First-Generation Antihistamines and Seizures in Young Children
Kim JH, Ha EK, Han B, Han T, Shin J, Chae KY, Rhie S, Han MY. First-Generation Antihistamines and Seizures in Young Children. JAMA Network Open. 2024 Aug 1;7(8):e2429654. PMID: 39196558.
Abstrak
Latar Belakang: Penggunaan antihistamin secara luas pada anak-anak untuk terapi gejala common cold dan adanya efek terhadap sistem saraf pusat seperti drowsiness menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap risiko efek samping yang berkaitan.
Tujuan: Menilai hubungan antara penggunaan antihistamin generasi pertama dan risiko kejang pada anak menggunakan data nasional secara komprehensif.
Desain dan Subjek: Penelitian kohort dengan metode self-controlled case-crossover. Data didapatkan dari National Health Insurance Service di Korea. Anak-anak kelahiran 1 Januari 2002 hingga 31 Desember 2005 yang datang ke unit gawat darurat karena kejang (International Statistical Classification of Disease and Related Health Problems, revisi ke-10, kode R56.8, G40, dan G41) selama periode penelitian diikutsertakan sebagai subjek. Periode penelitian berakhir pada 31 Desember 2019 dan analisis data dilakukan dari 3 Juni 2023 hingga 30 Januari 2024.
Paparan: Pemberian antihistamin generasi pertama.
Luaran dan Pengukuran: Luaran primer adalah index seizure event. Odds ratio (OR) untuk kejadian kejang diestimasi menggunakan model multivariable conditional logistic regression, yang membandingkan pemberian antihistamin generasi pertama 1-15 hari sebelum kejang (periode hazard) dan periode kontrol 1 (31–45 hari sebelum kejang) serta periode kontrol 2 (61–75 hari sebelum kejang) dalam periode jendela yang sama. Analisis stratifikasi dilakukan untuk memeriksa hubungan dengan karakteristik individual subjek.
Hasil: Dari 11729 anak yang mengalami kejang, 3178 anak (1776 [55.9%] laki-laki) teridentifikasi diberikan antihistamin selama periode hazard atau periode kontrol, tetapi tidak pada kedua periode. Kejadian kejang paling sering dijumpai pada kelompok usia 6-24 bulan (985 [31%]) dan 25 bulan hingga 6 tahun (1445 [45.5%]).
Selama periode hazard, tercatat peresepan 1476 antihistamin generasi pertama, lalu tercatat 1239 peresepan selama periode kontrol 1, dan 1278 peresepan selama periode kontrol 2. Setelah dilakukan multiple confounder adjustments, didapatkan hasil bahwa pemberian antihistamin generasi pertama berhubungan dengan peningkatan kejadian kejang selama periode hazard (adjusted OR [AOR] 1.22 [95% CI, 1.13-1.31]).
Analisis stratifikasi subgroup menunjukkan hasil yang serupa, terutama pada anak usia 6-24 bulan yang diberikan antihistamin generasi pertama memiliki risiko kejang yang lebih tinggi (AOR 1.49 [95% CI, 1.31 - 1.70]) dibandingkan anak usia 25 bulan hingga 6 tahun (AOR 1.11 [95% CI, 1.0-1.24]; P =0.04).
Selain itu, berdasarkan analisis sensitivitas yang terdiri dari penyesuaian paparan saat periode jendela, evaluasi peresepan antihistamin generasi pertama, perbandingan titik kontrol dari periode yang sama 1 tahun sebelumnya, serta eksklusi individu yang menggunakan obat kombinasi, menunjukkan risiko yang sama tingginya.
Kesimpulan: Pada penelitian kohort ini, pemberian antihistamin generasi pertama berhubungan dengan risiko kejang yang 22% lebih tinggi pada anak, terutama pada usia 6–24 bulan. Hasil penelitian ini menekankan pentingnya kehati-hatian jika hendak meresepkan antihistamin generasi pertama kepada anak-anak berusia muda, serta perlunya penelitian lebih lanjut untuk menjelaskan hubungan antara antihistamin dan risiko kejang.
Ulasan Alomedika
Antihistamin generasi pertama memiliki efek sedasi dengan menembus sawar darah otak dan menekan neurotransmitter histamin pada sistem saraf pusat. Karena efek kerjanya yang dapat menembus sawar darah otak, berakibat kepada mengantuk berat hingga perubahan aktivitas gelombang otak. Perubahan aktivitas gelombang otak dapat memicu kejang simtomatik akut, mempengaruhi aktivitas EEG (elektroensefalografi) dan ambang batas kejang, serta merubah aktivitas EEG saat istirahat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengonfirmasi hubungan antihistamin generasi pertama dan risiko kejang pada anak. Penelitian ini mempunyai relevansi klinis yang besar mengingat antihistamin generasi pertama masih secara luas digunakan untuk terapi common cold pada anak meskipun memiliki risiko efek samping yang cukup signifikan.
Ulasan Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan kohort retrospektif dengan data dari National Health Insurance Service di Korea. Data yang digunakan adalah subjek yang lahir di Korea antara 1 Januari 2002 hingga 31 Desember 2005 dan di follow-up hingga 31 Desember 2019. Peneliti menentukan pemberian antihistamin generasi pertama sebagai intervensi dan kejang pada anak sebagai luaran. Kejadian kejang pertama kali setelah pemberian antihistamin disebut sebagai index seizure event atau index date.
Metode yang dipakai adalah case-crossover design, di mana subjek berperan sebagai kontrol sekaligus sebagai subjek perlakuan, hal ini mengurangi variabilitas antar subjek. Metode ini sangat baik untuk menentukan efek paparan jangka pendek terhadap luaran hasil dalam periode jendela yang telah ditentukan. Dengan membandingkan kondisi kontrol dan efek perlakuan dalam satu subjek, peneliti dapat mengevaluasi efek paparan secara lebih akurat.
Karena durasi pemberian antihistamin bervariasi antara 13–18 hari berdasarkan persentil 95 (hanya ada 5% populasi dengan pemberian antihistamin di atas 13–18 hari), periode utama observasi pemberian antihistamin generasi pertama ditentukan 15 hari sebelum index date dan disebut sebagai periode hazard. Periode ini dibandingkan dengan 31–45 hari sebelum index date (periode kontrol 1) dan 61–75 hari sebelum index data (periode kontrol 2). Periode kontrol ini dianggap tidak berkaitan dengan kejadian kejang.
Subjek dengan riwayat onset kejang saat berusia kurang dari 6 bulan serta riwayat kejang sebelum mendapatkan terapi antihistamin generasi pertama dieksklusikan dari penelitian. Subjek yang diikutkan dalam analisis akhir hanyalah subjek dengan kejang yang didahului oleh pemberian antihistamin generasi pertama.
Antihistamin generasi pertama yang dipakai dalam penelitian adalah chlorpheniramine maleate, mequitazine, oxatomide, piprinhydrinate, dan hydroxyzine hydrochloride.
Pemberian antihistamin generasi pertama didefinisikan sebagai peresepan obat selama periode hazard maupun periode kontrol minimal 1 hari. Subjek diklasifikasikan sebagai pengguna baru bila tidak mengonsumsi obat tersebut setidaknya 16-30 hari sebelum index date. Subjek diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok berdasarkan usia, yaitu: 6-24 bulan, 25 bulan sampai 6 tahun, dan usia 7 tahun atau lebih.
Odds ratio (OR) dihitung untuk menilai hubungan antara pemberian antihistamin dan kejang dengan cara membandingkan status paparan terhadap subjek selama periode hazard dibandingkan paparan selama periode kontrol. Risiko kejang karena pemberian antihistamin dianalisis menggunakan multivariable conditional logistic regression dengan hasil berupa OR dan 95% CI. Analisis subgroup mengkategorikan karakteristik subjek, antara lain: usia pada saat index date, jenis kelamin, tempat kelahiran, status ekonomi, tahun kelahiran, musim saat index date, dan kondisi perinatal.
Ulasan Hasil Penelitian
Berdasarkan karakteristik subjek pada index date, 985 subjek (31%) berusia 6-24 bulan; 1445 (45.5%) berusia 25 bulan hingga 6 tahun; dan 748 (23.5%) berusia 7 tahun atau lebih. Jumlah subjek laki-laki (1776 [55.9%] lebih banyak dibandingkan perempuan (1402 [44.1%]). Status ekonomi rendah (687 [21.6%]), menengah (1826 [57.5%]), atau atas (604 [19%]). Selain itu, hampir sepertiga subjek (950 [29.9%]) memiliki gangguan perinatal, paling banyak berupa malformasi kongenital sebanyak 703 subjek (22.1%).
