Peran dokter gigi dalam tahap post-mortem adalah mengaplikasikan ilmu odontologi forensik untuk memanfaatkan temuan dental demi kepentingan hukum. Hal ini berlaku untuk kasus individual maupun kasus massal. Odontologi forensik berperan penting dalam identifikasi korban suatu bencana massal, korban kecelakaan, serta korban yang tubuhnya sudah tidak dapat dikenali secara visual.[1,2]
Pemanfaatan gigi sebagai media identifikasi sangat dapat dipercaya karena struktur lengkung gigi, morfologi gigi, posisi gigi, restorasi, anatomi tulang di sekitar rongga mulut, dan morfologi sinus masing-masing individu hampir mustahil memiliki kesamaan 100%. Seperti sidik jari, sampel gigi bersifat sangat diskriminatif dan individualis antara satu orang dengan orang lainnya.[3,4]
Selain itu, gigi merupakan salah satu organ terkeras dalam struktur tubuh manusia, sehingga tahan terhadap berbagai keadaan seperti proses dekomposisi, paparan panas derajat tinggi (hingga 1600ᵒC), dan trauma.[3,4]
Gigi juga merupakan sumber identifikasi yang bisa cepat dianalisis, akurat, dan tidak membutuhkan biaya yang mahal. Untuk itu, peran dokter gigi dalam tahap post-mortem, terutama pada suatu bencana massal, menjadi sangat penting untuk bisa mendapatkan informasi sebanyak mungkin melalui identifikasi gigi dan mendukung autopsi.[5,6]
Identifikasi Dental
Identifikasi dental dibedakan menjadi dua, yaitu identifikasi komparatif dan deduktif. Identifikasi komparatif dilakukan bila ada informasi post-mortem (PM) dan ante-mortem (AM) yang sama-sama adekuat. Identifikasi ini dilakukan dengan membandingkan data post-mortem dan data ante-mortem dari targeted person secara langsung.[7,8]
Namun, sering kali data yang diperoleh dari fase PM maupun AM tidak cukup untuk melakukan identifikasi komparatif. Pada kondisi ini, langkah yang dapat dilakukan oleh dokter gigi adalah identifikasi deduktif yang biasa disebut sebagai dental profiling. Saat dental profiling, dokter gigi melakukan estimasi usia, jenis kelamin, ras, dan tinggi badan melalui pemeriksaan gigi, anatomi, dan fitur-fitur osteologi tengkorak.[9,10]
Selain itu, dokter gigi juga bisa mendapatkan informasi tentang kebiasaan selama hidup, pekerjaan, dan informasi lain yang menyebabkan perubahan anatomis dan perubahan struktural gigi geligi. Dental profiling membantu membatasi pencarian ke populasi yang lebih kecil, sehingga identifikasi lebih mudah dilakukan.[2,4,5,7]
Dalam identifikasi dental, ada beberapa metode yang dapat dimanfaatkan dokter gigi untuk memperoleh informasi sebanyak mungkin terkait korban, yaitu melalui analisis antropologi, rugoscopy, cheiloscopy, pemeriksaan radiologi, dan analisis DNA. Semua informasi tersebut lalu didokumentasikan dalam Pink Form (formulir post-mortem).[6,7]
Analisis Antropologi
Dengan analisis antropologi, dokter gigi dapat melihat variasi pertumbuhan dan perkembangan gigi yang dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor lingkungan, dan kondisi sistemik. Melalui analisis ini, dokter gigi bisa mendapatkan informasi tentang pekerjaan, kebiasaan, dan kondisi medis semasa hidup. Perubahan akibat paparan ketiga hal tersebut bisa bermanifestasi pada gigi sebagai abrasi, erosi, karies, hingga perubahan warna.[5,8]
Selain itu, perbedaan ras (berkaitan dengan genetik) dapat memberikan variasi bentuk gigi geligi. Contohnya, gigi incisivus yang shovel-shaped hanya ditemukan pada orang keturunan Asia, sedangkan tuberculum carabelli pada gigi molar yang jamak ditemukan pada orang keturunan Eropa.[10,11]
Rugoscopy
Rugoscopy adalah studi yang melihat pola grooves (alur) dan rugae palatal untuk identifikasi. Bentuk, jumlah, dan arah rugae palatina sering dikaitkan dengan dikotomi jenis kelamin. Namun, reliabilitas rugae palatina untuk menentukan jenis kelamin masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Karena perbedaan yang mencolok antar ras dan populasi serta variasi yang ekstrem dalam satu populasi, hasil pemeriksaan jenis kelamin sering menjadi false positive atau false negative.[1,2]
Saat ini, analisis rugoscopy umumnya hanya dilakukan untuk membedakan ras, sesuai dengan penelitian Thomas dan Kotz yang menyatakan bahwa bentuk dan arah rugae palatal dipengaruhi oleh faktor genetik dalam suatu ras tertentu.[1,4]
Cheiloscopy
Cheiloscopy sering disebut sebagai sidik bibir atau lip print. Metode ini mempelajari wrinkles (kerutan) dan grooves (alur) yang ada di zona transisi bibir, yaitu di area mukosa labial dan kulit bagian luar. Sidik bibir ini sangat individualistik. Seperti sidik jari, tidak ada dua orang yang memiliki sidik bibir sama persis 100%.[2,3]
Namun, ketersediaan data ante-mortem tentang sidik bibir sangat terbatas. Padahal, sidik bibir hanya bisa berguna jika ada data ante-mortem yang adekuat. Kendala lain juga dapat berupa tidak jelasnya wrinkles dan grooves yang ada di bibir. Jika tampilan wrinkles dan grooves tidak jelas, dokter gigi tetap akan kesulitan melakukan identifikasi meskipun data ante-mortem tersedia.[4,6]
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi dalam kedokteran gigi forensik sangat bermanfaat untuk proses identifikasi. Pada tahap post-mortem, dokter gigi perlu menguasai teknik penggunaan portable X-ray untuk mengambil foto radiografi gigi jenazah untuk identifikasi. Jika tidak ada portable X-ray, dokter gigi perlu mengetahui bagaimana cara mentransfer jenazah ke tempat pengambilan foto radiografi terdekat secara baik dan benar.[7,10]
Foto yang sering diambil dalam tahap post-mortem adalah foto radiografi periapikal, karena lebih mudah diaplikasikan dan lebih cepat daripada foto radiografi panoramik. Namun, jika perlu, foto radiografi panoramik juga tetap diambil.[1,11]
Melalui pemeriksaan radiologi, dokter gigi dapat melakukan identifikasi komparatif dan identifikasi deduktif secara sekaligus.[2,3]
Analisis DNA
Analisis DNA bisa dilakukan terhadap berbagai spesimen rongga mulut, seperti mukosa buccal, enamel, dentin, pulpa, hingga saliva. Dengan analisis DNA, keberhasilan identifikasi akan meningkat. Analisis DNA merupakan salah satu metode yang paling akurat. Namun, analisis DNA membutuhkan biaya yang tidak murah. Dalam bencana massal, tidak semua sampel dapat menjalani analisis DNA.[10,11]
Sebelum analisis DNA, lakukan identifikasi komparatif terlebih dahulu secara maksimal. Jika masih ada hal yang belum teridentifikasi, lakukan pencarian pada populasi yang sudah diperkecil, agar tidak terlalu banyak sampel perlu menjalani analisis DNA.[5,6]
Salah satu cara pembatasan populasi agar menjadi lebih kecil untuk analisis adalah dengan melakukan identifikasi deduktif atau dental profiling. Dengan mengelompokkan sampel sesuai usia, jenis kelamin, dan rasnya, sampel yang perlu dianalisis DNA-nya akan menjadi jauh lebih sedikit.[5,6]
Kesimpulan
Gigi merupakan salah satu sumber identifikasi primer selain sidik jari dan DNA. Oleh karena itu, penting bagi dokter gigi di Indonesia untuk mengetahui langkah-langkah identifikasi yang perlu dilakukan selama tahap post-mortem, terutama karena jumlah dokter gigi spesialis odontologi forensik di Indonesia masih terbatas.[5,7]
Selama tahap post-mortem, tugas utama dokter gigi adalah mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari sampel gigi korban. Informasi tersebut harus tertuang dalam Pink Form (formulir post-mortem). Analisis yang dapat dilakukan untuk memperoleh informasi dental adalah analisis antropologi, rugoscopy, cheiloscopy, pemeriksaan radiologi, dan analisis DNA.[10,11]