Masa pandemi COVID-19 turut diikuti dengan perubahan di sistem pelayanan kesehatan. Akibat dari pembatasan sosial skala besar (PSBB) menyebabkan sulitnya pasien untuk kontrol ke fasilitas pelayanan kesehatan. Untuk menjembatani ini, penggunaan telemedicine dan peresepan online dapat diupayakan selama pandemi COVID-19.
Salah satu akibat dari PSBB pada pasien dengan gangguan jiwa kronis adalah peningkatan kejadian relaps, terputusnya pengobatan, kesulitan mengakses pemeriksaan, dan penurunan kualitas hidup pasien. [1,2]
Penggunaan telemedicine sebagai salah satu sarana alternatif yang dapat memediasi kesenjangan ini, menimbulkan beberapa masalah lainnya. Diantaranya berupa kurangnya kemampuan antara terapis ataupun pasien yang memanfaatkan layanan tersebut, kesulitan mengakses pemeriksaan fisik maupun laboratorium, dan tidak dapat menangani isu kegawatdaruratan. Kesenjangan ini, terutama pasien dengan gangguan jiwa, dapat berdampak buruk bagi pasien karena mungkin saja terdapat gejala yang terlewat dan tidak nampak pada pemeriksaan lewat telemedicine.[1-3]
Kondisi pandemi yang tidak menentu juga mencetuskan peningkatan kasus baru yang mengalami distres psikologis. Peningkatan ini juga disertai dengan peningkatan isu penyalahgunaan zat.[1] Di sisi lain, terdapat data yang menunjukkan bahwa pasien dengan komorbiditas gangguan psikiatri rentan terinfeksi virus COVID-19. Hal ini akibat adanya kondisi medis kronis (masalah paru, sindrom metabolik, sindrom genetik, dan masalah lainnya) maupun kondisi lingkungan tempat tinggal yang padat.[2,4]
Kondisi ini memungkinkan pasien mendapatkan pengobatan COVID-19 bersamaan dengan obat psikotropika, sehingga perlu memperhatikan aspek interaksi obat yang mungkin timbul, maupun perubahan kondisi fisik yang terjadi akibat infeksi COVID-19. Keseluruhan hal inilah yang turut menjadi pertimbangan tersendiri dalam melakukan peresepan obat psikotropika.[1,5,6]
Keamanan Peresepan Lewat Telepsikiatri
Penggunaan berbagai alat telemedicine seperti chat dan video menunjukan kepuasan yang baik bagi pasien maupun klinis. Sebuah penelitian oleh Giordano et al. melaporkan Whatsapp Messenger adalah salah satu aplikasi yang baik digunakan untuk komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien hingga masyarakat umum.[7]
British Medical Journal pun menhatakan bahwa telemedicine menggunakan video untuk praktik konsultasi layanan online dianggap memberikan kepuasan yang tinggi baik bagi pasien maupun klinisi.[2,8]
Peraturan di Indonesia
Rekomendasi pelayanan praktik psikiater di Indonesia memasukkan layanan video online sebagai salah satu langkah meminimalisir risiko penularan COVID-19.[2]
Berbagai peraturan yang mengatur praktik telemedicine di Indonesia di antaranya Permenkes No. 20 Tahun 2019 (tentang Pelayanan Kesehatan Telemedicine antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan), Surat Edaran Menteri Kesehatan No. HK.02.01/MENKES/303/2020 (tentang Penyelenggaraan Pelayanan kesehatan melalui pemanfaatan Teknologi informasi dan komunikasi dalam rangka pencegahan penyebaran Coronavirus Disease 2019), dan Peraturan Konsil kedokteran Indonesia No. 74 Tahun 2020 (tentang Kewenangan Klinis dan praktik kedokteran melalui telemedicine pada masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia).[3,9,10]
Sementara itu, peraturan terkait obat-obatan yang dapat diresepkan secara online tertera pada Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) No. 8 Tahun 2020 tentang pengawasan obat dan makanan yang diedarkan secara daring, di mana obat psikotropika termasuk golongan obat yang dilarang untuk diedarkan secara daring.[14]
Pada tahun 2021, Kemenkes telah mengeluarkan Permenkes RI nomor 2 tahun 2021 tentang Penetapan dan Perubahan Penggolongan Psikotropika.[15]
Syarat Pemberian Obat Psikotropika
Pelayanan telemedicine dan pemberian obat diberikan melalui beberapa syarat sesuai dengan regulasi yang tersedia seperti dokter yang meresepkan dan melakukan pelayanan telemedicine hingga status pasien yang mendapatkan terapi.
Kebutuhan obat psikotropika rutin tetap dapat difasilitasi lewat penggunaan telepsikiatri dengan syarat sebagai berikut:
- Layanan telepsikiatri diselenggarakan di dalam Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) dan/atau antar Fasyankes
- Platform digital penghubung kesehatan (seperti Alodokter) bukan merupakan Fasyankes, sehingga tidak dapat melakukan pemberian resep obat psikotropika
- Resep obat manual/elektronik diberikan oleh Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa pada apotek/instalasi farmasi yang merupakan bagian dari Fasyankes tempat dokter tersebut memberikan telepsikiatri
- Metode pemeriksaan dan pengobatan menggunakan metode yang telah teruji dan dapat dipertangg dipertanggungjawabkan
- Hasil pemeriksaan psikiatri, diagnosis, dan pengobatan didokumentasikan ke dalam rekam medik baik secara manual atau elektronik
- Proses telepsikiatri direkam sebagai bagian dari rekam medik dan mendapatkan consent dari pasiennya. Pasien juga tidak diperbolehkan merekam proses telepsikiatri[3,9]
Sebagai salah satu upaya meminimalisir risiko keberbahayaan yang mungkin terjadi, maka terdapat kriteria pasien yang dapat dilakukan telepsikiatri, diantaranya:
- Pasien memiliki sarana pendukung baik perangkat keras dan perangkat lunak untuk telepsikiatri
- Pasien merupakan pasien lama yang stabil dengan tujuan cek rutin/kontrol untuk penyakit kronis
- Pasien yang memiliki alasan administratif seperti membuat surat sakit atau mengulang obat
- Pasien yang hanya ingin melakukan konseling atau layanan sejenis
- Pasien geriatri dengan multi morbiditas, pasien yang sakit terminal, atau pasien dengan kondisi fisik lain yang tidak memungkinkan dilakukan konsultasi tatap muka langsung
- Pasien dengan positif COVID-19 atau sedang dalam isolasi
- Pasien yang memiliki gejala dan diduga terinfeksi COVID-19
- Pasien dalam kondisi baik secara fisik namun mengalami berbagai gejala psikiatri karena situasi COVID-19[2,3]
Pasien yang Tidak Direkomendasikan untuk dilakukan Telepsikiatri
Pasien dalam kondisi berpotensi mengalami masalah serius, berisiko tinggi, dan membutuhkan pemeriksaan fisik, seperti:
- Pasien yang belum diketahui kondisi mental dan fisik sebelumnya yaitu pasien baru yang membutuhkan terapi farmakologis,
- Pasien gaduh gelisah, pasien dengan ide atau rencana bunuh diri, pasien agresif yang berisiko akan melakukan kekerasan,
- Pasien COVID-19 yang kondisinya sedang buruk[2]
Pasien yang memiliki penyakit komorbiditas yang dapat menyulitkan penggunaan teknologi (seperti: pasien dengan delirium, kebingungan hebat, serta ansietas berat), kecuali terdapat bantuan dari pihak keluarga atau pelaku rawat lainnya. Pasien yang memiliki gangguan pendengaran yang mungkin akan kesulitan dalam berkomunikasi lewat video.[2]
Interaksi obat
Hingga saat ini belum ada pedoman pasti dalam pemberian obat psikotropika tertentu pada pasien COVID-19. Hal ini terkait dengan belum adanya panduan obat spesifik yang digunakan dalam tatalaksana COVID-19.[1]
