Manfaat dan keamanan penggunaan antihistamin dalam manajemen asthma tidak terbukti dan tidak didukung bukti ilmiah. Antihistamin tidak direkomendasikan oleh pedoman klinis tata laksana asthma yang ada saat ini, termasuk pedoman Global Initiative for Asthma (GINA).[1-3]
Peran Histamin dalam Patofisiologi Asthma
Asthma dapat timbul akibat pajanan alergen yang kemudian memicu reaksi berlebihan dari sistem imun saluran napas. Asthma ditandai dengan proses inflamasi kronis saluran napas yang bermanifestasi sebagai mengi (wheezing), rasa terikat di dada, dan batuk yang bervariasi lama dan intensitasnya, bersamaan dengan timbulnya limitasi dari aliran udara ekspirasi.[3]
Di saluran napas, terdapat 4 jenis reseptor histamin, yaitu H1, H2, H3, dan H4. Stimulasi pada reseptor H1 saluran napas telah diketahui dapat menyebabkan bronkokonstriksi.
Pada pasien asthma, pajanan alergen dapat mencetuskan pelepasan histamin oleh sel mast dan menstimulasi reseptor histamin. Hal ini telah dilaporkan dapat menyebabkan ketegangan kontraktif otot polos saluran napas dan berperan dalam patofisiologi asthma.[1]
Peran Antihistamin dalam Manajemen Asthma
Antihistamin H1RA (antagonis reseptor H1) memiliki selektivitas tinggi untuk reseptor H1 yang dilaporkan berperan dalam timbulnya bronkokonstriksi saluran napas pada pasien asthma. Obat golongan ini telah dibuktikan memiliki efikasi yang baik dalam terapi rhinitis alergi dan urtikaria. Meski demikian, bukti terkait efikasinya pada penatalaksanaan asthma sangat terbatas. Saat ini, obat utama dalam manajemen asthma adalah kortikosteroid inhalasi (ICS), agonis β2 kerja panjang (LABA), agonis β2 kerja pendek (SABA), dan antagonis reseptor leukotrien (LTRA).[1,3,4]
Pemberian antihistamin juga dapat menyebabkan berbagai efek samping, termasuk mengantuk dan penurunan konsentrasi. Efek ini dilaporkan lebih signifikan pada penggunaan antihistamin generasi pertama, seperti chlorpheniramine dan diphenhydramine.[4,5]
Efikasi Antihistamin dalam Manajemen Asthma
Studi dengan kualitas baik yang mempelajari efikasi dan keamanan antihistamin dalam manajemen asthma masih sangat terbatas. Dalam sebuah studi pada hewan coba, antihistamin azelastine ditemukan mampu mempotensiasi efek dari steroid dalam penatalaksanaan asthma. Studi ini menunjukkan bahwa pemberian azelastine dan dosis suboptimal dexamethasone dapat memperbaiki tanda peradangan paru yang diinduksi alergi, ditunjukkan oleh penurunan eosinofil, infiltrat peribronkial, dan sel penghasil musin. Selain itu, kadar serum IgE dan IgG1 spesifik alergen juga dilaporkan berkurang.[6]
Selain itu, sebuah uji klinis berusaha mengevaluasi efikasi dan keamanan kombinasi montelukast dan levocetirizine pada pasien dengan rhinitis alergi perenial dengan asthma ringan sampai sedang dibandingkan dengan efikasi dan keamanan montelukast saja. Dalam studi yang melibatkan 228 partisipan ini ditemukan bahwa kombinasi montelukast dan levocetirizine efektif dalam mengurangi gejala nasal, serta memiliki profil keamanan yang baik. Namun, studi ini hanya menilai gejala rhinitis alergi saja dan tidak mengevaluasi gejala asthma.[7]
Meski kedua studi di atas menunjukkan potensi yang menjanjikan. Studi-studi tersebut belum dapat dijadikan dasar untuk menyimpulkan bahwa pemberian antihistamin akan membawa manfaat lebih dalam tata laksana asthma. Antihistamin sebaiknya tidak diberikan sebagai bagian dari tata laksana utama asthma. Antihistamin dapat dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien dengan rhinitis alergi yang juga mengalami asthma.
Manajemen Asthma Menurut Pedoman Klinis
Menurut pedoman penatalaksanaan asthma oleh Global Initiative for Asthma (GINA) 2021, manajemen asthma berfokus pada pengurangan risiko dan pengendalian gejala. Tujuan penatalaksanaan asthma adalah untuk mengurangi beban pasien dan mengurangi risiko kematian terkait asthma, eksaserbasi, kerusakan saluran napas, dan efek samping pengobatan.
Untuk mencegah eksaserbasi asthma dan mengendalikan gejala, GINA merekomendasikan pemberian kortikosteroid inhalasi (ICS), seperti budesonide dosis rendah, yang dikombinasikan dengan agonis β2 kerja panjang (LABA) seperti formoterol. Pilihan reliever lain adalah agonis β2 kerja pendek (SABA), seperti salbutamol, tetapi penggunaan tunggal agen ini tidak direkomendasikan. Faktor risiko dan komorbiditas juga perlu diobati. Selanjutnya, pengobatan asthma harus menggunakan pendekatan stepwise, yang melibatkan penggunaan LABA dan antagonis reseptor leukotrien (LTRA) sesuai kebutuhan masing-masing pasien.[3]
Kesimpulan
Meskipun secara teoritis histamin berperan dalam terjadinya asthma, hingga kini tidak ada bukti ilmiah adekuat yang mendukung penggunaan antihistamin dalam manajemen asthma. Manajemen asthma yang direkomendasikan saat ini adalah penggunaan kortikosteroid inhalasi (ICS), yang dikombinasikan dengan agonis β2 kerja panjang (LABA) dan antagonis reseptor leukotrien (LTRA) dengan pendekatan stepwise, sesuai pedoman tata laksana GINA saat ini.
Penulisan pertama oleh: dr. Nathania S. Sutisna