Regimen Insulin Basal Praktis untuk Diabetes Mellitus Tipe 2

Oleh :
dr.Wendy Damar Aprilano

Inisiasi dan titrasi insulin basal untuk pasien diabetes mellitus tipe 2 sering terlambat dilakukan atau dilakukan secara suboptimal. Dari sisi pasien, hal ini dapat disebabkan oleh kekhawatiran terhadap efek samping atau persepsi bahwa penggunaan insulin bersifat rumit dan hanya untuk diabetes yang parah. Dari sisi tenaga medis, terutama di fasilitas kesehatan primer, persepsi bahwa regimen insulin bersifat rumit juga menjadi kendala.[1]

Keterlambatan inisiasi insulin saat diperlukan, metode titrasi insulin yang tidak efisien, dan "overbasalization" atau titrasi insulin basal berlebih akan mempersulit tercapainya kontrol glikemik yang aman. Oleh karena itu, diperlukan pedoman mengenai inisiasi dan titrasi insulin basal yang praktis untuk diabetes mellitus tipe 2.[1]

The,Diabetic,Patient,Hand,Using,The,Insulin,Pen,Injection,Medical

Target Kontrol Glikemik pada Diabetes Mellitus Tipe 2

American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan target A1C <7,0% untuk mayoritas orang dewasa yang tidak hamil dan <6,5% untuk pasien tertentu jika hal ini dapat dicapai tanpa hipoglikemia signifikan atau efek samping. Sementara itu, target A1C <8,0% ditujukan untuk pasien dengan riwayat hipoglikemia parah, harapan hidup terbatas, komplikasi mikro atau makrovaskular lanjut, komorbiditas lain yang signifikan, atau diabetes yang sudah berlangsung lama.[1-4]

Untuk membantu mencapai tujuan ini, kadar glukosa darah puasa (GDP) memiliki target 80–130 mg/dL atas rekomendasi beberapa Asosiasi Diabetes di Asia. Namun, hal ini mungkin bersifat individual untuk pasien tergantung pada faktor-faktor seperti durasi diabetes, usia, harapan hidup, dan kondisi komorbiditas.[1-4]

Inisiasi Insulin Basal yang Tepat Waktu pada Diabetes Mellitus Tipe 2

Insulin basal merupakan contoh insulin kerja panjang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan insulin basal metabolik tubuh (berperan untuk mengatur produksi glukosa di hepar). Inisiasi insulin umumnya dianjurkan untuk pasien diabetes mellitus tipe 2 yang tidak berhasil mencapai target glikemik setelah terapi dengan 2 obat hiperglikemia oral selama 2–3 bulan. Akan tetapi, ADA menganjurkan inisiasi insulin terlepas dari riwayat terapi diabetes jika ada:

  • Bukti kondisi katabolisme seperti penurunan berat badan
  • Gejala hiperglikemia
  • Kadar glukosa darah atau A1C sangat tinggi, misalnya glukosa darah ≥300 mg/dL atau A1C >10%[1,3,6]

Insulin basal merupakan formulasi insulin inisial yang dianjurkan bagi pasien diabetes mellitus tipe 2. Menurut PERKENI (Perhimpunan Endokrinologi Indonesia), perhitungan dosis awal tergantung pada berat badan, yaitu 0,1–0,2 unit/kg/hari atau 5–10 unit/hari, serta tergantung pada episode hiperglikemia.[2]

Menurut ADA, obat hiperglikemia oral dapat dilanjutkan setelah inisiasi insulin, kecuali bila ada kontraindikasi atau intoleransi. Pada pasien yang memiliki risiko hipoglikemia, hati-hati jika memakai obat yang berisiko hipoglikemia lebih tinggi misalnya sulfonilurea. Untuk pasien yang menggunakan insulin, obat dari golongan GLP-1 RA (glucagon-like peptide-1) dianjurkan sebagai kombinasi.[6]

Pemilihan Jenis Insulin Basal

Terapi insulin basal dapat dimulai dengan menggunakan human insulin maupun insulin analog. Keduanya memiliki efikasi yang serupa untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Dalam hal biaya, insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn) lebih ekonomis daripada insulin analog. Namun, insulin analog mempunyai fleksibilitas yang lebih baik dalam penggunaannya.[1-3]

Untuk mengatasi kekhawatiran pasien mengenai efek samping kenaikan berat badan, insulin basal kerja panjang seperti insulin glargine 100 unit/mL dan insulin detemir 100 unit/mL dilaporkan menghasilkan kenaikan berat badan lebih sedikit dan mengurangi risiko kejadian hipoglikemia dibandingkan formulasi basal yang lebih tua seperti insulin NPH. Hal ini diharapkan bisa mengurangi keengganan pasien memakai insulin, agar inisiasi insulin tidak tertunda.[1-3]

Insulin basal terbaru, yaitu insulin glargine 300 unit/mL dan insulin degludec 100 dan 200 unit/mL, bahkan memiliki profil farmakokinetik yang menunjukkan waktu paruh dan durasi kerja yang lebih panjang, serta profil kontrol glukosa yang sangat datar, yang dapat mengurangi risiko hipoglikemia. Insulin-insulin jenis inilah yang direkomendasikan oleh PERKENI untuk inisiasi insulin basal bagi pasien diabetes mellitus tipe 2.[1-3]

Pena insulin memungkinkan dosis terkontrol secara tepat dan jarum pada perangkat pena modern sangat pendek dan tipis, sehingga meminimalkan nyeri terkait injeksi. Edukasi dapat bermanfaat untuk mengurangi rasa takut pasien terkait nyeri injeksi.[1]

