Single Shot Intrathecal Labour Analgesia pada persalinan tanpa nyeri diklaim dapat menggantikan tindakan persalinan tanpa nyeri konvensional dengan jarum epidural ataupun gas nitrous oxide (N2O). Teknik ini hanya dilakukan sekali dan harus dilakukan pada kala 1 fase aktif, dimana proses persalinan diharapkan akan terjadi dan tanpa penyulit.[1]
Mekanisme Timbulnya Nyeri Persalinan
Nyeri kala 1 persalinan berasal dari dilatasi dan regangan segmen bawah rahim. Jaras saraf yang bertanggung jawab atas rangsang ini adalah jaras saraf tipe C yang meneruskan rangsang nosiseptif tersebut ke pangkal saraf sensoris di toraks ke-10, 11, 12, dan lumbal 1. Sementara itu, nyeri kala 2 disebabkan oleh dilatasi vagina dan tekanan pada perineum. Jaras saraf pudendal adalah jaras nosiseptif yang meneruskan rangsangan ini ke pangkal saraf sensoris di sakral ke-2, 3, dan 4. Mediator nyeri yang memiliki peran adalah bradikinin, leukotrien, prostaglandin, serotonin, substansi P, dan asam laktat.[1]
Single Shot Intrathecal Labour Analgesia untuk Manajemen Nyeri Persalinan
Teknik Single Shot Intrathecal Labour Analgesia diperkenalkan pada tahun 1998 oleh Viitanen et al. Teknik ini diharapkan dapat menjadi alternatif dari analgesia epidural yang membutuhkan sumber daya relatif banyak dalam penerapannya sehingga sulit diterapkan di wilayah tertentu, terutama negara berkembang seperti Indonesia. Pada awalnya, teknik ini diperkenalkan untuk penanganan nyeri persalinan pada pasien multipara kala 1 fase aktif. Namun, saat ini teknik ini juga digunakan pada pasien nullipara kala 1 fase aktif dengan kemajuan persalinan yang baik dan lancar.[2-6]
Teknik Single Shot Intrathecal Labour Analgesia dilakukan dengan penyuntikan secara intratekal menggunakan jarum spinal G27 pada celah interspinosus vertebra lumbal 3–4. Kombinasi obat yang lazim digunakan adalah bupivacaine 2,5 mg dan fentanil 25 mcg. Studi yang ada menunjukkan bahwa kombinasi kedua obat ini mampu menimbulkan analgesia yang cukup untuk menangani nyeri persalinan bila diberikan pada pasien inpartu kala 1 fase aktif.[4,7]
Pada tahun 2019, sebuah studi melaporkan bahwa penggunaan kombinasi bupivacaine 2,5 mg, morfin 250 mcg, dan fentanil 25 mcg pada pasien persalinan kala 1 fase aktif dengan pembukaan 3–4 multipara atau pembukaan 6–7 nullipara juga memberi luaran dan kepuasan pasien yang baik. Kombinasi lainnya yang juga dilaporkan memberi luaran terkait nyeri persalinan yang baik adalah bupivacaine 2,5 mg, fentanil 25 mcg, morfin 250 mcg, dan clonidine 45 mcg.[3,8]
Keuntungan Teknik Single Shot Intrathecal Labour Analgesia
Beberapa keuntungan dari teknik Single Shot Intrathecal Labour Analgesia adalah kebutuhan modalitas antinyeri lain yang lebih rendah, efikasi biaya, serta awitan analgesia yang lebih baik.
Penurunan Kebutuhan Modalitas Antinyeri Lainnya
Sebuah studi menunjukkan bahwa teknik Single Shot Intrathecal Labour Analgesia memiliki durasi analgesia sepanjang 238 menit dan memiliki respon analgesia yang memadai jika dibandingkan dengan teknik penanganan nyeri persalinan lainnya. Hal ini disertai dengan keuntungan berupa rendahnya permintaan tambahan modalitas analgesia lain.[8]
Efikasi Biaya
Nyeri persalinan yang dikontrol dengan teknik Single Shot Intrathecal Labour Analgesia dilaporkan memiliki efikasi biaya yang lebih baik dibandingkan penggunaan kateter epidural. Hal ini salah satunya karena alat yang diperlukan untuk memasang dan mengontrol nyeri lebih sedikit. Selain itu, penggunaan epidural memerlukan kompetensi tambahan bagi dokter anestesi dan pemantauan multiparameter yang dapat berkontribusi meningkatkan biaya medis.[9]
Awitan Lebih Cepat
Telah terdapat studi yang menunjukkan bahwa teknik Single Shot Intrathecal Labour Analgesia memiliki efek analgesik dengan awitan lebih cepat dibandingkan dengan teknik epidural. [10]
Keterbatasan Teknik Single Shot Intrathecal Labour Analgesia
Meski teknik Single Shot Intrathecal Labour Analgesia relatif lebih mudah dilakukan dan dilaporkan memiliki efikasi sebanding dengan analgesia epidural, tindakan ini tetap memiliki beberapa risiko. Beberapa risiko yang perlu diwaspadai mencakup depresi napas neonatus, kebutuhan sectio caesarea, dan timbulnya berbagai efek samping.
Depresi Napas Neonatus
Depresi napas pada bayi baru lahir dilaporkan dapat terjadi akibat penggunaan Single Shot Intrathecal Labour Analgesia dalam manajemen nyeri persalinan. Kejadian ini dilaporkan terkait dengan penggunaan opioid intratekal dengan dosis lebih tinggi (> 25 mcg fentanil). Sebuah uji klinis yang dilakukan oleh Van de Velde et al melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna skor APGAR jika fentanil digunakan dalam dosis ≤ 25 mcg.[5,7]
Kebutuhan Sectio Caesarea
Sebuah studi prospektif open label pada 100 orang ibu melahirkan menunjukkan bahwa kebutuhan untuk melakukan sectio caesarea setelah mendapat Single Shot Intrathecal Labour Analgesia adalah sebesar 10%. Indikasi dilakukannya sectio caesarea yang ditemukan pada studi ini adalah takikardia fetal, bradikardia fetal, dan partus tidak maju.[11]
Risiko Efek Samping Lain
Berbagai efek samping yang telah dilaporkan terkait dengan Single Shot Intrathecal Labour Analgesia antara lain pruritus, mual, muntah, hipotensi, dan nyeri kepala.[11,12]
Kesimpulan
Single Shot Intrathecal Labour Analgesia dilakukan dengan penyuntikan analgesik intratekal menggunakan jarum spinal G27 pada celah vertebra lumbal 3–4. Obat yang lazim digunakan adalah bupivacaine 2,5 mg dan fentanil 25 mcg. Namun, dapat pula ditambahkan obat lain seperti morfin dan clonidine.
Studi yang ada mengindikasikan bahwa Single Shot Intrathecal Labour Analgesia memiliki efikasi sebanding dengan analgesia epidural dalam manajemen nyeri persalinan. Selain itu, teknik ini memiliki efikasi biaya yang lebih baik, menurunkan kebutuhan terhadap modalitas antinyeri lain, serta memiliki awitan lebih cepat dibandingkan analgesia epidural. Meski demikian, perlu diketahui adanya risiko depresi napas pada neonatus jika opioid intratekal digunakan dalam dosis besar; serta risiko efek samping lain seperti pruritus, mual, muntah, hipotensi, dan nyeri kepala.