Pentingnya deteksi dini pada retinopathy of prematurity (ROP) atau retinopati prematuritas pada bayi-bayi prematur dan berat lahir rendah perlu menjadi kesadaran di bidang kesehatan dunia, khususnya di Indonesia. Seiring perbaikan teknologi resusitasi dan perawatan neonatus, angka kesintasan kasus bayi lahir prematur dan berat lahir rendah meningkat. Namun di sisi lain, hal ini diiringi peningkatan risiko kejadian ROP.
Saat ini retinopathy of prematurity (ROP) telah menjadi salah satu penyebab utama kebutaan bilateral pada anak, yang sebenarnya dapat dicegah. Oleh karena itu, deteksi dini yang efisien menjadi krusial agar dapat segera dilakukan tata laksana. Penatalaksanaan dini sesuai panduan tenaga ahli akan meminimalkan atau menghindari gangguan penglihatan dan kebutaan pada anak.[1]
Sekilas tentang Patofisiologi Retinopathy of Prematurity (ROP)
ROP adalah penyakit progresif yang dapat menyebabkan penurunan penglihatan hingga kebutaan pada bayi prematur dengan berat lahir rendah. Patofisiologi gangguan penglihatan ini adalah karena adanya jaringan avaskular pada retina sehingga menimbulkan neovaskularisasi.[2]
Pertumbuhan retina intrauterin pada umumnya mengalami vaskularisasi lengkap pada usia kehamilan 36−40 minggu, dengan pola pertumbuhan berpusat di papil optik ke arah perifer. Pada bayi prematur, umumnya proses ini belum lengkap.[2]
Kondisi oksigen ekstrauterin yang relatif tinggi akan menghambat kerja growth factor dan menyebabkan penghentian proses vaskularisasi, bahkan terjadi neovaskularisasi yang rentan perdarahan. Kondisi ini akan berujung pada pembentukan jaringan fibrovaskular, dan akhirnya dapat terjadi traksi dan ablatio retina.[2]
Sekitar tahun 1940−1950, perawatan bayi prematur diberikan oksigen yang tinggi sehingga dicurigai menjadi faktor risiko terjadi dari ROP. Saat ini, pemberian oksigen untuk neonatus preterm dipertimbangkan hanya pada keadaan hipoksia. Apabila oksigen harus digunakan dalam jangka panjang, pengecekan tekanan oksigen dalam darah arteri perlu dilakukan secara berkala.[2]
Klasifikasi Retinopathy of Prematurity (ROP)
Klasifikasi ROP telah ditetapkan berdasarkan konsensus International Classification of Retinopathy of Prematurity (ICROP) revisi tahun 2005, yang dipakai hingga sekarang. ROP diklasifikasikan berdasarkan zona atau lokasi retina yang terlibat, luas retina yang terdampak dan dinyatakan dalam clock hour, stadium kerusakan retina, serta ada tidaknya pembuluh darah polus posterior yang mengalami dilatasi dan tortuosity (plus disease).[3]
Zona ROP dibagi menjadi tiga untuk klasifikasi lokasi gangguan retina secara anteroposterior. Stadium ROP dibagi menjadi lima berdasarkan respons vaskular yang abnormal pada perbatasan antara retina yang vaskular dan avaskular. Stadium 5 sudah terjadi ablatio retina total dan akan memberikan gambaran leukokoria.[3]
Kriteria Skrining ROP Berdasarkan American Academy of Pediatrics (AAP)
Skrining ROP dilakukan dengan oftalmoskopi indirek, setelah pupil mencapai dilatasi maksimal dengan tetes mata sikloplegik. Dokter yang direkomendasikan melakukan pemeriksaan adalah spesialis mata yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam mengenali lokasi dan gradasi ROP secara akurat.[5]
Sebanyak 90% kejadian ROP di Amerika bersifat ringan dan tidak membutuhkan pengobatan. Usia kehamilan dan berat badan lahir rendah merupakan dua faktor risiko utama ROP, sehingga program skrining ROP umumnya menggunakan kriteria berat bayi lahir dan kriteria usia gestasi. Faktor risiko utama lainnya adalah suplementasi oksigen di minggu awal kelahiran.[2,6,7]
Skrining ROP Berdasarkan Berat Bayi Lahir
Rekomendasi American Academy of Pediatrics (APP) revisi tahun 2018 adalah melakukan skrining ROP pada bayi dengan berat lahir <1500 gram. Skrining juga dilakukan pada bayi dengan berat lahir >1500 gram tetapi disertai kondisi berisiko ROP, seperti:
- Membutuhkan alat bantu hidup untuk jantung dan paru
- Mendapat terapi oksigen selama beberapa hari
- Mendapat terapi oksigen tanpa monitoring yang jelas[5]
Skrining ROP Berdasarkan Usia Kehamilan Saat Lahir
American Academy of Pediatrics revisi tahun 2018 merekomendasikan skrining ROP pada bayi yang lahir pada usia kehamilan <30 minggu, atau pada usia kehamilan >30 minggu tetapi dengan kondisi penyerta berisiko ROP seperti di atas.[5]
Pengukuran usia bayi untuk skrining ROP sebaiknya dilakukan berdasarkan post menstrual age (PMA), yaitu usia kehamilan ditambah usia kronologis. Usia kehamilan adalah waktu antara hari pertama haid terakhir (HPHT) hingga hari kelahiran, sedangkan usia kronologis adalah waktu setelah kelahiran.[5]
Tabel 1 menunjukkan rekomendasi usia bayi untuk dilakukan pemeriksaan ROP pertama kali, yang bertujuan sebagai deteksi dini sebelum ROP menjadi tahap lanjut dan menjadi ablasio retina. Di sisi lain juga untuk meminimalkan potensi trauma dari pemeriksaan.[5]
Tabel 1. Rekomendasi Waktu untuk Skrining ROP Pertama Kali
Pada bayi yang lahir di bawah usia kehamilan 25 minggu, perlu dipertimbangkan untuk skrining lebih cepat tetapi melihat juga keparahan komorbiditas yang ada. Sedangkan pada bayi usia 3 bulan juga perlu dilakukan skrining ROP jika memiliki risiko, yaitu gangguan penglihatan seperti sulit memfiksasi dan mengikuti objek, serta riwayat keluarga seperti katarak kongenital, retinoblastoma, strabismus, dan penyakit metabolik.[7]
Pemeriksaan Ulang Risiko ROP
Rekomendasi pemeriksaan ulang (follow up) ROP tergantung hasil skrining dan sesuai dengan klasifikasi temuan retina menurut international classification of retinopathy of prematurity revisited (ICROP).[3,5]
Pemeriksaan ulang dapat dihentikan dengan kriteria:
- Vaskularisasi retina lengkap 360 derajat hingga mendekati ora serrata
- Vaskularisasi retina mencapai zona III tanpa riwayat ROP zona I atau II sebelumnya
Post menstrual age 45 minggu dan tidak ditemukan ROP zona I
- ROP sudah mengalami regresi[5]
Kriteria Skrining ROP Berdasarkan Postnatal Growth and Retinopathy of Prematurity (G-ROP)
Sekitar tahun 2010 muncul berbagai algoritma deteksi dini ROP yang berusaha untuk mempersempit kriteria sekaligus memperbesar sensitivitas skrining. Beberapa ilmuwan mendapati bahwa ternyata hanya sedikit persentase neonatus yang memerlukan terapi lanjutan pasca skrining jika berdasarkan rekomendasi AAP.[1,6,7]
Salah satu algoritma baru untuk mendeteksi ROP, yang telah divalidasi oleh studi Binenbaum et al di Amerika Utara, adalah kriteria G-ROP. Kriteria ini diklaim lebih sensitif (hingga 100%) dan spesifik daripada pedoman skrining ROP lainnya, terutama dalam mendiagnosis ROP stadium 1.[8,9]
