pasien dengan LES dapat mempunyai kehamilan yang sukses. Luaran kehamilan akan lebih baik bila ada perencanaan dan pemantauan ketat terhadap pasien selama proses ini. Pendekatan tim multidisiplin dengan pemantauan oleh ahli reumatologi, obstetri, dan neonatal yang ketat, penting dilakukan mulai dari masa prakonsepsi hingga proses melahirkan.[1]
Fase Pra-Kehamilan
Pada fase prakonsepsi, pasien harus mendapatkan konseling, termasuk mengenai komplikasi pada ibu dan janin, serta penggunaan obat LES selama kehamilan. Pasien yang merencanakan kehamilan perlu dinilai risiko untuk dapat memperkirakan prognosis selama kehamilan.
Hal-hal yang perlu dinilai adalah aktivitas penyakit, keterlibatan organ, riwayat pengobatan, serta profil serologi terbaru seperti anti-double stranded deoxyribonucleic acid (DNA), antibodi-Ro/La, antibodi antifosfolipid (APL), dan komplemen. Evaluasi juga penyakit penyerta lain, riwayat dan komplikasi kehamilan sebelumnya, tekanan darah, serta hasil pemeriksaan penunjang yang lengkap, termasuk pemeriksaan darah, fungsi ginjal, analisis urin, fungsi hati, dan organ lain secara spesifik.[1,13]
Risiko terjadinya preeklampsia meningkat 25-35%, eklamsia 10-15%, dan sindrom hemolysis, elevated liver enzymes, low platelet count (HELLP) meningkat sebesar 1-1,5% pada pasien LES. Aktivitas LES juga meningkat seiring dengan meningkatnya komplikasi kehamilan, seperti kekambuhan, nefritis lupus, dan hipertensi. Risiko janin pada pasien LES mencakup keguguran, prematuritas, pertumbuhan janin terhambat, kematian janin, kematian perinatal, berat badan lahir rendah, dan lupus neonatal.[14,15]
Keperluan Medikamentosa Prakonsepsi:
Pada pasien dengan anti-Ro/La positif dianjurkan untuk diberikan hydroxychloroquine sebelum kehamilan atau setidaknya pada usia kehamilan kurang dari 16 minggu untuk mencegah lupus neonatal. Konsumsi obat ini akan dilanjutkan selama masa kehamilan.[13-15]
Pemeriksaan penapisan antibodi APL, seperti antibodi kardiolipin (ACA), antikoagulan lupus (LA), beta 2-glikoprotein 1 (β2-GP1), perlu dilakukan sebelum merencanakan kehamilan. Jika hasil sebelumnya negatif, maka pemeriksaan dapat diulang kembali. Jika hasilnya positif, maka aspirin dosis rendah dapat diberikan selama kehamilan.
Pengobatan seperti methotrexate (MTX), siklofosfamid, dan mycophenolate harus dihentikan minimal 3 bulan sebelum merencanakan kehamilan, karena bersifat teratogenik pada janin, meningkatkan risiko keguguran dan kelainan kongenital pada janin. Pasien LES sebaiknya menggunakan kontrasepsi yang efektif selama masa penghentian obat-obatan ini.[14]
Pemantauan Selama Kehamilan
Pada kunjungan pertama di dokter spesialis kebidanan dan kandungan, akan dilakukan pemeriksaan fisik kebidanan, pemeriksaan ultrasonografi (USG), dan evaluasi kehamilan. Pada trimester pertama dan usia kehamilan 18-24 minggu, akan dilakukan pemeriksaan laboratorium, seperti analisis urin, fungsi ginjal, fungsi hati, dan kadar feritin.
Hingga usia kehamilan mencapai 28 minggu, pemeriksaan kehamilan (antenatal care/ANC) dilakukan setiap 2-4 minggu. Pada usia kehamilan 28-34 minggu, ANC dilakukan setiap dua minggu. Pada usia kehamilan di atas 34 minggu, ANC dilakukan setiap minggu. Jika didapatkan adanya penyulit, ANC dilakukan lebih sering dari jadwal.
Pada usia kehamilan 18-22 minggu, dilakukan penapisan adanya abnormalitas pada janin (fetal anomaly scan/FAS). Evaluasi pertumbuhan janin pada usia kehamilan 20-24 minggu dengan menggunakan Doppler arteri uterina diperlukan untuk memantau risiko preeklampsia. Jika anti-Ro/La positif, maka akan dilakukan pemeriksaan echocardiography pada janin pada usia kehamilan 18-26 minggu karena bayi berisiko mengalami congenital heart block (CHB).
Pada kunjungan pertama di dokter penyakit dalam, akan dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang, seperti komplemen dan antibodi anti ds-DNA. Pada pemeriksaan setiap bulan hingga persalinan, akan dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium, seperti komplemen dan fungsi ginjal. Jika terdapat tanda-tanda CHB, maka pasien LES harus berkonsultasi untuk terapi dan perencanaan terminasi kepada dokter spesialis anak subspesialis kardiologi.[14,16]
Keperluan Medikamentosa Selama Kehamilan:
Pasien LES yang hamil sebaiknya mendapatkan aspirin 75 mg/hari sejak usia kehamilan 12 minggu karena mampu menurunkan risiko preeklampsia, kelahiran prematur, kematian perinatal, berat badan lahir rendah, dan kematian ibu.[14]
Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) tidak boleh diberikan pada trimester tiga kehamilan. Jika digunakan di atas usia kehamilan 32 minggu, dapat terjadi penutupan duktus arteriosus prematur pada janin, gangguan fungsi ginjal, dan oligohidramnion.
Hydroxychloroquine, azathioprine, cyclosporine, dan tacrolimus dapat digunakan selama kehamilan dengan mempertimbangkan manfaat dan risikonya, sesuai dengan derajat aktivitas penyakit. Sementara itu, kortikosteroid seperti dexamethasone dan betamethasone, hanya diindikasikan pada pasien dengan anti-Ro/La positif disertai adanya CHB.
Jika terdapat kekambuhan yang berat dan mengancam jiwa selama masa kehamilan, maka dapat dipertimbangkan pemberian methylprednisolone dosis tinggi sesuai dengan derajat aktivitas penyakit serta mempertimbangkan manfaat dan risikonya.[13,14,16]
Penanganan saat Persalinan dan Pascapersalinan
Metode persalinan ditentukan dari pertimbangan obstetri, klinis, dan penyakit penyerta pada pasien. Persalinan secara sectio caesarea (SC) dapat meningkatkan risiko tromboembolisme vena, perdarahan, dan infeksi. Oleh karena itu, persalinan SC hanya dilakukan jika didapatkan adanya indikasi obstetri, baik pada ibu ataupun janin.
Jika terjadi persalinan preterm, maka dapat diberikan dexamethasone sebanyak 12 mg terbagi dalam 2 dosis/hari selama 2 hari, serta persiapan perawatan pada unit perawatan intensif neonatal (NICU).
Jika pasien LES mengonsumsi steroid jangka panjang, maka diperlukan hydrocortisone intravena untuk mengatasi stres fisik saat persalinan. Konsumsi rutin glukokortikoid dapat menekan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal dalam memproduksi kortisol. Proses operasi merupakan stres bagi tubuh yang memerlukan keberadaan kortisol. Dosis hidrokortison intravena adalah sebesar 50-100 mg setiap 8 jam.[14,17]
Pada masa pascapersalinan, perlu dipantau kemungkinan timbulnya aktivitas penyakit dan risiko trombosis. Dosis kortikosteroid dapat ditingkatkan hingga 2 kali dosis awal harian, hingga 2-3 hari pascapersalinan. Pasien LES yang mendapatkan terapi low molecular weight heparin (LMWH) selama kehamilan harus melanjutkannya hingga 6 minggu pascapersalinan dengan dosis sekali sehari. Bayi yang dilahirkan dari pasien LES perlu mendapatkan pengawasan khusus terkait kemungkinan adanya lupus neonatal.[14,18]
Kesimpulan
Perencanaan dan penanganan kehamilan yang cermat pada pasien lupus eritematosus sistemik (LES) dapat meningkatkan luaran ibu dan janin. Selama masa perencanaan dan masa kehamilan, penyesuaian jenis obat dan evaluasi klinis maupun laboratorium akan diperlukan.
Pasien mungkin memerlukan penghentian terapi beberapa agen yang bersifat teratogenik, seperti methotrexate dan siklofosfamid. Pemantauan kesejahteraan janin dan ibu diperlukan, termasuk pengawasan antenatal rutin serupa ibu non-lupus, disertai beberapa pengawasan tambahan seperti echocardiography untuk mendeteksi adanya congenital heart block. Kemudian, saat persalinan, sectio caesarea hanya dikerjakan jika ada indikasi, serta diperlukan pengawasan kejadian tromboemboli dan penyesuaian dosis kortikosteroid.