Terapi sindrom polikistik ovarium atau polycystic ovarian syndrome (PCOS) sering kali melibatkan pemberian pil kontrasepsi oral. Namun, metformin terkadang juga dijadikan regimen terapi karena dinilai dapat memperbaiki gejala klinis metabolik pada PCOS.
Saat ini etiologi sindrom polikistik ovarium (PCOS) memang belum diketahui secara pasti, sehingga terapinya masih bersifat empiris dan simtomatik. Bagi penderita PCOS yang tidak menginginkan kehamilan, pil kontrasepsi oral dapat menjadi pilihan utama. Namun, bagi wanita yang ingin hamil atau wanita yang khawatir tentang efek samping jangka panjang pil kontrasepsi, metformin dinilai dapat menjadi terapi alternatif.[1,2]
Pil Kontrasepsi Oral sebagai Terapi Utama PCOS
Kombinasi hormon estrogen dan progestin dosis rendah merupakan pilihan utama untuk mengatasi oligomenorea pada penderita PCOS. Selain itu, kontrasepsi hormonal juga menjadi terapi lini pertama untuk mengatasi gejala hiperandrogenisme, seperti hirsutisme dan jerawat.
Kontrasepsi hormonal memiliki efek antiandrogenik yang dihasilkan melalui penurunan produksi hormon androgen ovarium, peningkatan jumlah sex-hormone binding globulin, dan inhibisi konversi testosteron bebas menjadi 5 alpha-dihydrotestosterone.[1,3]
Namun, penggunaan pil kontrasepsi hormonal kombinasi sering meningkatkan risiko kardiovaskular pada pasien PCOS. Risiko kardiovaskular ini terutama perlu diwaspadai pada pasien yang memiliki faktor risiko berupa hipertensi, obesitas, gangguan koagulasi, dan kebiasaan merokok.[1,3]
Setiap sediaan kontrasepsi hormonal dapat memiliki dosis dan kombinasi hormon yang berbeda, sehingga profil manfaat dan risikonya juga bervariasi. Saat ini belum ada bukti ilmiah yang memadai untuk memastikan dosis dan kombinasi kontrasepsi hormonal yang paling optimal untuk pengobatan PCOS.[4]
Metformin sebagai Terapi PCOS
Endocrine Society merekomendasikan metformin untuk pasien PCOS dengan diabetes mellitus tipe 2 atau toleransi glukosa terganggu, yang tidak berhasil ditangani dengan modifikasi gaya hidup. Metformin juga merupakan terapi lini kedua untuk mengatasi oligomenorea pada pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap kontrasepsi hormonal.
Rasionalisasi penggunaan metformin sebagai terapi PCOS karena obat ini, selain memperbaiki resistensi insulin perifer, juga bisa meningkatkan kadar sex-hormone binding globulin. Obat ini bisa menurunkan kadar androgen dalam tubuh, mengatasi gejala hiperandrogenisme, memperbaiki ovulasi, dan meningkatkan toleransi terhadap glukosa. Pemberian metformin diperkirakan dapat mencegah diabetes mellitus dan penyakit kardiovaskular pada pasien PCOS dengan gangguan toleransi glukosa.[1,3]
Namun, obat ini memiliki efek samping gastrointestinal, seperti diare, mual, muntah, dan kembung. Efek samping ini dapat diantisipasi dengan penggunaan metformin dosis rendah pada awal pengobatan dan diikuti dengan titrasi bertahap setelahnya. Dosis metformin yang biasa digunakan untuk terapi PCOS adalah 1.500-2.000 mg per hari dengan dosis terbagi.[1]
Bukti Ilmiah tentang Penggunaan Pil Kontrasepsi Oral vs Metformin pada PCOS
Berbagai studi telah dilakukan untuk membandingkan efikasi dan keamanan metformin serta pil kontrasepsi oral, baik sebagai monoterapi untuk PCOS maupun sebagai terapi kombinasi.
Studi Iwata et al
Sebuah penelitian kohort retrospektif membandingkan efikasi pil kontrasepsi oral dan metformin sebagai terapi tunggal dan kombinasi untuk pasien PCOS. Penggunaan metformin dilaporkan lebih efektif untuk memperbaiki resistensi insulin daripada pil kontrasepsi oral. Namun, pil kontrasepsi oral dinyatakan lebih unggul untuk mengatasi jerawat dan gangguan siklus menstruasi.
Pil kontrasepsi oral juga dapat menurunkan kadar luteinizing hormone (LH), testosteron, dan androstenedione secara signifikan. Metformin yang dikombinasikan dengan pil kontrasepsi oral menunjukkan efek yang lebih baik untuk mengatasi jerawat, masalah siklus menstruasi, dan kadar testosteron tinggi daripada monoterapi metformin. Namun, terapi kombinasi dinilai tidak unggul dalam memperbaiki resistensi insulin bila dibandingkan dengan monoterapi metformin. Jumlah sampel pada studi ini sangat kecil, sehingga hasil harus dicermati dengan hati-hati.[5]
Studi Kumar et al
Uji klinis acak terkontrol oleh Kumar et al menunjukkan bahwa metformin mampu memperbaiki parameter metabolik pasien PCOS, seperti profil lipid, marker inflamasi, resistensi insulin, dan persentase lemak tubuh. Sementara itu, pil kontrasepsi oral dilaporkan dapat mengatasi hiperandrogenisme secara signifikan tetapi memiliki efek negatif terhadap profil lipid dan komposisi tubuh, serta meningkatkan resistensi insulin.
Tidak ada perbedaan bermakna pada parameter body mass index (BMI) antara kedua kelompok. Dalam studi ini, metformin juga dilaporkan memiliki efek yang sebanding dengan pil kontrasepsi oral dalam hal regulasi siklus menstruasi dan kadar testosteron.
Terapi kombinasi merupakan terapi yang paling superior untuk mengatasi masalah jerawat. Selain itu, terapi kombinasi juga dinilai efektif mengatasi hiperandrogenisme, memperbaiki komposisi tubuh, serta menurunkan kadar marker inflamasi. Tidak ada pasien yang mengalami efek samping bermakna dalam studi ini.[6]
Studi Al Khalifah et al
Sebuah tinjauan sistematis dan meta analisis terhadap 4 uji klinis acak terkontrol dengan subjek remaja perempuan berusia 11–19 tahun menunjukkan bahwa pil kontrasepsi oral lebih efektif untuk memperbaiki siklus menstruasi dan mengurangi jerawat. Sementara itu, metformin lebih unggul dalam menurunkan indeks massa tubuh serta memperbaiki profil lipid dan pengaturan gula darah pada penderita PCOS.
Kedua terapi dinilai memiliki efek yang serupa terhadap hirsutisme. Namun, tinjauan ini hanya melibatkan 4 uji acak klinis dengan kualitas yang rendah sehingga interpretasi perlu dilakukan dengan berhati-hati.[7]
Studi Teede et al
Tinjauan sistematis dan meta analisis lain oleh Teede et al melibatkan 56 uji klinis acak. Monoterapi metformin dilaporkan dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki fungsi metabolik, seperti toleransi glukosa, kadar insulin puasa, dan profil lipid. Namun, pil kontrasepsi oral lebih bermanfaat dalam mengatasi gejala hiperandrogenisme dan memperbaiki siklus menstruasi.
Kombinasi metformin dan pil kontrasepsi oral dapat bermanfaat untuk mengatasi gangguan metabolik pada PCOS. Efek samping yang dilaporkan meliputi gangguan gastrointestinal ringan pada penggunaan metformin dan peningkatan berat badan pada penggunaan pil kontrasepsi oral. Tinjauan ini memiliki kelemahan pada kualitas bukti ilmiah yang rendah.[4]
Meta Analisis Cochrane
Meta analisis Cochrane yang terkini (2020) membandingkan efikasi serta keamanan metformin dan pil kontrasepsi oral pada pasien PCOS. Terdapat 44 uji klinis acak yang dianalisis. Metformin ditemukan lebih inferior daripada pil kontrasepsi oral dalam mengatasi hirsutisme pada kelompok pasien dengan BMI 25–30 kg/m2. Namun, studi belum dapat memastikan perbedaan efikasi metformin dan pil kontrasepsi oral untuk kelompok pasien dengan BMI di luar kisaran tersebut.
Kombinasi metformin dengan pil kontrasepsi oral dikatakan lebih efektif mengatasi hirsutisme daripada terapi tunggal dengan masing-masing obat. Penggunaan metformin bisa meningkatkan efek samping gastrointestinal yang bermakna seperti diare, mual, dan muntah tetapi dilaporkan dapat menurunkan risiko efek samping signifikan yang lain bila dibandingkan pil kontrasepsi.[2]
Kesimpulan
Pemilihan terapi PCOS hendaknya disesuaikan dengan gejala yang dominan pada tiap pasien, parameter metabolik, faktor risiko diabetes dan kardiovaskular, serta preferensi pasien. Sejauh ini, bukti yang ada menunjukkan bahwa metformin lebih unggul dalam mengatasi resistensi insulin dan kondisi metabolik lain, seperti toleransi glukosa dan profil lipid. Namun, pil kontrasepsi hormonal lebih bermanfaat dalam memperbaiki gejala hiperandrogenisme, seperti oligomenorea dan hirsutisme.
Metformin dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal tetapi memiliki efek samping lain yang lebih rendah daripada pil kontrasepsi hormonal. Terapi kombinasi metformin dan pil kontrasepsi oral dapat dipertimbangkan untuk memaksimalkan manfaat dari masing-masing obat, tetapi hal ini masih perlu diteliti lebih lanjut.
Sebagian besar bukti ilmiah yang ada saat ini memiliki kualitas yang rendah, sehingga masih dibutuhkan studi lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar, metode randomisasi yang lebih baik, serta waktu evaluasi yang lebih panjang.