Pasien laki-laki yang telah sembuh dari COVID-19 diduga berisiko mengalami disfungsi ereksi. Risiko ini diperkirakan berhubungan dengan beberapa patofisiologi COVID-19, yakni disfungsi endotelial, gangguan hemodinamika paru, dan hipogonadisme subklinis. Selain itu, COVID-19 dapat menimbulkan distress psikologis yang mungkin berkaitan dengan kemampuan ereksi.
Pandemi COVID-19 yang disebabkan oleh infeksi virus SARS-CoV-2 memiliki dampak terhadap kesehatan jangka pendek maupun jangka panjang. Pasien yang telah sembuh dari COVID-19 dilaporkan mengalami gangguan kardiovaskular, gangguan respirasi, ataupun gangguan metabolik.
Hiperinflamasi pada COVID-19 dapat menyebabkan badai sitokin dan memungkinkan terjadinya mikrotrombosis serta disseminated intravascular coagulation (DIC). Selain paru-paru sebagai target organ utama, sistem tubuh yang lain juga bisa terpengaruh oleh proses ini, sehingga berbagai risiko penyakit lain, termasuk disfungsi ereksi, dapat meningkat pada pasien COVID-19.[1]
Mekanisme Terjadinya Disfungsi Ereksi Akibat COVID-19
Ereksi adalah proses kompleks yang melibatkan banyak faktor. Agar terjadi ereksi, dibutuhkan hormon, fungsi organ tubuh yang baik secara anatomi dan fisiologis, serta kondisi psikologis yang baik. Menurut hipotesis, COVID-19 dapat memengaruhi ereksi karena mengganggu mekanisme vaskulogenik, neurogenik, endokrin, dan psikologis.[1]
Gangguan Mekanisme Vaskulogenik
Pada COVID-19, virus yang masuk ke dalam tubuh bisa menimbulkan hiperinflamasi dan kerusakan endotel vaskular. Kerusakan endotel ini bisa terjadi di bagian mana pun, termasuk di endotel corpus cavernosum penis. Endotel dapat mengekspresikan protein angiotensin converting enzyme 2 (ACE-2), yang telah diketahui merupakan entry point (titik masuk) SARS-CoV-2 ke dalam sel inang.
Kerusakan endotel bisa menyebabkan gangguan tonus, gangguan koagulasi, gangguan metabolisme, gangguan permeabilitas vaskular, dan gangguan perfusi darah, yang bisa memengaruhi proses vasokonstriksi dan vasodilatasi pada penis. Akibatnya, pasien COVID-19 diduga berpotensi mengalami disfungsi ereksi.[1,2]
Gangguan Mekanisme Neurogenik
Berbagai data telah menunjukkan bahwa pasien COVID-19 dapat memiliki manifestasi neurologis. Gangguan pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer dapat terjadi pada sebagian besar pasien COVID-19. Pada keadaan yang lebih berat, gangguan neurologis yang terjadi dapat berupa stroke, kejang, hingga penurunan kesadaran.
COVID-19 dengan dampak pada sistem neurologis yang berupa disfungsi ereksi telah dilaporkan terjadi pada 10–19% kasus. Dampak ini diperkirakan dapat terjadi melalui cedera infeksi secara langsung maupun melalui hipoksia.[1,3]
Gangguan Sistem Endokrin
Pada COVID-19, hiperinflamasi sistemik dapat mengganggu banyak organ, termasuk organ urogenital. Sel-sel Leydig di testis memiliki reseptor ACE-2 yang dapat digunakan oleh SARS-CoV-2 sebagai titik masuk ke dalam sel inang. Kerusakan pada sel-sel di testis dapat memengaruhi produksi hormon testosteron.
Penurunan produksi testosteron diperkirakan berkaitan dengan penurunan libido dan penurunan kemampuan ereksi. Umumnya, pasien pria yang memiliki obesitas, diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular, dan usia lanjut dilaporkan memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena komplikasi COVID-19.[1,3]
Suatu laporan kasus menunjukkan bahwa rasio testosteron dan luteinizing hormone (LH) menurun pada pasien COVID-19, yang mungkin menandakan adanya gangguan steroidogenesis. Pemeriksaan post-mortem terhadap jaringan testikular 12 pasien COVID-19 juga menunjukkan jumlah sel Leydig yang berkurang secara signifikan.[1]
Gangguan Psikologis
COVID-19 tidak hanya memberikan dampak negatif secara fisik tetapi juga secara psikososial. Kesehatan psikologis seseorang diketahui berhubungan erat dengan aktivitas seksualnya. Akibat COVID-19, pasien mungkin merasakan tekanan emosional selama masa isolasi dan mengalami kecemasan. Pasien juga mungkin kehilangan teman atau keluarga dan mungkin menghadapi masalah ekonomi akibat isolasi.
Hal-hal tersebut diduga mungkin berhubungan dengan terjadinya disfungsi ereksi pada pasien COVID-19. Namun, bukti dari studi saat ini memang masih amat terbatas.[1,4,5]
Tata Laksana Disfungsi Ereksi Setelah COVID-19
Saat ini belum ada tata laksana yang spesifik untuk disfungsi ereksi akibat COVID-19. Hal ini dikarenakan patofisiologi disfungsi ereksi akibat COVID-19 sendiri masih berasal dari hipotesis dan masih memiliki bukti studi yang terbatas.
Penanganan pasien disfungsi ereksi yang terkait COVID-19 dapat tetap mengacu pada penatalaksanaan disfungsi ereksi pada umumnya. Faktor risiko disfungsi ereksi seperti obesitas, penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, penggunaan obat-obatan tertentu (terutama obat kardiovaskular), dan kebiasaan merokok juga perlu dievaluasi lebih lanjut dan ditata laksana.
Pasien juga mungkin memerlukan konsultasi psikologis. Distress psikologis diketahui dapat memengaruhi libido dan kemampuan ereksi seseorang.
Secara medikamentosa, sildenafil merupakan obat yang umum digunakan untuk terapi disfungsi ereksi. Obat ini merupakan inhibitor phosphodiesterase-5 (PDE-5) yang juga sedang dipelajari pengaruhnya terhadap COVID-19 oleh berbagai uji klinis.
Sildenafil diduga dapat memperbaiki hemodinamika paru dengan mengurangi resistensi vaskular. Selain itu, obat ini juga bisa menghambat formasi neointimal dan menginhibisi agregasi platelet, sehingga diduga dapat mengurangi risiko komplikasi trombotik pada pasien COVID-19. Namun, bukti studi yang mendukung teori ini masih terbatas.[1,3-5]
Kesimpulan
Beberapa ahli memperkirakan bahwa COVID-19 mungkin bisa menyebabkan disfungsi ereksi pada pasien laki-laki. Namun, saat ini tidak ada studi tentang prevalensi disfungsi ereksi yang terjadi akibat COVID-19. Data yang ada hanya berasal dari laporan kasus.
Hipotesis disfungsi ereksi yang terjadi akibat COVID-19 didasarkan pada teori bahwa COVID-19 dapat menyebabkan kondisi hiperinflamasi dan cedera endotel. Selain itu, COVID-19 diduga dapat mengganggu sel Leydig di testis dan menyebabkan distress psikologis. Hal-hal ini diperkirakan berkontribusi terhadap terjadinya disfungsi ereksi.
Akan tetapi, bukti studi yang ada saat ini masih terbatas dan umumnya berasal dari laporan kasus. Oleh karena itu, terapi yang spesifik untuk disfungsi ereksi akibat infeksi COVID-19 juga belum diketahui. Terapi dapat mengacu pada penatalaksanaan disfungsi ereksi pada umumnya, termasuk identifikasi dan manajemen faktor risiko.