Walaupun secara bukti ilmiah yang kuat terkait terapi medikamentosa COVID-19 masih rendah. Namun, obat seperti atazanavir, lopinavir/ritonavir, remdesivir, favipiravir, hidroksiklorokuin, interferon beta, ribavirin dan tocilizumab masih diresepkan. Interaksi obat COVID-19 dengan obat psikotropik yang mungkin terjadi adalah peningkatan atau penurunan efektivitas obat, serta perpanjangan interval QT. Terutama pasien yang mengosumsi kombinasi hidroksiklorokuin dengan golongan obat trisiklik, SSRI (citalopram), dan antipsikotik.[1,5,6]
Kebanyakan obat psikotropika dimetabolisme oleh sitokrom CYP3A4, sehingga penggunaan atazanavir atau lopinavir/ritonavir yang bersifat inhibisi CYP3A4 dapat meningkatkan kadar obat psikotropika di dalam plasma. Sehingga beberapa obat psikotropika yang perlu diresepkan dengan hati-hati dapat dilihat di tabel 1. Selain interaksi, beberapa obat COVID-19, seperti mefloquine juga memiliki efek samping gejala neuropsikiatri mulai dari agitasi hingga psikosis.[1,6]
Tabel 1. Interaksi Obat Psikotropika dengan Pengobatan COVID-19
Golongan Psikotropika | Risiko Perpanjangan Interval QT dan/atau PRa | Risiko Interaksi Obatb | Obat Pilihanc |
Antidepresan | Mirtazapin, Antidepresan trisiklik (TCA)d Venlafaxin | St. John’s wort | Agomelatine Bupropion Duloxetine Fluoxetin, Fluvoxamine Paroxetin Sertralin |
Antipsikotik | Semua, kecuali aripiprazol, brexpiprazole, cariprazine, lurasidone | Pimozide Quetiapin | Amisulpridee Aripiprazole Brexpiprazole Cariprazine Lurasidone Olanzapine |
Benzodiazepin | Tidak ada | Semua (terutama midazolam); kecuali lorazepam, lormetazepam, oxazepam, temazepam | Lorazepam Lormetazepam Oxazepam Temazepam |
Mood stabilizer | Lithium | Karbamazepin | Lithium Asam Valproate |
Sumber: dr. Soeklola, 2020.[1,5,6]
Keterangan:
a. Jika digunakan bersamaan dengan lopinavir/ ritonavir atau (hidroksil)klorokuin sebagai terapi COVID-19
b. Ketika digunakan bersama atazanavir atau lopinavir/ritonavir sebagai terapi COVID-19. Hal ini terjadi akibat inhibisi CYP3A4 sehingga terjadi peningkatan kadar obat psikotropika. John’s wort dan karbamazepin dapat mereduksi kadar beberapa obat terapi COVID-19 di darah
c. Memerlukan monitoring terapeutik saat dilakukan modifikasi dosis
d. Amitriptilin, clomipramine, imipramine, nortriptilin
e. Memerlukan monitoring EKG
f. Golongan benzodiazepin yang tidak memiliki metabolit aktif dan dapat mengalami glukoronidasi
Rekomendasi
Meskipun belum ada rekomendasi terbaik dalam keamanan peresepan selama masa pandemik, beberapa rekomendasi diberikan untuk meminimalisir potensi bahaya yang dapat dialami oleh pasien. Upaya untuk memaksimalkan peresepan psikotropika pada beberapa kasus dianggap menjadi pilihan terbaik terutama pada kasus yang tidak dapat diberikan psikofarmaka. [1,2,4,5]
Pemeriksaan yang Diperlukan Sebelum Memberikan Obat Psikotropika
Berikut ini merupakan pemeriksaan yang dilakukan sebelum peresepan obat psikotropika.
Electrocardiogram (EKG):
Pasien rawat inap yang mendapatkan pengobatan COVID-19 disertai pengobatan psikotropika memerlukan monitoring EKG terkait kemungkinan terjadinya perpanjangan interval QT dan/atau PR.[1]
Pemeriksaan Laboratorium:
Panduan yang ada menyarankan pemeriksaan darah setiap 3 bulan sekali pada pasien yang hasil laboratorium darahnya stabil pada clozapine lebih dari 1 tahun. Namun akses ke pelayanan kesehatan dianggap berisiko tinggi terhadap penularan COVID-19 terkait penurunan imun pada penderita gangguan jiwa kronis. Hal ini mendorong saran untuk memperpanjang menjadi 12 bulan atau lebih panjang pada kasus pasien dengan kondisi fisik dan hasil laboratorium stabil. [4,11]
Penyesuaian Obat Psikotropika
Beberapa obat membutuhkan penyesuaian selama masa pandemi COVID-19.
Clozapine:
Sekitar 20% pasien positif COVID-19 mengalami neutropenia.[1,11] Sementara perlu diingat bahwa clozapine pun dapat mencetuskan neutropenia, sehingga dapat dikatakan pada pasien positif COVID-19, pemberian clozapine akan meningkatkan risiko neutropenia. Inflamasi yang terjadi pada pasien COVID-19 juga secara cepat meningkatkan kadar plasma clozapine.[1,4]
Miokarditis dan sepsis neutropenia yang diinduksi clozapine bisa menghasilkan gejala yang mirip infeksi COVID-19. Maka, jika menemui gejala tersebut pada pengguna clozapine segera mungkin melakukan tes antigen bersamaan dengan hitung darah lengkap.[4,11]
Penggunaan clozapine tetap dipertahankan pada pasien yang terinfeksi COVID-19, penurunan dosis clozapine diperlukan jika terdapat penurunan neutrofil. Sehingga disarankan melakukan pemeriksaan hitung jenis darah yang lebih sering pada pasien COVID-19 yang rutin mendapatkan clozapine.[1,4] Selain itu, pemberian vitamin D pada pasien yang mendapat clozapine juga disarankan karena mampu mengurangi risiko dan keparahan infeksi pernafasan.[4,12,13]
Golongan Ansiolitik/Hipnotik/Sedatif:
Kondisi lain yang perlu penyesuaian dosis psikotropika adalah gejala distres pernafasan pada pasien COVID-19. Dosis tinggi obat golongan ansiolitik/hipnotik/sedatif dapat meningkatkan risiko timbulnya hipoventilasi, hal ini akan menyamarkan penilaian terjadinya distres pernafasan pada pasien.[1]
Kesimpulan
Pasien dengan gangguan jiwa kronis termasuk kelompok rentan terinfeksi virus COVID-19. Peningkatan risiko infeksi COVID-19 pada pasien jiwa kronis memungkinkan pasien mendapatkan kombinasi terapi psikotropika dengan terapi COVID-19. Sehingga dapat menimbulkan interaksi obat yang tidak diinginkan.
Penggunaan telemedicine dapat meningkatkan aksesibilitas pasien gangguan jiwa (terutama dengan kesulitan akses di masa pandemi ini) untuk mendiskusikan kondisi saat ini ke praktisi kesehatan. Akan tetapi, dibutuhkan perhatian khusus saat meresepkan obat. Hingga saat ini, BPOM melarang peresepan obat psikotropika secara daring (kecuali dalam kondisi tertentu). Ditambah, beberapa obat yang sebelumnya digunakan untuk COVID-19 memiliki interaksi obat dengan golongan antipsikotik.
Hingga saat ini, belum ada rekomendasi yang menjamin keamanan terbaik untuk pasien dengan gangguan jiwa kronis dalam terapi yang mengalami COVID-19. Oleh sebab itu, beberapa hal dapat dilakukan untuk meminimalisir efek samping. Upaya untuk meminimalisir adalah melakukan pemeriksaan penunjang berkala dan penyesuaian obat psikotropika.
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini