Ketamine versus ECT for Nonpsychotic Treatment-Resistant Major Depression
Anand A, Mathew SJ, Sanacora G, Murrough JW, Goes FS, Altinay M, et al. Ketamine versus ECT for Nonpsychotic Treatment-Resistant Major Depression. N Engl J Med. 2023;388:2315–25. DOI: 10.1056/NEJMoa2302399.[1]
Abstrak
Latar Belakang: Electroconvulsive therapy (ECT) dan ketamine intravena dosis sub anestesi, keduanya digunakan untuk terapi depresi mayor resisten obat, namun perbandingan efektivitas keduanya masih belum jelas.
Metode: Uji klinis non-inferioritas open label acak dilakukan pada pasien yang dirujuk ke klinik ECT karena depresi mayor resisten obat. Pasien depresi mayor resisten obat tanpa gejala psikosis direkrut dan dikelompokan menjadi grup penelitian ketamine atau ECT dengan rasio 1:1.
Dalam 3 minggu pertama fase terapi, pasien menerima ECT 3 kali dalam seminggu atau ketamine 0,5 mg/kg dalam 40 menit 2 kali dalam seminggu. Luaran primer pada penelitian ini adalah respon terhadap terapi, yang diukur dengan penurunan ≥ 50% dari baseline dengan skor 16-item Quick Inventory of Depressive Symptomatology–Self-Report. Skor dimulai dari 0 sampai 27, dengan skor yang lebih tinggi menunjukan depresi yang lebih berat. Margin non-inferioritas pada penelitian ini adalah 10 persen poin.
Luaran sekunder meliputi skor tes memori dan kualitas hidup penilaian mandiri. Setelah fase terapi awal, pasien yang mencapai respon dilakukan follow up dalam periode 6 bulan.
Hasil: Total 403 pasien mengikuti pengacakan pada 5 klinik. 200 pasien dipilih dan ditempatkan pada grup ketamine dan 203 pasien ke dalam grup ECT. Setelah 38 pasien tidak mengikuti uji klinis sebelum terapi dimulai, ketamine diberikan kepada 195 pasien dan ECT kepada 170 pasien.
Total 55,4% pasien pada grup ketamine dan 41,2% pasien pada grup ECT mencapai respon. Perbedaan 14,2% poin untuk non-inferioritas dari ketamine terhadap ECT. ECT terlihat berhubungan dengan recall memori setelah 3 minggu terapi dengan perbaikan saat follow up. Perbaikan dalam kualitas hidup ditemukan pada kedua grup penelitian. ECT dikaitkan dengan efek samping muskuloskeletal, sedangkan ketamine dikaitkan dengan disosiasi.
Kesimpulan: ketamine tidak inferior terhadap ECT sebagai terapi depresi mayor resisten terapi tanpa psikosis.
Ulasan Alomedika
Pada jurnal ini dilakukan penelitian yang membandingkan moda terapi ECT (electroconvulsive therapy) dengan ketamine pada pasien depresi mayor resisten obat tanpa gejala psikosis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan efikasi dan superioritas terapi ketamine dosis sub anestesi dengan ECT.
Ulasan Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian non-inferioritas prospektif, open-label, dan terandomisasi. Penelitian non-inferioritas dilakukan untuk menentukan tidak lebih buruknya suatu terapi baru dibandingkan terhadap terapi lama. Metode open label cocok untuk studi ini karena tidak memungkinkan untuk dilakukan studi double atau triple blinded karena kedua terapi sangat berbeda sehingga subjek akan mengetahui dengan sendirinya dalam kelompok mana mereka dikategorikan.
Partisipan:
Populasi yang masuk ke dalam penelitian ini adalah pasien dengan depresi mayor resisten obat tanpa gejala psikotik dengan batasan usia 21-75 tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi lima (DSM-5). Kriteria resisten obat dicapai jika pasien telah menerima dua percobaan antidepresan dengan hasil yang tidak mencapai remisi, dengan data didapat dari fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Intervensi:
Intervensi yang diberikan adalah ECT 3 kali dalam seminggu atau ketamine 0,5 mg/kg dalam 40 menit 2 kali dalam seminggu. Intervensi diberikan dalam 3 minggu pertama terapi pasien.
