Pilihan metode skrining kanker prostat masih banyak diperdebatkan dalam bidang urologi. Beberapa pemeriksaan yang sering digunakan untuk skrining adalah colok dubur atau digital rectal examination, PSA atau prostate specific antigen, dan MRI. Pemeriksaan PSA masih sering menjadi pilihan pertama untuk skrining kanker prostat padahal pemeriksaan ini memiliki angka positif palsu dan negatif palsu yang tinggi.
National Comprehensive Cancer Network (NCCN) Amerika Serikat merekomendasikan skrining kanker prostat diawali dengan anamnesis yang mencakup riwayat keluarga (termasuk riwayat mutasi BRCA1/2), riwayat pengobatan, dan riwayat pemeriksaan prostat. Lalu, pemeriksaan berikutnya yang direkomendasikan adalah PSA dengan atau tanpa colok dubur.[1]
Berikut adalah rekomendasi skrining dari NCCN untuk pasien berusia 45–75 tahun:
- Pasien yang memiliki PSA <1 ng/mL dan hasil pemeriksaan colok dubur normal dapat menjalani pemeriksaan ulang dalam 2–4 tahun
- Pasien yang memiliki PSA 1–3 ng/mL dan hasil pemeriksaan colok dubur normal dapat menjalani pemeriksaan ulang dalam 1–2 tahun
- Pasien yang memiliki PSA >3 ng/mL atau hasil pemeriksaan colok dubur mencurigakan dapat dipertimbangkan untuk menjalani biopsi[1]
Untuk pasien yang berusia >75 tahun, biopsi dipertimbangkan bila PSA >3 ng/mL atau hasil pemeriksaan colok dubur mencurigakan. Bila pasien memiliki kadar PSA <3 ng/mL dan pemeriksaan colok dubur normal, dokter cukup melakukan pemeriksaan ulang tiap 1–4 tahun.[1]
Pemeriksaan Colok Dubur atau Digital Rectal Examination
Pemeriksaan colok dubur sering juga dikenal sebagai pemeriksaan rektum atau rectal touch (RT) atau digital rectal examination (DRE). Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi bentuk dan besar prostat dengan memasukkan jari pemeriksa ke dalam rektum pasien.
Pemeriksaan ini sering dianggap tidak nyaman dan dapat membuat orang tidak mau berkunjung ke klinik. Namun, pemeriksaan ini sederhana, tidak membutuhkan biaya yang tinggi, dan dapat dilakukan di fasilitas kesehatan primer oleh dokter umum.
Pemeriksaan colok dubur memiliki nilai prediksi yang lebih tinggi pada pria obesitas atau pria yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) tinggi daripada pria dengan IMT normal. Hal ini dikarenakan pria dengan kanker prostat dan IMT yang tinggi cenderung memiliki PSA yang rendah.[2]
Salah satu kelemahan pemeriksaan colok dubur adalah sifatnya yang subjektif atau tergantung pada pemeriksa. Di Kanada, hanya setengah dokter umum yang disurvei mengaku percaya diri dapat merasakan nodul prostat saat pemeriksaan rektum.
Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan colok dubur untuk skrining kanker prostat (yang dibuktikan dengan biopsi) adalah 51% dan 59%. Nilai ini cukup rendah, sehingga pemeriksaan colok dubur di fasilitas kesehatan primer tidak disarankan untuk tujuan skrining kanker prostat. Hal ini serupa dengan rekomendasi NCCN yang menyatakan bahwa pemeriksaan colok dubur tidak dilakukan sendirian, melainkan dilakukan sebagai pendukung setelah skrining dengan PSA.[1,3]
Pemeriksaan Prostate Specific Antigen atau PSA
PSA adalah glikoprotein yang secara spesifik diproduksi oleh prostat. Meskipun tidak spesifik diproduksi oleh sel-sel ganas, secara teori PSA yang diproduksi oleh jaringan ganas dapat mencapai 3 ng/mL di darah per gram jaringan ganas. Pada jaringan jinak seperti benign prostatic hyperplasia (BPH), nilainya 10 kali lebih kecil.[4]
Nilai PSA dapat menjadi alat yang baik untuk menandai proliferasi kelenjar prostat dan progresivitas kanker prostat. Namun, kemungkinan terjadinya hasil positif palsu dari pemeriksaan PSA dengan nilai batas (cut-off) 4,0 ng/mL bisa mencapai 11,3%. Angka ini juga meningkat seiring dengan turunnya nilai batas PSA.[4,5]
Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh benign prostatic hyperplasia (BPH), prostatitis, sistitis, ejakulasi, trauma perineum, atau penggunaan instrumen saluran kemih dalam waktu dekat. Selain itu, kondisi negatif palsu juga dapat terjadi pada hampir 15% pria dengan hasil PSA <4,0 ng/mL dan pemeriksaan rektum yang normal.[6]
Studi PLCO (Prostate, Lung, Colorectal and Ovarian) menunjukkan bahwa mortalitas akibat kanker prostat pada kelompok pasien yang menjalani skrining PSA rutin selama 6 tahun setiap tahunnya dan pemeriksaan rektum selama 4 tahun setiap tahunnya tidak berbeda bermakna bila dibandingkan dengan pasien kelompok kontrol.[7]
Nilai PSA banyak digunakan untuk skrining kanker prostat hingga tahun 2008, terutama pada pria berusia >50 tahun atau lebih muda bila ada faktor risiko kanker prostat. Akan tetapi, keuntungan klinisnya mulai dipertanyakan karena angka positif palsu yang tinggi.
