Ketamine pada dosis subanestesi diduga memiliki efek antidepresan yang dapat digunakan dalam terapi depresi dengan ide atau percobaan bunuh diri. Depresi merupakan gangguan mental yang paling banyak ditemui dengan beban kesehatan yang besar. Hal ini terutama karena gejala-gejala depresi dapat menurunkan produktivitas, kualitas hidup, bahkan meningkatkan mortalitas. Modalitas terapi utama untuk depresi adalah antidepresan dan psikoterapi.[1,2] Antidepresan konvensional hanya bekerja pada sistem serotonergik dan noradrenergik, sehingga beberapa kasus depresi tidak berespon adekuat dengan pemberian antidepresan konvensional.[3]
Ketamine adalah antagonis non-kompetitif reseptor glutamat N-Methyl-D-aspartate (NMDA) yang telah digunakan sebagai obat anestesi sejak 50 tahun yang lalu.[4] Ketamine dan enansiomernya (esketamine) telah diajukan sebagai farmakoterapi untuk depresi dengan onset terapeutik yang lebih cepat dibandingkan antidepresan konvensional. Esketamine, enansiomer S dari ketamine, juga dilaporkan efektif digunakan pada pasien dengan depresi yang resisten terapi.[5,6]
Permasalahan dalam Tata Laksana Depresi Resisten Terapi
Depresi resisten terapi (treatment resistant depression) adalah istilah klinis yang digunakan untuk menggambarkan respon yang minimal setelah penggunaan dua atau lebih antidepresan pada dosis optimal dan rentang waktu yang cukup pada pasien dengan depresi berat. Depresi resisten terapi berhubungan dengan peningkatan risiko relaps, hospitalisasi, dan bunuh diri.[1–3]
Modalitas terapi yang digunakan pada kasus-kasus depresi resisten terapi adalah kombinasi antidepresan dengan antipsikotik atipikal, misalnya kombinasi olanzapine dan fluoxetine. Augmentasi juga bisa dilakukan dengan penambahan lithium atau antikonvulsan seperti carbamazepine. Namun, modalitas terapi ini mempunyai onset efek terapeutik yang lambat.
Pilihan modalitas terapi lainnya adalah dengan menggunakan terapi kejang listrik (electroconvulsive therapy-ECT) atau transcranial magnetic stimulation (TMS). Namun, keduanya membutuhkan fasilitas dan alat khusus, serta ketersediaanya masih sedikit.[1,3]
Keterbatasan Farmakoterapi untuk Depresi
Sebagian besar farmakoterapi yang digunakan untuk depresi dikembangkan berdasarkan hipotesis bahwa depresi disebabkan oleh penurunan kadar serotonin dan norepinefrin di celah sinaps. Oleh karenanya, kebanyakan obat antidepresan konvensional bekerja dengan meningkatkan kadar serotonin atau norepinefrin di celah sinaps. Kelemahan farmakoterapi konvensional untuk depresi adalah efikasi yang rendah dan onset efek terapeutik yang lambat. Perbaikan gejala setelah inisiasi antidepresan membutuhkan waktu sampai beberapa minggu. Hal ini menjadi masalah apabila pasien depresi mempunyai perilaku bunuh diri yang perlu segera diatasi.[1,2,7]
Sekitar sepertiga pasien dengan depresi tidak berespon terhadap pengobatan dengan antidepresan konvensional. Hanya sepertiga pasien yang mencapai remisi setelah 12 minggu terapi, dan sekitar 70% pasien mengalami remisi setelah 4 percobaan pemberian antidepresan.[1,6]
Penelitian menunjukkan bahwa pada depresi juga terjadi perubahan kadar dan eliminasi glutamat dan metabolitnya di area kortikolimbik otak. Hasil pemeriksaan neuroimaging dan histopatologi juga menunjukkan adanya perubahan morfologi dan fungsional di area tersebut.[2,4,8] Hal ini menunjukkan potensi obat-obat yang mempengaruhi neurotransmisi glutamat dalam manajemen depresi, salah satunya adalah ketamine. Lambat dan rendahnya efikasi antidepresan yang memanipulasi jaras monoamine menjadikan target jaras glutamatergik banyak diteliti potensinya sebagai antidepresan kerja cepat.[2,5,9]
Ketamine Sebagai Rapid Acting Antidepressant
Ketamine telah banyak diteliti sebagai antidepresan. Efek antidepresan dari ketamine relatif lebih cepat dibandingkan antidepresan konvensional. Efek antidepresan dari ketamine memiliki onset cepat dan bertahan sampai 2 bulan pasca pemberian pada pasien dengan depresi resisten terapi.[1,2] Selain gejala depresi, ketamine juga dilaporkan bisa menurunkan ide dan perilaku bunuh diri.[9]
Mekanisme Kerja Ketamine Sebagai Antidepresan
Enansiomer S dari ketamine (esketamine) dilaporkan menunjukkan efek terapeutik dalam 24 jam pasca pemberian.[6] Kecepatan respon antidepresan dari sediaan ketamine dilaporkan tidak berbeda dengan respon terapi setelah ECT.[9]
Reaksi yang lebih cepat ini berhubungan dengan kemampuan ketamine untuk menginduksi sinaptogenesis dengan cepat dan memulihkan atropi akibat stress kronis. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian pada tikus.[4] Ketamine mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor NMDA pada neuron GABAergik sehingga menyebabkan disinhibisi glutamat. Hal ini akan menyebabkan peningkatan glutamat dan aktivasi reseptor AMPA, yang selanjutnya menyebabkan potensiasi jaras BDNF dan mTOR1. Kedua jaras ini akan menyebabkan augmentasi plastisitas sinaps dan kekuatan sinaps.[2]
Dosis, Pemilihan Pasien, dan Potensi Risiko
Efek antidepresan dari ketamine ditemukan pada pasien dengan depresi resisten terapi maupun pada pasien depresi bipolar.[10] Ketamine dilaporkan bisa digunakan sebagai monoterapi, dalam kombinasi dengan antidepresan, atau sebagai premedikasi anestesi pra-ECT. Ketamine bisa diberikan secara intravena sebagai dosis tunggal 0,5 mg/kgBB dalam 40-45 menit.[9]
Meski begitu, penggunaan ketamine mempunyai risiko penyalahgunaan dan efek samping seperti gejala-gejala psikotomimetik, neurotoksisitas, gangguan kognitif, dan hipertensi. Hal ini menjadi pertimbangan bila ketamine akan digunakan untuk terapi rutin depresi.[1,10]
Esketamine intranasal telah disetujui di Amerika Serikat dan Eropa untuk digunakan sebagai modalitas terapi pada depresi yang resisten terhadap terapi. Esketamine adalah enansioner (S) dari ketamine.[4,6] Esketamine memiliki tolerabilitas yang lebih baik dibandingkan ketamine.[1,3]
Kesimpulan
Depresi merupakan gangguan mental yang banyak ditemukan. Modalitas terapi antidepresan yang tersedia saat ini mempunyai onset terapeutik yang lambat sehingga kurang sesuai digunakan pada kasus-kasus yang membutuhkan penanganan cepat, misalnya pasien depresi dengan bunuh diri. Selain itu, beberapa pasien juga tidak berespon terhadap terapi depresi konvensional.
Ketamine bisa bekerja sebagai antidepresan dengan onset yang lebih cepat dibandingkan antidepresan konvensional. Selain menurunkan gejala-gejala depresi dengan cepat, ketamine juga dengan cepat menekan ide dan perilaku bunuh diri. Sediaan ketamine yang sudah mendapatkan persetujuan untuk terapi depresi adalah enansiomer S ketamine, esketamine.