Pemberian obat antiemetik untuk penderita hiperemesis gravidarum harus diberikan secara rasional. Mual dan muntah adalah keluhan yang umum ditemui pada trimester awal kehamilan, tetapi ketika keluhan ini menjadi berat dan tidak dapat ditangani dengan modifikasi gaya hidup, antiemetik sesuai lininya.
Keluhan mual dan muntah biasanya terjadi pada usia kehamilan 6–12 minggu, kadang dapat bertahan sampai kurang lebih minggu ke–20 kehamilan. Pada umumnya, keluhan tergolong ringan atau hanya mual saja, sedangkan keluhan sedang jika mual disertai muntah tanpa dehidrasi. Pada beberapa ibu hamil, keluhan mual muntah dapat memberat disertai dehidrasi bahkan sampai memerlukan perawatan di rumah sakit. Kondisi berat tersebut disebut hiperemesis gravidarum.[1,2]
Penanganan Awal Hiperemesis Gravidarum
Tata laksana awal ibu hamil dengan mual dan muntah adalah melakukan modifikasi diet dan menghindari pencetus. Untuk mengurangi mual pada kehamilan harus diterapkan small frequent feeding, yakni mengonsumsi makanan berat dan ringan tiap satu atau dua jam dalam porsi kecil untuk menghindari lambung yang terlalu kosong ataupun terlalu penuh.
Konsumsi makanan yang di rekomendasikan adalah yang banyak mengandung protein. Hindari makanan yang banyak mengandung karbohidrat dan yang dapat memicu mual, seperti makanan yang terlalu beraroma, terlalu berminyak, dan terlalu pedas. Minuman yang mengandung mint atau jahe dapat membantu menghilangkan mual, sedangkan kopi sebaiknya dihindari.[1,2]
Bersamaan dengan melakukan modifikasi diet, menghindari pencetus juga merupakan kunci untuk mengurangi mual dan muntah pada kehamilan. Beberapa contoh pemicu mual muntah adalah:
- Bebauan, misalnya parfum, aroma makanan, asap rokok
- Kondisi terlalu panas atau lembab
- Ruangan pengap
- Keributan atau tempat yang berisik
- Hal–hal yang dapat mengganggu penglihatan, seperti lampu yang berkelap–kelip, cahaya silau, layar komputer, atau lampu kendaraan saat menyetir.[1,2]
Pilihan Antiemetik untuk Hiperemesis Gravidarum
Jika gejala mual pada kehamilan tidak kunjung membaik dengan melakukan modifikasi diet dan menghindari pencetus, maka obat–obatan golongan antiemetik dapat diberikan.[1–3]
Studi meta analisis oleh Boelig et al pada tahun 2016, mempelajari berbagai penelitian yang menilai efektivitas dan keamanan semua intervensi hiperemesis gravidarum hingga usia kehamilan 20 minggu. Hasilnya menyatakan bahwa tidak ada intervensi yang secara konsisten memberikan bukti berkualitas tinggi. Studi ini menyoroti pentingnya konsistensi dalam mendiagnosis hiperemesis gravidarum dan kebutuhan untuk uji coba terkontrol plasebo yang lebih besar.[3]
Antiemetik Lini Pertama
Di beberapa negara lain, antiemetik lini pertama yang biasa digunakan adalah kombinasi –piridoksin. Akan tetapi, sediaan ini belum masuk ke Indonesia. Antiemetik lini pertama yang digunakan di Indonesia adalah suplemen jahe dan/atau piridoksin (vitamin B6). Dosis piridoksin oral yang direkomendasikan adalah 10–25 mg setiap 6–8 jam, dengan dosis maksimum untuk perempuan hamil adalah 200 mg/hari.[1,3]
Beberapa penelitian menyebutkan pemberian vitamin B6 pada ibu hamil dengan mual muntah yang ringan hingga sedang, umumnya dapat menurunkan gejala terutama bila diberikan dosis yang lebih tinggi. Tidak ada bukti yang menunjukkan kombinasi vitamin B6 dengan metoclopramide lebih unggul dibandingkan metoclopramide saja.[7]
Antiemetik Lini Kedua
Obat antiemetik lini ke–2 yang dapat diberikan berupa antihistamin (antagonis H1) selain doksilamin. Mempertimbangkan alasan keamanan untuk janin, terdapat 3 obat yang direkomendasikan yakni difenhidramin, meklizin, dan dimenhidrinat. Ketiga obat tersebut memiliki kategori keamanan B untuk kehamilan berdasarkan Food and Drug Administration (FDA). Meklizin tidak tersedia di Indonesia. [4]
Dosis difenhidramin untuk hiperemesis gravidarum adalah peroral 25–50 mg atau intravena 10–50 mg, setiap 4–6 jam sesuai kebutuhan. Sedangkan dosis dimenhidrinat yang diberikan adalah peroral 25–50 mg, setiap 4–6 jam sesuai kebutuhan. Efek samping dari obat–obatan golongan ini di antaranya sedasi, mulut kering, dan konstipasi.[1,3]
Antiemetik Lini Ketiga
Obat antiemetik lini ke–3 untuk hiperemesis gravidarum berupa antagonis dopamin, yaitu metoklopramid, fenotiazin (prometazin dan proklorperazin), atau butirofenon (droperidol). Proklorperazin tidak tersedia di Indonesia.
