Adanya penyakit fisik komorbid bisa mempengaruhi efikasi dan tingkat keamanan dari antidepresan. Meski sekitar seperenam hingga sepertiga pasien yang mengonsumsi antidepresan memiliki komorbiditas penyakit fisik, penelitian mengenai efikasi dan keamanan antidepresan pada populasi ini sangat jarang dilakukan. Hal ini karena sebagian besar uji klinis mengeksklusi pasien dengan komorbid penyakit fisik.[1,2]
Kaitan Depresi dan Penyakit Fisik
Depresi merupakan salah satu gangguan mental yang banyak ditemukan pada pasien dengan penyakit fisik. Pasien dengan penyakit fisik kronis, 3 kali lebih berisiko mengalami depresi. Depresi juga bisa memperburuk kondisi penyakit fisik komorbid, dan sebaliknya, pasien-pasien depresi juga berisiko mengalami penyakit fisik.[2,3]
Depresi telah dilaporkan berhubungan erat dengan berbagai penyakit fisik, terutama kanker dan penyakit kronis seperti diabetes, arthritis, hipertensi, stroke, dan penyakit ginjal kronis. Komorbiditas depresi dan penyakit fisik secara signifikan menurunkan status kesehatan dan menimbulkan disabilitas fungsional. Depresi juga menurunkan angka kepatuhan minum obat pada pasien dengan penyakit fisik.[3,4]
Efikasi Penggunaan Antidepresan pada Pasien dengan Komorbid Penyakit Fisik
Sebuah meta analisis terhadap 26 studi melaporkan penggunaan antidepresan pada pasien dengan penyakit vaskular, diabetes mellitus, dan arthritis. Studi ini menemukan bahwa antidepresan efektif dalam menurunkan gejala-gejala depresi pada pasien dengan ataupun tanpa komorbid penyakit fisik, meskipun tingkat penurunan gejala depresi yang paling besar adalah pada pasien tanpa komorbid penyakit fisik.
Selain itu, dalam meta analisis ini juga ditemukan bahwa adanya komorbid penyakit fisik memperpanjang waktu yang diperlukan untuk mencapai remisi. Antidepresan yang dilaporkan dalam meta analisis ini adalah citalopram, sertraline, bupropion, venlafaxine, mirtazapine, nortriptyline, tranylcypromine, dan duloxetine.[2]
Hasil serupa dilaporkan dalam suatu tinjauan payung dan meta analisis. Tinjauan ini melaporkan bahwa adanya penyakit komorbid tidak mempengaruhi efikasi dan keamanan antidepresan. Penyakit komorbid yang ada dalam tinjauan ini mencakup infark miokard, penyakit arteri koroner, cedera otak traumatik, dan nyeri punggung bawah.[1]
Keamanan Penggunaan Antidepresan pada Pasien dengan Komorbid Penyakit Fisik
Komorbid penyakit fisik bisa mempengaruhi respon terhadap antidepresan lewat proses patologis akibat penyakitnya sendiri atau akibat interaksi dengan obat-obatan yang dikonsumsi untuk penyakit tersebut. Pasien dengan penyakit fisik kronis biasanya mendapatkan terapi polifarmasi sehingga memiliki risiko interaksi obat lebih tinggi atau mempunyai kontraindikasi terhadap antidepresan.[2,5]
Risiko Interaksi Obat
Obat antidepresan yang merupakan inhibitor poten enzim CYP2D6, misalnya paroxetine dan fluoxetine, bisa meningkatkan efek obat-obat yang dimetabolisme oleh enzim yang sama. Obat-obat antidepresan ini dapat menimbulkan efek bradikardia berlebihan bila dikombinasikan dengan penyekat beta seperti propranolol dan metoprolol.[5,6]
Obat-obat antidepresan yang menghambat enzim CYP2C9, misalnya sertraline dan fluvoxamine, berisiko menimbulkan hipoglikemia bila digunakan bersama dengan obat antidiabetik sulfonilurea seperti glibenclamide dan glimepiride. Obat antidepresan golongan serotonin and norepinephrine reuptake inhibitors (SNRI) merupakan alternatif yang lebih aman pada pasien dengan diabetes.[5,7]
Obat-obat antidepresan yang merupakan inhibitor untuk enzim CYP3A4, misalnya fluoxetine, sertraline, fluvoxamine, dan paroxetine, juga berpotensi meningkatkan efek obat opioid.[5]
Adanya Kontraindikasi Penggunaan
Obat-obat antidepresan yang merupakan inhibitor untuk enzim CYP3A4 sebaiknya tidak digunakan bersama dengan obat-obat antithrombin baru, seperti rivaroxaban dan apixaban, karena peningkatan risiko perdarahan.
Selain itu, antidepresan juga dapat dikontraindikasikan pada pasien dengan glaukoma sudut tertutup karena dapat meningkatkan tekanan mata; gangguan jantung berat, seperti gagal jantung, karena dapat memperburuk kondisi jantung; serta gangguan hati yang parah, karena antidepresan dapat memengaruhi fungsi hati.[2,3,5]
Peningkatan Risiko Efek Samping
Obat antidepresan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI), seperti fluoxetine dan sertraline, adalah antidepresan yang paling luas digunakan. Penggunaan obat golongan SSRI bersama obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) akan meningkatkan risiko efek samping perdarahan saluran gastrointestinal atas. Penggunaan SSRI juga berhubungan dengan peningkatan risiko perdarahan pada pasien postpartum, perioperatif, dan pasien dengan gangguan hepar.[8,9]
Beberapa antidepresan juga bisa menurunkan ambang batas kejang dan meningkatkan risiko serangan kejang. Antidepresan dengan risiko kejang paling besar adalah bupropion dan antidepresan golongan trisiklik seperti amitriptyline, sehingga penggunaannya sebaiknya dihindari pada pasien dengan epilepsi atau dengan risiko kejang.[5,10]
Obat-obat golongan triptan mempunyai afinitas dengan reseptor serotonin 5HT1 sehingga akan meningkatkan risiko efek samping sindrom serotonin bila digunakan secara bersama-sama dengan obat antidepresan. Hal yang sama juga dilaporkan untuk penggunaan antidepresan bersama dengan opioid, khususnya tramadol, untuk penanganan nyeri kronis.[5]
Kesimpulan
Berbagai studi menunjukkan bahwa antidepresan tetap efektif dalam menurunkan gejala-gejala depresi pada pasien dengan komorbiditas penyakit fisik, meskipun responnya lebih rendah bila dibandingkan dengan pasien tanpa penyakit fisik. Meski demikian, perlu diperhatikan bahwa terdapat risiko timbulnya interaksi obat, adanya kontraindikasi penggunaan, dan peningkatan risiko efek samping bila antidepresan digunakan pada pasien dengan komorbid penyakit fisik atau bersamaan dengan berbagai obat untuk penanganan penyakit kronis. Oleh sebab itu, penting untuk mengevaluasi potensi interaksi obat sebelum meresepkan antidepresan pada pasien dengan penyakit komorbid.