Titrasi Insulin Basal pada Diabetes Mellitus Tipe 2

Titrasi atau penyesuaian dosis (optimisasi) merupakan langkah kedua setelah inisiasi. Setelah memberikan dosis inisiasi 10 unit/hari atau 0.2 mg/kg/hari, ADA menganjurkan kenaikan dosis 5–15% (1–4 unit) yang dilakukan 1–2 kali per minggu. Dosis maksimal adalah 0.5 mg/kg/hari, dengan target GDP 80–130 mg/dL.[1,3]

Frekuensi titrasi disesuaikan dengan jenis insulin basal dan kondisi tiap pasien. Titrasi dilakukan setiap 2–3 hari untuk insulin glargine 100 unit/mL dan detemir 100 unit/mL. Namun, formula insulin kerja panjang yang lebih baru, misalnya insulin glargine 300 unit/mL dan degludec 100 serta 200 unit/mL, harus dititrasi lebih jarang yaitu setiap 3–4 hari. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan risiko hipoglikemia akibat waktu paruh yang lebih lama dan durasi yang lebih panjang untuk mencapai kondisi stabil.[1-3,5]

Berbagai strategi titrasi telah digunakan dalam uji klinis, seperti menyesuaikan dosis insulin berdasarkan pembacaan glukosa darah tunggal atau rata-rata harian. Namun, belum ada suatu metode titrasi yang terbukti lebih efektif daripada metode lainnya Sejauh ini berbagai metode titrasi menunjukkan luaran yang hampir sama. Oleh sebab itu, tenaga medis bisa menyesuaikan metode titrasi dengan kenyamanan pasien.[1-3,5]

Penghentian Titrasi Insulin Basal pada Diabetes Mellitus Tipe 2

Insulin basal meningkatkan kontrol glikemik dengan fokus pada komponen manajemen glukosa darah pada malam hari dan puasa, tetapi kontrol glikemik secara keseluruhan dan kadar A1C merupakan hasil dari kombinasi kadar GDP dan glukosa post-prandial (GDPP). Jika kadar GDP dapat dikendalikan tetapi kadar A1C masih belum mencapai target, maka pengobatan tambahan perlu dipikirkan.[1,2,5]

Setelah target GDP dapat tercapai dengan optimal, kadar A1C yang meningkat sangat menunjukkan kontrol yang tidak memadai terhadap GDPP. Dalam hal ini, pengobatan yang secara khusus dipilih untuk mengatasi aspek glukosa ini, misalnya insulin prandial kerja cepat, GLP 1-RA, dan penghambat α-glukosida dapat dipertimbangkan.[1,2,5]

Menurut PERKENI, jika dosis insulin basal sudah mencapai 0.5 mg/kg/hari tetapi target belum tercapai, maka perlu intensifikasi dengan insulin prandial 1 kali dosis, lalu 2 kali dosis, lalu 3 kali dosis, tergantung pada nilai glukosa darah pre-prandial tertinggi dalam satu hari.[2]

Overbasalisasi sangat mungkin terjadi jika dokter mencoba untuk terus meningkatkan insulin basal saat GDPP tidak terkendali. Dengan GDP yang terkendali, peningkatan insulin basal lebih lanjut justru meningkatkan risiko hipoglikemia.[1,2,5]

Oleh karena itu, dokter perlu memberi peringatan bagi pasien yang melakukan titrasi mandiri tentang rentang dosis insulin basal yang aman, terutama yang berkaitan dengan batas dosis atas dan target GDP yang optimal, untuk menghindari basalisasi berlebihan. Pasien yang gagal mencapai target glikemik setelah mencapai batas dosis atas harus didorong untuk mendiskusikan strategi terapi yang berbeda.[1,2,5]

Kesimpulan

Inisiasi dan titrasi insulin basal untuk pasien diabetes mellitus tipe 2 masih sering terjadi terlambat atau suboptimal karena keengganan dari pasien maupun tenaga kesehatan. Salah satu penyebabnya adalah persepsi bahwa terapi insulin bersifat rumit. Padahal, inisiasi insulin basal yang tepat waktu diperlukan untuk mencapai kontrol glikemik yang baik.

Umumnya, insulin basal diinisiasi pada pasien yang tidak bisa mencapai target terapi setelah menggunakan obat hiperglikemia oral. Namun, pada kondisi tertentu seperti katabolisme, munculnya gejala hiperglikemia, dan adanya kadar glukosa darah atau A1C yang sangat tinggi, terapi insulin basal dapat segera diinisiasi terlepas dari riwayat penggunaan obat hiperglikemia oral.

Dosis inisiasi insulin basal adalah 0,1–0,2 unit/kg/hari atau 5–10 unit/hari. Setelah itu, titrasi dilakukan dengan menaikkan dosis sebesar 5–15% (1–4 unit) sebanyak 1–2 kali per minggu. Dosis maksimal adalah 0.5 mg/kg/hari, dengan target GDP 80–130 mg/dL.

Bila target GDP dapat tercapai tetapi kadar A1C terus meningkat, ada pertanda bahwa kontrol GDPP tidak memadai. Waspadai overbasalisasi jika dokter terus meningkatkan insulin basal saat GDPP tidak terkendali. Jika dosis insulin basal sudah mencapai 0.5 mg/kg/hari tetapi target belum tercapai, lakukan intensifikasi dengan insulin prandial.

Referensi