Kategori keamanan pada kehamilan berdasarkan FDA untuk metoklopramid, prometazin, dan droperidol berturut-turut adalah B, C, dan C. Oleh karena itu, atas dasar keamanan pada kehamilan maka obat yang paling sering digunakan dari golongan ini adalah metoklopramid.[4,5]
Dosis metoklopramid adalah 10 mg, setiap 6–8 jam per hari, idealnya diberikan 30 menit sebelum makan dan saat akan tidur. Metoklopramid dapat diberikan secara oral, intravena (IV), atau intramuskular (IM). Prometazin diberikan hanya jika tidak terdapat alternatif obat yang lain, dan bila manfaat dari pemberian obat ini lebih besar dibandingkan dengan risiko untuk janin.
Dosis prometazin adalah 12,5–25 mg, setiap 4 jam, lebih disarankan secara oral atau rektal, tetapi juga dapat diberikan IM. Prometazin sebaiknya tidak diberikan secara IV, intraarterial, dan subkutan karena dapat menyebabkan gangren pada ekstremitas dan nekrosis jaringan.[1,3]
Antiemetik Lini Keempat
Obat lini ke–4 yang digunakan adalah antagonis serotonin. Obat golongan ini yang bisa dipakai untuk mual dan muntah pada kehamilan yakni ondansetron, granisetron, dan dolasetron. Ondansetron adalah obat yang paling umum digunakan dari golongan ini, dengan kategori keamanan B pada kehamilan.[1,3]
Dosis ondansetron adalah 4 mg, dapat diberikan secara oral atau bolus IV setiap 8 jam sesuai kebutuhan. Dosis dapat dinaikan dan dibatasi sampai 16 mg per satu kali pemberian. Efek samping ondansetron yang sering terjadi di antaranya sakit kepala, kelelahan, konstipasi, dan mengantuk. Efek samping lainnya adalah pemanjangan interval QT, maka khusus pada pasien dengan risiko aritmia direkomendasikan untuk pengawasan dengan EKG.[1,3,4]
Obat Tambahan
Selain keempat lini obat tersebut, terdapat terapi tambahan yang dapat diberikan yakni golongan obat-obatan yang mengurangi asam lambung. Sebuah studi observasional menunjukkan bahwa pada perempuan hamil dengan riwayat gastroesophageal reflux disease (GERD) dan mengeluh mual muntah, secara signifikan mengalami perbaikan gejala dalam waktu 3–4 hari setelah mendapatkan terapi obat pengurang asam lambung, seperti antasida, H2 blocker, atau proton pump inhibitor (PPI) yang dikombinasikan dengan obat antiemesis.[1,3]
Obat pengurang asam lambung yang paling aman dan direkomendasikan untuk diberikan pada ibu hamil adalah golongan H2 blocker seperti ranitidin, yang memiliki kategori keamanan B pada kehamilan.
Dosis ranitidin adalah 150 mg 2 kali/hari, secara oral. Akan tetapi, FDA pada bulan April 2020 menyatakan agar semua produk ranitidin ditarik dari penjualan karena terkontaminasi N–Nitrosodimethylamine (NDMA) yang bersifat karsinogenik.[1–3,8]
Protokol Hiperemesis Gravidarum di Indonesia
Penanganan hiperemesis gravidarum di layanan primer di Indonesia memiliki protokol tersendiri sesuai Peraturan Menteri Kesehatan no.5 tahun 2014 tentang panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Terapi farmakologis yang terdapat di dalam protokol tersebut terdiri dari:
- H2 blocker per oral atau IV
- Piridoksin 10 mg per oral tiap 8 jam
- Antiemetik IV
- Cairan IV sesuai derajat dehidrasi
- Suplemen multivitamin seperti B kompleks IV[6]
Obat–obatan mual muntah pada kehamilan yang digunakan pada protokol ini diadaptasi dari standar yang berlaku dan disesuaikan dengan obat-obatan yang paling sering tersedia di Indonesia.[6]
Kesimpulan
Penatalaksanaan ibu hamil dengan keluhan hiperemesis pada awalnya adalah edukasi melakukan modifikasi diet dan menghindari pencetus mual muntah. Jika penanganan awal tidak berhasil maka obat-obatan golongan antiemetik dapat diberikan. Obat antiemetik yang dianjurkan adalah obat yang aman digunakan oleh ibu hamil, dengan kategori FDA B atau C.
Lini pertama antiemetik adalah suplemen jahe dan/atau piridoksin (vitamin B), bersamaan dengan pemberian multivitamin prenatal. Pilihan antiemetik lini selanjutnya adalah golongan antihistamin atau antagonis H–1 (difenhidramin, dimenhidrinat), antagonis dopamin (metoklopramid, prometazin, droperidol), dan antagonis serotonin (ondansetron, granisetron, dan dolasetron). Pada ibu hamil dengan riwayat GERD, obat-obatan pengurang asam lambung dapat bermanfaat.
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli