Penggunaan Insulin Icodec Sekali Seminggu vs Insulin Degludec Sekali Sehari – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr. Hendra Gunawan SpPD

Once-Weekly Insulin Icodec vs Once-Daily Insulin Degludec in Adults With Insulin-Naive Type 2 Diabetes: The ONWARDS 3 Randomized Clinical Trial

Lingvay I, et al. JAMA. 2023; 330(3):228-237. doi: 10.1001/jama.2023.11313.

studiberkelas

Abstrak

Latar Belakang: Penggunaan insulin icodec sekali seminggu dapat memberikan alternatif dosis yang lebih sederhana untuk memenuhi kebutuhan insulin basal pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2.

Tujuan: Mengevaluasi efikasi dan keamanan dari insulin icodec sekali seminggu dibandingkan insulin degludec sekali sehari pada pasien diabetes mellitus tipe 2 yang belum pernah mendapatkan terapi insulin.

Metode Penelitian: Uji klinis randomisasi, penyamaran ganda, dengan analisis non-inferiority dan treat-to-target fase 3a dilakukan pada Maret 2021 hingga Juni 2022 pada 92 tempat, 11 negara, dengan subjek pasien dewasa diabetes tipe 2 yang mendapat terapi penurun gula darah non-insulin dengan HbA1c 7-11%. Subjek secara acak dimasukkan dalam kelompok 1:1 untuk mendapat icodec sekali seminggu dan plasebo sekali sehari (n=294) atau degludec sekali sehari dan plasebo sekali seminggu (n=294).

Luaran primer penelitian adalah perubahan HBA1c dari kondisi awal hingga minggu ke-26 (margin non-inferiority 0.3%). Luaran sekunder adalah perubahan glukosa darah puasa dari awal pemberian hingga minggu ke-26, dengan rerata dosis insulin mingguan selama 2 minggu terakhir, perubahan berat badan dari awal pemberian hingga minggu ke-26, dan kejadian hipoglikemia level 2 (<54 mg/dL), maupun level 3 (hipoglikemia berat).

Hasil: Dari 588 subjek yang dirandomisasi (rerata usia 58±10 tahun; 37% perempuan), ada 564 (96%) menyelesaikan penelitian. Rerata HbA1c mengalami penurunan dari 8,6% menjadi 7,0% dalam 26 minggu pada kelompok icodec dan 8,5% menjadi 7,2% pada kelompok degludec (estimated treatment difference/ETD -0,2), mengonfirmasi adanya non-inferiority dan superiority (p=0.002).

Tidak ada perbedaan signifikan antara icodec dan degludec untuk glukosa darah puasa dari awal penelitian hingga minggu ke-26 (ETD 0 mg/dL), rerata dosis insulin dalam 2 minggu terakhir tata laksana, atau perubahan berat badan dari awal penelitian hingga minggu ke-26 (2,8 kg vs 2,3 kg; ETD 0,46).

Kombinasi hipoglikemia level 2 atau 3 secara numerik lebih tinggi pada kelompok icodec dibandingkan kelompok degludec dari awal penelitian hingga minggu ke-31 (0,31 vs 0,15 events per patient-year exposure) dan secara statistik lebih tinggi pada kelompok icodec dari awal penelitian hingga minggu ke-26 (0,35 vs 0,12 events per patient-year exposure).

Kesimpulan: Pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 yang belum pernah mendapatkan terapi insulin, pemberian insulin icodec seminggu sekali memiliki superioritas penurunan HbA1c dibandingkan insulin degludec setelah 26 minggu pengobatan, serta tidak ada perbedaan berat badan, dan angka kejadian lebih tinggi untuk hipoglikemia level 2 atau level 3 dalam konteks kurang dari 1 event per patient-year exposure pada kedua kelompok.

InsulinIcodecDegludec

Ulasan Alomedika

Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) merupakan suatu penyakit kronis progresif yang dalam perkembangannya sering membutuhkan terapi insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darah secara optimal. Pemberian dosis insulin dapat dilakukan dengan insulin basal maupun insulin prandial. Namun, pada berbagai panduan, penggunaan insulin basal direkomendasikan menjadi lini pertama untuk pasien yang belum pernah menggunakan terapi insulin.

Hingga saat ini, penggunaan insulin basal yang digunakan adalah dosis sekali sehari, sehingga pada pasien yang mungkin pada hari itu mengalami penurunan asupan makanan, risiko hipoglikemia dapat terjadi. Selain itu, seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran, dimungkinkan penggunaan insulin sekali seminggu dengan icodec yang dapat memberikan alternatif kemudahan dan kepatuhan pada pasien oleh karena dapat menurunkan jumlah suntikan dari 365 kali/tahun menjadi 52 kali/tahun.

Ulasan Metode Penelitian

Uji klinis ini merupakan uji klinis dengan randomisasi, penyamaran ganda, plasebo ganda, terkontrol aktif. Kriteria inklusi pada pasien ini adalah pasien DMT2 yang belum pernah mendapatkan terapi insulin dan memiliki HbA1c 7,0-11,0%. Pada subjek dilakukan randomisasi dengan rasio 1:1 menggunakan perangkat lunak menjadi kelompok icodec atau kelompok degludec.

Dosis awal icodec yang digunakan adalah 70 U/minggu, sedangkan dosis degludec adalah 10 U/hari. Pengaturan dosis dilakukan secara mingguan menggunakan rerata glukosa darah sebelum makan pagi selama 3 kali pengukuran diukur mulai dari 2 hari sebelum titrasi dilakukan. Target glukosa darah puasa adalah 80-130 mg/dL dan dilakukan penambahan dosis 20 U untuk icodec atau 3 U/hari untuk degludec jika rerata glukosa darah puasa di atas target.

Luaran hasil penelitian ini adalah perubahan HbA1c dari minggu awal hingga minggu ke-26. Luaran sekunder dari penelitian ini adalah perubahan kadar glukosa puasa yang diukur dengan laboratorium dari awal penelitian hingga minggu ke-26. Selain itu, luaran lain yang diamati adalah adanya kejadian hipoglikemia level 2 atau level 3 secara nokturnal atau adanya kejadian hipoglikemia secara keseluruhan dari awal pengalamatan hingga minggu ke-26 untuk analisis keamanan.

Ulasan Hasil penelitian

Hasil studi melaporkan perubahan HbA1c pada kelompok icodec dari 8,6% menjadi 7% pada minggu ke-26 pengamatan, dan 8,5% menjadi 7,2% pada kelompok degludec, dengan ETD -0,2 yang menunjukkan superioritas icodec dibandingkan degludec. Jika ditinjau dengan target HbA1c 6,5%, subjek yang berhasil menurunkan HbA1c hingga <6,5% diamati lebih banyak pada kelompok icodec (31%) dibandingkan degludec (19,6%).

Perubahan kadar glukosa darah puasa dari awal penelitian hingga minggu ke-26 adalah setara antar kedua kelompok. Untuk penggunaan dosis insulin, rerata penggunaan dosis insulin mingguan dalam 2 minggu terakhir pengamatan adalah 204 U/minggu dengan icodec dibandingkan 187 U/minggu (27 U/hari) dengan degludec, tetapi tidak berbeda bermakna secara statistik. Perubahan berat badan dari awal penelitian hingga minggu ke-26 tidak berbeda bermakna antar kelompok.

Kejadian hipoglikemia dilaporkan lebih tinggi pada kelompok icodec (8,9%) dibandingkan degludec (5,8%). Namun, ditinjau dari keparahan hipoglikemia, kejadian hipoglikemia level 3 lebih banyak didapatkan pada kelompok degludec dibandingkan icodec. Untuk kejadian efek samping, diamati pada 60,4% subjek kelompok icodec dan 56,8% subjek kelompok degludec. Efek samping mencakup COVID-19, influenza, dan retinopati diabetik. Reaksi lokal pada area suntikan dilaporkan pada 8,5% kelompok icodec dan 4,4% kelompok degludec.

Kelebihan Penelitian

Desain uji klinis fase 3a yang terkontrol, double-masked, dan double-dummy meningkatkan kualitas bukti dengan mengurangi bias. Pengacakan yang dilakukan, serta pemilihan populasi penderita diabetes yang insulin-naive, memberikan generalisasi hasil yang lebih luas bagi pasien diabetes tipe 2 yang belum menerima terapi insulin basal.

Penggunaan HbA1c sebagai endpoint primer dan berbagai variabel pengukuran, seperti gula darah puasa dan kejadian hipoglikemia, juga memberikan basis bukti yang relevan untuk digunakan pada setting klinis.

Limitasi Penelitian

Salah satu kelemahan uji klinis ini adalah periode pemantauan yang relatif singkat, yaitu 26 minggu, yang mungkin kurang memadai untuk mengevaluasi efek jangka panjang dari terapi icodec. Selain itu, studi menunjukkan kejadian hipoglikemia level 2 lebih tinggi pada kelompok icodec dibandingkan degludec, yang perlu menjadi perhatian klinis dalam penggunaan terapi ini pada populasi rentan, terutama yang memiliki risiko hipoglikemia lebih tinggi.

Aplikasi Penelitian di Indonesia

Penelitian ini sangat menjanjikan karena penggunaan insulin icodec yang sekali seminggu tentu akan meningkatkan kenyamanan serta diharapkan meningkatkan adherence pasien dan luaran klinis keseluruhan. Meskipun masih diperlukan uji lebih lanjut terkait efikasi jangka panjang dan keamanannya, penelitian ini sangat menjanjikan untuk diterapkan secara klinis di Indonesia.

Referensi