Peresepan analgesik selama masa kehamilan perlu mempertimbangkan rasio manfaat dan risiko pada ibu dan janin. Selama kehamilan, keluhan nyeri bisa timbul akibat kondisi yang sudah ada sebelumnya, kondisi nonobstetrik, ataupun konsekuensi langsung dari perubahan anatomis dan fisiologis dari kehamilan. Keluhan nyeri pada kehamilan dapat menimbulkan disabilitas. Di lain pihak, manajemen nyeri dengan farmakoterapi yang tidak tepat dapat menimbulkan komplikasi kehamilan ataupun efek teratogenik pada janin.[1-3]
Pada ibu hamil, keluhan nyeri perlu diinvestigasi lebih lanjut untuk mengeksklusi kemungkinan penyebab yang lebih berat. Tata laksana nonfarmakologi seperti istirahat, kompres hangat atau dingin, fisioterapi, masase, relaksasi, dan peregangan sebaiknya dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum memberikan farmakoterapi.[4,5]
Kompleksitas Manajemen Nyeri Selama Kehamilan
Nyeri adalah keluhan yang umum selama kehamilan, namun banyak ibu hamil menghindari konsumsi analgesik karena khawatir terhadap aspek keamanannya. Di lain pihak, nyeri yang tidak dimanajemen dengan baik dapat meningkatkan risiko munculnya nyeri kronik, stress maternal, depresi, gangguan tidur, dan hipertensi, yang berpotensi mengganggu pertumbuhan fetus dan luaran kehamilan.
Keputusan untuk meresepkan obat analgesik pada wanita hamil menjadi sulit, karena perlu mempertimbangkan secara seksama manfaat dan risiko pada ibu dan janin. Pertimbangan ini harus dilakukan berdasarkan bukti ilmiah terkait keamanan obat dan juga analisis klinis risiko jika nyeri tidak ditangani. Sayangnya, informasi terkait manajemen nyeri pada ibu hamil masih terbatas. Data keamanan penggunaan analgesik pada kehamilan, mayoritas didapat dari studi binatang percobaan dan studi observasional pada manusia.[6]
Paracetamol
Paracetamol telah digunakan secara luas sebagai analgesik lini pertama dalam tata laksana nyeri ringan-sedang selama kehamilan.[5] Walaupun demikian, beberapa studi telah menunjukkan hubungan antara penggunaan paracetamol jangka panjang (>28 hari) dengan gangguan neurologi. Studi lebih lanjut masih diperlukan untuk memvalidasi laporan tersebut karena banyaknya potensi bias pada studi yang sudah ada, misalnya faktor perancu yang tidak dikuantifikasi. [7,8] Selain itu, paracetamol juga telah dikaitkan dengan risiko maternal, termasuk peningkatan risiko preeklampsia, deep vein thrombosis, dan thromboemboli pulmonal.[9]
Karena saat ini studi terkait risiko paracetamol masih inkonklusif dan telah ada pengalaman yang banyak terkait penggunaannya, paracetamol masih dianggap aman dan dapat menjadi pilihan pertama untuk tata laksana nyeri selama kehamilan.[10]
Obat Antiinflamasi Nonsteroid (OAINS)
FDA merekomendasikan untuk menghindari penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) selama kehamilan. Namun, jika diperlukan untuk keadaan tertentu dimana obat analgesik lain tidak efektif, ibuprofen dapat diberikan dengan dosis efektif terkecil dan durasi tersingkat. [11]
Penggunaan OAINS pada trimester pertama telah dikaitkan dengan peningkatan risiko abortus.[12] Penggunaan OAINS pada usia kehamilan di atas 20 minggu juga dikaitkan dengan hipertensi pulmonal pada neonatus dan penutupan dini duktus arteriosus. [11] Obat golongan OAINS juga dapat mengurangi aliran darah ginjal janin, sehingga terjadi penurunan produksi urin dan menyebabkan oligohidramnion.[2,5]
Opioid
Obat golongan opioid dapat diberikan selama kehamilan dengan jangka waktu pendek untuk keluhan nyeri derajat sedang-berat yang tidak teratasi dengan paracetamol saja. Penggunaan opioid pada trimester pertama telah dikaitkan dengan peningkatan kecil kejadian neural tube defect. Penggunaan obat opioid, terutama saat persalinan, juga dapat meningkatkan risiko depresi napas neonatus.
Penggunaan opioid jangka panjang pada ibu hamil dapat menyebabkan neonatal abstinence syndrome dan ketergantungan pada ibu. Obat opioid juga dapat menyebabkan konstipasi, mual, dan muntah.[5]
Codeine
FDA memasukkan codeine dalam kategori C. Sebuah studi yang dilakukan pada 67.982 ibu hamil menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna fetal survival rate ataupun insidensi malformasi. Tetapi, didapatkan peningkatan insidensi sectio caesarea dan perdarahan postpartum jika codeine digunakan di akhir kehamilan.[9]
Tramadol
FDA memasukkan tramadol dalam kategori C. Studi yang mengevaluasi lebih dari 1 juta ibu hamil menunjukkan adanya malformasi kongenital pada 96 neonatus dari 1.751 penggunaan tramadol di awal kehamilan. Pada kehamilan yang lebih lanjut, tidak didapatkan efek pada fetus kecuali jika digunakan secara kronik.[9]
Morfin
FDA memasukkan morfin dalam kategori B. Pada penggunaan trimester pertama, tidak dilaporkan adanya peningkatan risiko malformasi, tetapi perlu digunakan dengan hati-hati karena ada perubahan farmakokinetik morfin selama kehamilan.[9]
Fentanil
FDA memasukkan fentanil dalam kategori C. Penggunaan fentanil patch dapat dipertimbangkan selama kehamilan. Namun, perlu diketahui adanya laporan neonatal abstinence syndrome akibat penggunaan fentanil patch.[9]
Gabapentin
FDA memasukkan gabapentin dalam kategori C. Data terkait keamanan penggunaan gabapentin pada kehamilan masih sangat terbatas. Gabapentin umum digunakan untuk nyeri kronik, terutama nyeri neuropatik. Saat ini, direkomendasikan wanita yang mengonsumsi gabapentin mendapatkan suplementasi asam folat dosis tinggi prakonsepsi dan selama trimester satu.[5,9]
Kesimpulan
Pemilihan analgesik untuk manajemen nyeri selama kehamilan perlu mempertimbangkan rasio manfaat dan risiko pada ibu dan janin. Apabila memungkinkan, terapi nonfarmakologi perlu diutamakan.
Hingga kini, paracetamol masih menjadi terapi lini pertama untuk manajemen nyeri dalam kehamilan. Perlu diketahui bahwa terdapat beberapa studi yang telah menunjukkan potensi risiko penggunaan paracetamol dalam kehamilan, seperti gangguan neurologis dan efek samping maternal, namun studi lebih lanjut masih diperlukan untuk memvalidasi temuan ini.
Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) tidak disarankan untuk digunakan selama kehamilan. Opioid diperbolehkan, tetapi harus digunakan dalam durasi tersingkat dan dosis efektif terkecil. Pada penggunaan opioid, perlu diwaspadai risiko ketergantungan pada ibu dan neonatal abstinence syndrome.