Luaran:
Luaran pada penelitian ini terdiri dari luaran primer dan luaran sekunder. Luaran primer berupa respon skor The Quick Inventory of Depressive Symptomatology–Self-report 16 (QIDS-SR-16) terhadap terapi, dimana penurunan skor 50% pada visitasi akhir terapi menjadi patokan.
Luaran sekunder pada penelitian ini didasarkan pada Montgomery–Åsberg Depression Rating Scale (MADRS), yaitu; penurunan minimal 50% dari MADRS. Pengukuran remisi berdasarkan QIDS-SR-16 (skor ≤5) dan MADRS (skor ≤ 10). Respon dan remisi berdasarkan Global Impression–Improvement (CGI-I) dan Patient Global Impression–Improvement (PGI-I).
Luaran sekunder lainnya adalah pengukuran kognisi pasien yang juga dilakukan sebagai salah satu perhatian peneliti apakah terapi ketamine juga memiliki potensi dalam menurunkan kognisi seperti yang dapat terjadi karena ECT. Skor-skor yang digunakan antara lain Global Self-Evaluation of Memory (GSE-My), the Squire Memory Complaint Questionnaire (SMCQ), the Hopkins Verbal Learning Test–Revised (HVLT-R).
Kualitas hidup pasien juga diukur untuk melihat dampak dari terapi terhadapnya dengan 16-item Quality-of-Life Scale. Selain itu, Clinician-Administered Dissociative States Scale (CADSS) juga dilakukan pada penelitian ini untuk melihat efek disosiatif yang dapat ditimbulkan oleh ketamine.
Ulasan Hasil Penelitian
Dari 403 subyek yang dilakukan randomisasi didapatkan populasi intention to treat sebesar 365 pasien, yakni 195 pada grup ketamine dan 170 pada grup ECT. Subjek populasi intention to treat diplot pada tabel sehingga pembaca penelitian ini bisa mengetahui profil subjek penelitian.
Aspek Efikasi:
Pada luaran utama tercapai skor QIDS-SR-16 yang diinginkan sebanyak 55,4% pada grup ketamine dan 41,2% pada grup ECT dengan perbedaan 14,2%, untuk non-inferioritas ketamine terhadap ECT. Hal ini menunjukan bahwa ketamine tidak inferior dibandingkan dengan ECT.
Analisis sensitivitas dilakukan pada populasi intention to treat konsisten dengan analisis sebelumnya dengan respon 55,4% dengan ketamine dan 41,6% dengan ECT dengan perbedaan 13,8%. Hasil dari analisis sensitivitas menunjukan hal yang konsisten sehingga dari kedua hasil ini disimpulkan secara lebih yakin ketamine tidak inferior terhadap ECT.
Respon berdasarkan skor MADRS terjadi pada 50,8% grup ketamine dan 41,4% pada grup ECT dengan perbedaan 9,3 persen; 95% CI, -0,9 sampai 19,4. Yang menunjukan konsistensi skor yang berbeda menunjukan pola yang sama yaitu ketamine tidak lebih inferior dibandingkan dengan ECT.
Dari analisis least-squares, skor QIDS-SR-16 dan MADRS menurun dibandingkan dengan baseline. Perbedaan skor QIDS-SR-16 akhir terapi dibandingkan dengan baseline adalah -9,0±0,4 pada grup ketamine dan -7,2±0,4 pada grup ECT. Pada skor MADRS perbedaan pada akhir terapi dibandingkan baseline adalah -15,3±0,7 pada grup ketamine dan -13,1±0,7 pada grup ECT. Hal ini menunjukkan bahwa skor depresi turun seiring berjalannya kedua terapi.
Remisi berdasarkan skor QIDS-SR-16 terjadi pada 32,3% pada grup ketamine dan 20% pada grup ECT. Begitu juga dengan skor MADRS 37,9% pada grup ketamine dan 21,8% pada grup ECT.
Rerata skor GSE-My pada akhir visitasi ditemukan lebih rendah pada grup ECT dibandingkan dengan grup ketamine dengan perbedaan 1,1 poin. Sehingga ECT lebih berdampak pada penurunan kognisi dibanding ketamine. Skor SMCQ pada akhir visitasi pada grup ketamine lebih rendah dengan perbedaan rerata 9 poin dibandingkan ECT. Namun pada skor HVLT-R tidak demikian, skor lebih tinggi pada grup ECT dibandingkan dengan grup ketamine. Hal ini menunjukan grup ECT lebih banyak mengalami gangguan kognisi dibandingkan ketamine.
Aspek Keamanan:
Kejadian efek samping ketika terapi dilaporkan pada 25,1% grup ketamine dan 32,4% grup ECT dengan efek samping sedang sampai berat. Gejala disosiatif didapatkan lebih tinggi pada grup ketamine, sedangkan gejala muskuloskeletal lebih besar pada grup ECT. Empat pasien pada grup ketamine dan 2 pasien pada grup ECT mengalami keinginan bunuh diri dan satu pasien pada grup ketamine terjadi percobaan bunuh diri.
Pada saat follow up, terjadi kasus relapse pada 19% grup ketamine dan 35,4% pada grup ECT dalam 1 bulan. Selanjutnya dilaporkan pada 25% grup ketamine dan 50,9% grup ECT pada 3 bulan, serta 34,5% dan 56,3% pada 6 bulan.
Kelebihan Penelitian
Penelitian ini, selain melihat luaran utama dalam menilai non-inferioritas ketamine terhadap ECT, juga melihat beberapa aspek lain pada pasien yang mengalami depresi. Salah satunya adalah efek samping yang dapat ditimbulkan oleh terapi termasuk penurunan fungsi kognisi dan efek disosiatif. Selain itu, efek samping lain yang tidak menjadi parameter utama juga dicatat dalam penelitian ini, seperti pikiran bunuh diri atau percobaan bunuh diri dan efek samping muskuloskeletal, sehingga dapat menjadi acuan peneliti selanjutnya melakukan studi.
Penggabungan beberapa skor dengan metode yang berbeda adalah keunggulan penelitian ini yang merupakan sebuah kompensasi kemungkinan bias yang disebabkan oleh metode studi open label. Selain melihat inferioritas, penelitian ini juga memantau seiring waktu perubahan-perubahan pada skor sehingga dapat membandingkan skor antar sesi, akhir sesi, dan ketika follow up. Relaps dan remisi juga diperhitungkan dalam penelitian ini.
Selain melihat parameter utama yang dapat dinilai oleh dokter, peneliti juga melihat dampaknya terhadap kehidupan pasien dengan menilai kualitas hidup pasien yang dibandingkan antara sebelum dan sesudah terapi juga di akhir follow up.
Limitasi Penelitian
Penelitian ini memiliki sampel yang lebih sedikit dan populasi yang terbatas pada depresi berat tidak bergejala psikosis. Berbeda dengan studi terdahulu yang memiliki sampel lebih besar dan juga melibatkan pasien dengan gejala psikosis. Potensi lain yang dapat dikembangkan adalah penelitian terhadap populasi orang tua, depresi bipolar, dan kasus rawat inap atau emergensi.
Pada penelitian ini juga terjadi beberapa grup ECT yang berubah menjadi grup bilateral dikarenakan efek yang ditimbulkan tidak adekuat. Hal ini menambah kesempatan bias atrisi.
Selain itu, penelitian ini merupakan penelitian open label sehingga memiliki hasil yang objektif seperti jumlah pasien rawat inap untuk perawatan depresi, kunjungan ke unit gawat darurat, kebutuhan peningkatan pengobatan antidepresan atau hasil objektif lainnya akan meningkatkan kekuatan penelitian. Skor yang dilaporkan sendiri bersifat subjektif dan dapat menjadi bias berdasarkan persepsi pengobatan dalam penelitian yang tidak bersifat blinded.
Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia
Penelitian ini sangat bisa diaplikasikan di Indonesia karena mengindikasikan bahwa ketamine non-inferior terhadap terapi ECT. Di Indonesia, pusat terapi ECT masih terbatas, sehingga ketamine akan dapat menjadi alternatif terapi bagi pasien depresi mayor berat tanpa gejala psikosis. Meski begitu, studi lanjutan dengan sampel lebih besar masih perlu dilakukan. Selain itu studi yang dilakukan juga perlu menggunakan luaran objektif dibandingkan hanya luaran subjektif.