Subjek yang diberikan antihistamin selama periode hazard adalah 1476 (46.4%) orang, dibandingkan 1239 (39%) selama periode kontrol 1, dan 1278 (40.2%) selama periode kontrol 2. Risiko timbul kejang dalam 15 hari setelah pemberian antihistamin ditemukan meningkat (adjusted OR [AOR] 1.22 [95% CI, 1.13 - 1.31]). Subjek yang diberikan antihistamin selama periode hazard juga menunjukkan risiko kejang lebih tinggi (AOR 1.25 [95% CI, 1.14-1.35]) daripada yang diberikan pada periode kontrol.
Dalam analisis sensitivitas, rentang waktu periode hazard dibuat dengan pengaturan lain yaitu 1-10 hari atau 1-5 hari sebelum index date. Didapatkan hasil: rentang waktu 10 hari AOR 1.25 (95% CI, 1.15-1.36) dan untuk rentang waktu 5 hari 1.36 (95% CI, 1.23-1.51). Bahkan setelah disesuaikan dengan penyakit penyerta sebagai kovariat, pemberian antihistamin secara signifikan meningkatkan risiko kejang pada rentang 15 hari (AOR, 1.10 [95%, 1.10-1.20]), rentang 10 hari (AOR, 1.13 [95% CI, 1.03-1.25]), dan rentang 5 hari (AOR, 1.21 [95% CI, 1.08-1.36]).
Berdasarkan karakteristik subjek usia (p=0.04) ditemukan bahwa anak usia 6-24 bulan memiliki peningkatan risiko kejang lebih tinggi (AOR 1.49 [95% CI, 1.31-1.70]) daripada kelompok lain. Kelompok usia 25 bulan sampai 6 tahun memiliki AOR 1.11 (95% CI, 1.00-1.24) sedangkan kelompok usia 7 tahun atau lebih menunjukkan AOR 1.10 (95% CI, 0.94-1.28). Anak usia 6-24 bulan diperkirakan lebih rentan karena sawar darah otak masih dalam tahap perkembangan, sehingga meningkatkan permeabilitas dan peluang obat untuk melakukan penetrasi terhadap jaringan otak.
Kelebihan Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain longitudinal dengan jumlah sampel yang besar dan representatif sehingga hasil analisisnya kuat dan dapat digeneralisasikan. Penelitian ini menyertakan analisis sensitivitas sehingga kita dapat mengetahui kekuatan hubungan antara pemberian antihistamin generasi pertama dengan risiko kejang pada periode hazard. Pemilihan subjek sudah mengeksklusikan faktor perancu seperti demam pada anak yang pada penelitian sebelumnya tidak dieksklusikan.
Limitasi Penelitian
Informasi kejang didapatkan dari diagnosis primer database asuransi, sehingga tidak mengetahui secara detail gejala kejangnya. Selain itu, subjek penelitian ini juga hanya didapatkan dari anak yang berobat ke unit gawat darurat dan tidak menyertakan pasien yang dirawat di klinik rawat jalan. Dosis antihistamin generasi pertama yang diberikan juga sulit untuk diverifikasi karena hanya berdasarkan dari database yang ada.
Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian antihistamin generasi pertama pada anak-anak, terutama anak-anak yang berusia 6–24 bulan, meningkatkan risiko terjadi kejang. Temuan ini dapat diedukasikan dan diaplikasikan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia, untuk menekan peresepan antihistamin generasi pertama kepada anak, terutama pada kasus-kasus di mana tidak ada bukti manfaat klinis yang signifikan dari pemberian antihistamin.
Di Indonesia, antihistamin generasi pertama masih sering diberikan untuk kasus seperti common cold yang sebenarnya bersifat self-limiting. Hal ini dikarenakan antihistamin generasi pertama merupakan obat yang murah dan mudah ditemukan. Dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan tenaga medis bisa lebih waspada dan bijaksana ketika hendak meresepkan obat bagi pasien anak, agar tidak menimbulkan efek samping yang sebenarnya bisa dihindari.