Identifikasi prediktor infark paru penting dilakukan karena faktor risiko keadaan ini sulit ditebak dan tidak konsisten dengan faktor risiko infark pembuluh darah pada umumnya. Faktor risiko untuk infark paru meliputi usia yang lebih muda, di mana merupakan usia produktif, dan tanpa adanya komorbid penyakit kardiopulmoner. Mortalitas infark paru tinggi, akibat komplikasi distress pernapasan maupun gangguan hemodinamik, sehingga perlu dicegah dan ditangani lebih dini.[1,2]
Infark Paru
Infark paru terjadi ketika terdapat sumbatan dari arteri pulmoner distal. Hal ini dapat menyebabkan iskemia dan nekrosis jaringan di sekitarnya hingga terjadi perdarahan. Infark paru umumnya terjadi karena penyakit primer lainnya seperti emboli paru.
Sirkulasi ganda pada paru–paru, yaitu sirkulasi pulmonal yang berfungsi dalam proses pertukaran gas, dan sirkulasi bronkial yang berfungsi mensuplai darah ke dinding bronkial, pleura dan parenkim paru. Sirkulasi ganda pada paru–paru ini membantu mencegah terjadinya iskemia pada paru. Walaupun demikian, obstruksi arteri pulmoner karena emboli paru akut tetap dapat menyebabkan infark paru.[1–4]
Prediktor dan Risiko Terjadinya Infark Paru
Studi prospektif oleh Miniati et al. pada 335 pasien yang terdiagnosis emboli paru akut melalui pemeriksaan computed tomography angiography (CTA), menunjukkan bahwa infark paru terjadi pada hampir sepertiga pasien dengan emboli paru akut.
Selain itu, pasien yang mengalami infark paru umumnya berusia muda dengan peak usia 40 tahun dan tergolong sehat tanpa komorbid, serta memiliki kebiasaan merokok yang aktif.
Merokok merupakan faktor risiko utama dari penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang menstimulasi terjadinya inflamasi, kemudian meningkatkan permeabilitas lapisan kapiler dan alveolus. Hal ini dapat menyebabkan penyempitan saluran nafas, dan meningkatkan risiko infark, termasuk infark paru.
Selanjutnya pada studi ini, frekuensi kejadian infark paru juga meningkat seiring dengan peningkatan tinggi badan, di mana kejadian terbanyak pada kelompok dengan tinggi badan 190 sampai ≤199 cm. Sedangkan faktor indeks massa tubuh (IMT) yang semakin tinggi yaitu BMI > 35 kg/m2 berhubungan dengan insiden infark paru yang lebih rendah.[2,5]
Studi ini menyimpulkan bahwa selain emboli paru akut, terdapat faktor lain yang berhubungan dengan peningkatan probabilitas infark paru. Infark paru juga sering terjadi pada pasien muda, sehat, memiliki tubuh yang tinggi dan aktif merokok.[2,5]
Regresi logistik dilakukan pada studi untuk faktor prediktif infark paru dilakukan terhadap usia, tinggi badan, IMT, dan riwayat merokok saat ini. Usia sampai dengan 40 tahun, peningkatan tinggi badan, dan riwayat merokok berhubungan dengan probabilitas infark paru yang lebih tinggi. Sedangkan IMT yang lebih tinggi berhubungan dengan faktor protektif infark paru.[5]
Hubungan Infark Paru dengan Usia Muda dan Penyakit Komorbid
Hubungan antara infark paru dengan usia muda dan penyakit komorbid kardiopulmoner hingga saat ini masih belum jelas. Studi–studi terbaru mengatakan pasien dengan usia muda tanpa komorbid penyakit kardiopulmoner memiliki risiko tinggi infark paru, karena sistem kolateral sirkulasi paru yang belum berkembang.[5–7]
Studi oleh Islam et al. menunjukkan pasien dengan usia yang lebih muda (≤20 tahun) tanpa penyakit komorbid kardiopulmoner memiliki risiko tertinggi untuk mengalami infark paru setelah emboli paru akut. Insidensi ini menurun seiring dengan bertambahnya usia.
Penurunan insidensi infark paru pada usia yang lebih tua ini dihubungkan oleh adanya sirkulasi kolateral bronkopulmoner karena penyakit kardiopulmoner kronik, di mana hal ini bisa memberikan efek protektif terhadap infark paru.
Selain itu, risiko yang lebih rendah untuk terjadinya infark paru juga bisa dikarenakan oleh adanya angiogenesis kolateral paru sebagai respon hipoksia kronik pada penyakit kardiopulmoner yang umum dimiliki oleh lansia.[5–7]
Angka Kejadian dan Mortalitas terkait Infark Paru
Data epidemiologi mengenai angka kejadian dan mortalitas infark paru masih terbatas. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Miniati, et al. dari 335 pasien yang mengalami emboli paru, sebanyak 105 pasien mengalami infark paru. Seluruh pasien yang mengalami infark paru berada pada kelompok usia produktif, yaitu 36–58 tahun.
Setelah dilakukan follow up, terjadi defek perfusi pada <11% pembuluh darah paru terjadi kembali pada 90% pasien infark paru. Defek perfusi diidentifikasi dengan lung scintigraphy. Follow up juga menemukan bahwa dari 105 pasien yang infark paru, sebanyak 29% memiliki lesi remnan dari infark paru, seperti obliterasi sudut costophrenicus atau skar linear.[5]
Sedangkan berdasarkan studi yang dilakukan oleh Chengsupanimit et al. 74 pasien yang mengalami infark paru berada pada kelompok usia 55±16 tahun. Setelah dilakukan perawatan di rumah sakit, 97% berhasil dipulangkan, sedangkan angka survival setelah 3 bulan menjadi 93% dan kembali menurun di bulan ke–6 menjadi 88%.[8]
Kesimpulan
Walaupun belum terdapat aturan baku mengenai prediktor pasti infark paru, beberapa studi menghubungkan prediktor infark paru dengan usia yang lebih muda dengan puncak 40 tahun, tinggi badan dan IMT yang normal atau lebih rendah, serta riwayat merokok. Beberapa studi menunjukkan bahwa infark paru lebih umum terjadi pada pasien dengan usia yang lebih muda, tanpa penyakit komorbid kardiopulmoner.
Penjelasan mengenai hubungan antara infark paru dengan usia muda dan tanpa komorbid kardiovaskuler hingga saat ini belum jelas. Akan tetapi, pada pasien dengan usia tua atau yang memiliki penyakit komorbid kardiopulmoner, cenderung berada pada kondisi hipoksia kronis yang mencetuskan adanya angiogenesis kolateral paru sehingga menjadi salah satu faktor yang mencegah terjadinya infark. Studi lebih lanjut diperlukan untuk identifikasi prediktor pasti infark paru.