Kriteria G-ROP menemukan adanya kaitan antara hasil pengukuran kenaikan berat badan bayi dengan prediksi terjadinya ROP. Pedoman G-ROP menggunakan 6 kriteria sebagai berikut:
- Berat badan lahir <1051 gram
- Usia kehamilan <28 minggu
- Kenaikan berat badan bayi <120 gram pada usia 10−19 hari, <180 gram pada usia 20−29 hari, atau <170 gram pada usia 30−39 hari
- Hidrosefalus
Jika salah satu saja kriteria di atas positif, maka bayi direkomendasikan untuk skrining ROP. Selain sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, kriteria G-ROP juga menurunkan jumlah bayi yang perlu menjalani skrining sebanyak 24,5%, dan menurunkan frekuensi pemeriksaan sebanyak 12,9%. Hal ini berdampak positif terhadap beban kesehatan negara dalam usaha dan pembiayaan skrining ROP.[8]
Namun, studi validasi ini baru bisa diaplikasikan di negara-negara dengan sistem perawatan neonatal yang maju. Sedangkan di negara berkembang dengan tingkat ekonomi lemah dan sedang, di mana kasus ROP masih banyak ditemukan pada bayi yang lebih besar, masih tetap disarankan menggunakan kriteria sebelumnya, yaitu kriteria AAP.[1,8]
Kriteria Skrining ROP di Indonesia
Penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2005−2010 menemukan 32 dari 269 bayi (11,9%) dengan berat lahir ≤ 2000 gram atau usia gestasi <37 minggu terdiagnosis ROP. Stadium ROP 3 ke atas ditemukan pada 13 dari 269 bayi (4,8%).[4]
Berdasarkan program kerja (Pokja) nasional untuk ROP pada tahun 2012, skrining ROP sebaiknya dilakukan pada bayi dengan berat lahir <1500 gram, atau usia kehamilan <34 minggu. Skrining juga direkomendasikan pada bayi dengan risiko tinggi, seperti:
- Mendapatkan terapi oksigen dengan fraksi yang tinggi
- Mengidap gangguan jantung bawaan, sepsis, gangguan pertumbuhan dalam rahim, gangguan pernafasan, atau perdarahan intrakranial[4]
Kesimpulan
Retinopathy of prematurity (ROP) adalah penyebab gangguan penglihatan hingga kebutaan yang terjadi pada bayi-bayi prematur dengan berat lahir rendah. Angka kejadian ROP dipercaya makin meningkat seiring dengan perkembangan teknologi resusitasi dan kesintasan neonatus preterm. Semakin rendah usia kehamilan dan berat badan lahir bayi, semakin tinggi risiko kejadian ROP. Selain itu, risiko ROP juga meningkat pada bayi yang mendapatkan terapi oksigen dengan fraksi yang tinggi.
Skrining awal atau deteksi dini ROP berdasarkan rekomendasi American Academy of Pediatrics revisi tahun 2018 adalah pada bayi dengan berat lahir <1500 gram atau usia kehamilan <30 minggu, dan/atau memiliki gangguan klinis tertentu. Namun di Indonesia, titik cut-off berbeda yaitu pada bayi dengan berat lahir <1500 gram atau usia kehamilan <34 minggu, dan/atau dengan gangguan klinis tertentu.
Waktu yang direkomendasikan untuk dilakukan pemeriksaan awal adalah berdasarkan post menstrual age (PMA). Pada bayi usia 3 bulan yang memiliki risiko ROP, skrining dilakukan bila dicurigai terdapat gangguan penglihatan. Deteksi dini ROP sangat penting untuk segera dilakukan tata laksana yang sesuai, sehingga diharapkan dapat menghentikan perjalanan penyakit dan menghindari gangguan penglihatan permanen.
Penulisan pertama oleh: dr. Nathania Sutisna