Kecemasan berlebih dapat timbul akibat hasil yang positif palsu. Selain itu, hasil positif palsu juga dapat menyebabkan pasien menjalani biopsi yang sebenarnya tidak perlu (sekitar 1 dari 5 orang yang diperiksa PSA mengalami hal tersebut). Padahal, biopsi sendiri memiliki risiko komplikasi. Sebelum melakukan biopsi, dokter sebaiknya juga melakukan pemeriksaan lain, contohnya colok dubur dan/atau MRI.[8,9]
Magnetic Resonance Imaging atau MRI
Menurut rekomendasi NCCN, pemeriksaan MRI multiparametrik bukan merupakan metode skrining pertama melainkan merupakan metode yang dilakukan setelah PSA (dengan atau tanpa pemeriksaan colok dubur) untuk pasien yang dipertimbangkan akan menjalani biopsi.[1]
Suatu studi perdana yang membandingkan MRI dan PSA pernah menunjukkan potensi MRI untuk mendeteksi kanker. Pencitraan MRI dilaporkan lebih superior daripada PSA untuk mendeteksi kanker prostat di populasi umum. Namun, studi lebih lanjut mengenai efektivitas MRI sebagai skrining primer masih diperlukan karena studi ini merupakan pilot study dengan jumlah sampel yang kecil.[10]
Kendala lain untuk menjadikan MRI sebagai skrining pertama adalah pertimbangan biaya. Pemeriksaan MRI membutuhkan biaya yang jauh lebih besar daripada PSA dan pemeriksaan colok dubur. Cost and benefit MRI masih perlu diperhitungkan lebih lanjut, termasuk perhitungan biaya lanjutan seperti biaya biopsi.
Kesimpulan
Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat, Inggris, maupun Kanada tidak menyarankan skrining kanker prostat dilakukan secara rutin pada semua pria tanpa pertimbangan yang lebih selektif.
Namun, saat ini masih ada perdebatan mengenai kondisi yang memerlukan skrining dan interval skrining. Hal ini menyebabkan dokter perlu menentukan sendiri apakah pasiennya membutuhkan skrining atau tidak berdasarkan kondisi medis pasien, risiko hasil palsu skrining, dan preferensi pasien.
Skrining kanker prostat dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik berupa colok dubur, dan pemeriksaan penunjang seperti PSA dan MRI. Saat ini, PSA masih sering menjadi opsi skrining pertama. Namun, dokter perlu mengingat bahwa PSA memiliki angka positif palsu yang tinggi, sehingga bila dokter hanya mengandalkan PSA, dokter berpotensi menyebabkan dampak negatif akibat biopsi yang tidak perlu.
Di lain sisi, pemeriksaan colok dubur merupakan pemeriksaan yang sederhana tetapi bersifat subjektif (operator-dependent). Pemeriksaan ini tidak disarankan sebagai metode skrining tunggal karena sensitivitas dan spesifisitasnya rendah. Pemeriksaan ini dapat dilakukan sebagai penunjang hasil PSA.
Pemeriksaan MRI dilakukan apabila hasil PSA (dengan atau tanpa pemeriksaan colok dubur) dinilai perlu diinvestigasi lebih lanjut dengan biopsi. MRI multiparametrik dapat dilakukan sebelum biopsi dan dapat menurunkan angka biopsi yang tidak diperlukan.
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur