Pandemi yang disebabkan oleh penyebaran coronavirus disease 2019 (COVID-19) telah mengubah membentuk stigma seseorang terhadap orang lain, masyarakat, lingkungan, atau dirinya sendiri sehingga membutuhkan penanganan yang tepat. Beberapa pemberitaan, khususnya mengenai peningkatan jumlah infeksi, kematian, tidak adanya obat, tidak tersedianya fasilitas atau alat pelindung diri yang mencukupi turut mempengaruhi pandangan tersebut.[1-3]
Respons yang umum terjadi berupa ketakutan yang tinggi terjangkit penyakit, menjadi sumber penyebaran penyakit, dan berusaha menyelamatkan diri agar tidak terinfeksi. Adanya ketakutan terjangkitnya infeksi juga berperan dalam meningkatkan penghindaran akan penyakit tersebut dan meningkatkan perilaku hidup bersih seseorang (misalnya kegiatan mencuci tangan yang baik).[1-5]
Di sisi lain saat seseorang jelas mengalami gejala dari infeksi tersebut, beberapa dari mereka terdorong untuk menyembunyikannya dengan berbagai alasan. Perubahan pandangan yang bersifat negatif inilah yang disebut sebagai stigma. Dampak stigma terhadap penyakit menular merupakan halangan utama untuk menerapkan perilaku hidup sehat, meningkatkan kesulitan untuk mendapatkan pengobatan, mencetuskan masalah kesehatan yang lebih berat, meningkatkan transmisi penularan penyakit, dan meningkatkan kesulitan untuk mengontrol wabah suatu penyakit.[5-7]
Stigma dan Wabah Penyakit Menular
Pada saat terjadi wabah, orang yang tinggal di lokasi wabah perlu mengikuti beberapa petunjuk seperti: mengetahui status infeksi diri, menjalankan langkah pengobatan, melakukan langkah pencegahan penyebaran penyakit, maupun menjaga kesehatan agar tidak terinfeksi. Stigma yang timbul di masyarakat akan menurunkan kepatuhan untuk melakukan dan mengikuti petunjuk-petunjuk tersebut.[5-7]
Dampak Buruk Stigma terhadap Wabah Penyakit
Hal ini serupa dengan review yang dilakukan oleh Fischer et al. yang melihat dampak stigma terhadap infeksi HIV/AIDS. Timbulnya stigma akan memberikan dampak buruk berupa ketidakpatuhan terhadap petunjuk-petunjuk diatas. Ketidakpatuhan dapat ditandai dengan menolak melakukan pemeriksaan terhadap penyakit infeksi dan tidak patuh terhadap pengobatan. Selain itu, timbul dampak lainnya seperti tingginya tingkat depresi, ansietas, cemas berlebih, mekanisme pertahanan menghindar, serta ide bunuh diri.[6] Kondisi yang sama juga terjadi pada infeksi Tuberkulosis. Stigma menyebabkan rendahnya pengetesan infeksi Tuberkulosis, perilaku mencari pengobatan, kepatuhan berobat serta kesulitan melakukan penyelidikan orang-orang yang kontak dengan penderita.[7]
Efek Stigma terhadap Wabah Penyakit
Pelabelan stigma dapat terjadi pada pasien yang terinfeksi, caregiver, keluarga dan kerabat pasien, komunitas pasien, maupun tenaga yang terpapar langsung dengan pasien.[2]
Efek dari stigma menyebabkan individu tersebut dikenal/dilabel sebagai pemilik infeksi, karakteristik penyakit, atau atribut devaluasi lainnya.[5] Bukti dari hal ini adalah menunjuk Coronavirus disease 2019 (COVID-19) sebagai penyakit yang berasal dari bangsa Tiongkok. Stigma juga dapat berasal dari dalam diri orang yang mengalami atau berhasil selamat dari suatu infeksi. Orang yang mengalami stigma akan melihat diri mereka sebagai golongan inferior, tidak berharga, dan membenci diri mereka karena status dari penyakit yang dideritanya.[2,5]
Penanganan Stigma pada Wabah Penyakit
Sebuah meta analisis terhadap 42 penelitian tentang efektivitas program peningkatan wawasan pada sekelompok orang untuk menurunkan respons negatif terhadap pasien dengan HIV, menunjukkan hasil perbaikkan yang cenderung rendah. Hal ini menunjukkan perlu dilakukan program reduksi stigma yang multidimensional agar mencapai hasil yang lebih tinggi, terutama dalam mengatasi kasus-kasus bersifat pandemi.[8] Program reduksi stigma mencangkup peran penting berbagai pihak terutama pemerintah, penyedia layanan kesehatan, masyarakat maupun media.[4,5,8-10] Adapun strategi penanganannya terdiri dari:
Mengantisipasi Munculnya Stigma
Stigma yang terjadi selama wabah berkaitan dengan individu yang berpotensial terekspos terhadap infeksi tersebut. Populasi tersebut antara lain individu yang datang dari negara yang terjangkit, tenaga medis di fasilitas kasus terinfeksi, rekan kerja di rumah sakit terinfeksi, keluarga yang terinfeksi, atau lingkungan (pekerjaan, tempat tinggal, atau lingkungan aktivitas) terinfeksi.[2,4,5]
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi stigma tersebut, antara lain:
- Memaklumi perasaan yang dirasakan oleh populasi tersebut dan pemberian dukungan dari orang terdekat atau lingkungan sekitar
- Pemerintah dapat memberikan gelar pahlawan bagi tenaga kesehatan atau pasien yang berhasil sembuh
- Pembinaan ketahanan diri dan pemahaman orang tersebut dan komunitasnya sehingga dapat menghadapi perbedaan yang terjadi[3,4,11,12]
Memeriksa Pemahaman dan Ketidakpahaman terhadap Penyakit
Stigma dapat terbentuk akibat pemahaman ataupun kepercayaan yang salah terkait informasi mengenai penyakit, sehingga saat terjadi suatu pandemik perlu mengenali pemahaman masyarakat mengenai penyakit tersebut. Pemeriksaan pemahaman akan pandemi dapat dilakukan oleh pemimpin komunitas maupun klinisi. Sementara untuk menilai terjadinya peningkatan stigma di masyarakat dapat dilakukan melalui survei oleh media, pertemuan komunitas, fokus grup untuk mendapatkan informasi langsung mengenai hambatan, peluang, dan kemungkinan konflik yang terjadi.[4,5,9,11]
Informasi media resmi dari pemerintah atau lembaga kesehatan resmi akan membantu memberikan informasi yang terpercaya dan membantu pemahaman tentang penyakit yang terjadi. Anjuran bagi individu melakukan penyaringan tentang isi media sosial dan melakukan konfirmasi ke situs kesehatan resmi juga dapat berfungsi untuk mengurangi pemahaman yang salah.[5,11,13]
Kerjasama dengan Pimpinan dan Komunitas
Pimpinan dan Komunitas yang dihormati dapat memberikan pandangan untuk menurunkan stigma terhadap kelompok tertentu, meningkatkan promosi kesehatan masyarakat ataupun sarana menyebarkan informasi yang dapat mempengaruhi suatu komunitas. Hal ini berkaitan dengan kemampuan pemimpin atau komunitas tersebut untuk menentukan metode dan pesan yang sesuai bagi kebutuhan komunitasnya.[5]
Pesan Publik dan Kampanye Masyarakat
Pemberitaan yang sifatnya disebarkan secara terus-menerus terbukti dapat meningkatkan terjadinya perubahan keyakinan dan perilaku yang sesuai dengan isi dari pesan tersebut.[14] Hal ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan pesan publik yang informatif dan secara langsung melawan stigmatisasi di kalangan tertentu. Penyebaran pesan dapat diberikan melalui kampanye publik dan kampanye pimpinan komunitas atau para ahli. Penyesuaian isi pesan dan intervensi dengan populasi spesifik (tenaga kesehatan, anak-anak, masyarakat awam, lansia, atau kelompok lain) diperlukan karena stigma dapat terjadi kelompok yang beragam.[5]
Program Edukasi
Edukasi yang lebih intensif diperlukan untuk melawan terbentuknya stigma, hal ini disebabkan karena kampanye informasi oleh sumber terpercaya atau pimpinan komunitas saja tidak cukup. Intervensi ini perlu diberikan secara singkat dan dapat terintegrasi dengan layanan konseling, terkait terbatasnya waktu menghadapi pandemi yang terjadi.[5] Sebagai contoh intervensi program reduksi stigma terhadap orang dengan HIV secara singkat dapat dapat dilakukan untuk tenaga kesehatan bervariasi antara 1 hari (sesi selama 50 menit) atau 2 hari (sesi selama 90 menit).[15] Sementara intervensi yang lebih mendalam terdiri dari pelatihan selama 4 hari diperlukan untuk penggerak masyarakat, mengadakan lokakarya, atau pemimpin kelompok pendukung.[16] Beberapa kasus mungkin akan memerlukan pelatihan yang lebih ekstensif.[5]
Program edukasi juga dapat meningkatkan kesempatan bagi kelompok yang terinfeksi untuk dapat berinteraksi dengan kelompok yang sehat disertai dengan intervensi berbasis informasi bermanfaat untuk menurunkan stigma. Intervensi ini mencangkup wawancara perorangan dan testimoni oleh penderita. Intervensi pengembangan keterampilan yang dapat dilakukan berupa mengatasi perilaku negatif, meningkatkan strategi koping, maupun terlibat dalam kelompok dukungan bagi orang yang distigma.[5]
Evaluasi Langkah Reduksi Stigma
Respons dari berbagai intervensi reduksi stigma di masa wabah perlu dikaji agar terjadi peningkatan efektivitas. Adapun evaluasi yang dilakukan mencangkup tujuan program dan penilaian objektif terkait intervensi reduksi stigma. Umpan balik diberikan oleh kelompok pemberi maupun penerima intervensi. Penilaian mencangkup tidak hanya mengenai efektivitas intervensi tetapi penilaian pemberian informasi pada kelompok yang tepat, hambatan yang dialami, bukti keberhasilan, serta penilaian penambahan (informasi maupun sumber daya) yang diperlukan.[5]
Kesimpulan
Stigma akan wabah penyakit COVID-19 meningkatkan ketidakpatuhan terhadap langkah pengobatan, tindakan mencari pengobatan, strategi penurunan transmisi dan meningkatkan risiko kegagalan tindakan pengontrolan infeksi.[5-7]
Langkah penanganan stigma merupakan langkah multidimensional yang dilakukan oleh segala pihak mulai dari pemerintah, penyedia layanan kesehatan, media, hingga masyarakat.[4,5,8-10]
Strategi penanganannya sendiri terdiri dari mengantisipasi munculnya stigma, asesmen terhadap pemahaman masyarakat terkait penyakit, kerjasama dengan pemimpin atau pemangku kebijakan, meningkatkan penyebaran informasi untuk melawan stigma, melakukan program edukasi reduksi stigma, dan melakukan evaluasi langkah reduksi stigma yang telah dilakukan.[5]