Bronkodilator sering digunakan untuk menangani bronkiolitis pada anak dalam praktik sehari-hari. Obat-obatan bronkodilator, contohnya salbutamol, terutama diberikan dalam bentuk aerosol untuk merelaksasikan otot polos bronkus dan melebarkan jalan napas. Namun, penggunaan bronkodilator pada kasus bronkiolitis sebenarnya belum didukung bukti efikasi yang jelas.
Bronkiolitis adalah infeksi saluran napas bawah akut yang disebabkan oleh virus, di mana 50–90% kasusnya disebabkan oleh respiratory syncytial virus (RSV). Penyakit ini terutama menyerang anak berusia di bawah dua tahun dan menimbulkan inflamasi pada saluran napas di paru-paru, sehingga saluran terisi dengan debris. Gejala dapat berupa demam, batuk, dan kesulitan bernapas serta wheezing pada kondisi yang berat.
Karena manifestasi klinis dari bronkiolitis terjadi akibat terisinya saluran napas dengan debris infeksi dan tidak berhubungan dengan bronkospasme, efikasi bronkodilator yang bekerja dengan cara merelaksasikan otot polos bronkus dipertanyakan.[1-3]
Studi terkait Efikasi Bronkodilator pada Kasus Bronkiolitis
American Academy of Pediatrics (AAP) pada tahun 2014 telah menyatakan bahwa bronkodilator tidak lagi direkomendasikan untuk tata laksana bronkiolitis. Pernyataan ini telah didukung oleh hasil dari berbagai studi ilmiah, baik sebelum tahun 2014 maupun setelahnya.
Suatu intervensi dan studi dilakukan oleh Dunn et al pada tahun 2014–2017, di mana mereka berusaha mengurangi penggunaan salbutamol pada 3834 kunjungan pasien bronkiolitis ke unit gawat darurat (UGD) dan 1119 kasus rawat inap. Intervensi ini berhasil mengurangi penggunaan salbutamol dari 43% menjadi 20% di UGD dan dari 18% menjadi 11% di ruang rawat inap, tanpa meningkatkan angka admisi ke rumah sakit, durasi rawat inap, maupun kunjungan ulang.[4]
Beberapa studi lain seperti studi retrospektif pada 419 pasien di Philadelphia, Amerika Serikat dan meta analisis pada 977 pasien di China juga menunjukkan bahwa penggunaan salbutamol tidak memiliki efikasi pada kasus bronkiolitis. Penggunaannya tidak direkomendasikan karena justru menimbulkan efek samping seperti peningkatan denyut nadi pada bayi dan peningkatan kebutuhan oksigen suplemental.[5,6]
Meta analisis dari Cochrane yang melibatkan 30 studi (1922 bayi dengan bronkiolitis) dari berbagai negara juga membuktikan tidak adanya pengaruh bronkodilator (selain epinefrin) terhadap saturasi oksigen, angka rawat inap, lama rawat inap, maupun resolusi penyakit di rumah. Penggunaan bronkodilator justru menimbulkan efek samping seperti takikardi, desaturasi oksigen, dan tremor.[1]
Penggunaan Epinefrin sebagai Bronkodilator pada Bronkiolitis
Meskipun bronkodilator yang sering digunakan adalah salbutamol, epinefrin kadang juga digunakan untuk bronkodilatasi. Meta analisis Cochrane menunjukkan bahwa epinefrin dapat bermanfaat bagi pasien rawat jalan, yakni mengurangi angka admisi ke rumah sakit dalam 24 jam pertama dan memperbaiki parameter klinis.
Pada pasien rawat jalan, kombinasi epinefrin dengan dexamethasone sistemik juga dilaporkan mungkin mengurangi angka admisi. Namun, manfaat kombinasi kedua obat ini masih didukung oleh satu studi saja, sehingga masih perlu dipelajari lebih lanjut.
Pada pasien rawat inap, tidak ada bukti manfaat pemberian epinefrin pada bronkiolitis, baik dengan steroid ataupun tanpa steroid.[7]
Terapi yang Dianjurkan untuk Bronkiolitis dan Bukti Medisnya
Karena bronkiolitis disebabkan oleh infeksi virus, penyakit ini bersifat self-limiting. Tata laksana umumnya bersifat suportif, seperti oksigenasi, hidrasi yang cukup, pemberian asupan nutrisi yang optimal, dan pemberian antipiretik jika demam. Penggunaan bronkodilator maupun antivirus tidak terbukti efektif untuk bronkiolitis sehingga tidak dianjurkan. Antibiotik dipertimbangkan hanya jika ada infeksi sekunder oleh bakteri.
Nebulisasi larutan garam hipertonis (saline 3%) dilakukan oleh beberapa klinisi untuk menangani bronkiolitis. Namun, praktik ini masih memiliki bukti medis yang inkonklusif sehingga belum dianjurkan sebagai terapi rutin. Penggunaan glukokortikoid juga tidak dianjurkan karena belum terbukti memiliki manfaat pada kasus bronkiolitis.[2,8,9]
Kesimpulan
Penggunaan bronkodilator (selain epinefrin) pada kasus bronkiolitis tidak dianjurkan, karena terbukti tidak memberikan banyak manfaat bagi saturasi oksigen pasien, angka rawat inap, lama rawat inap, maupun resolusi penyakit di rumah. Epinefrin sebagai bronkodilator dilaporkan dapat bermanfaat bagi pasien rawat jalan untuk mengurangi angka admisi ke rumah sakit dalam 24 jam pertama dan memperbaiki parameter klinis, tetapi tidak bermanfaat bagi pasien rawat inap.
Penggunaan steroid, baik dengan atau tanpa epinefrin, serta penggunaan modalitas terapi lain seperti nebulisasi larutan garam hipertonis masih belum dianjurkan sebagai terapi rutin karena belum memiliki basis bukti yang sufisien. Tata laksana bronkiolitis umumnya hanya bersifat suportif, seperti oksigenasi, hidrasi yang cukup, pemberian asupan nutrisi yang optimal, dan pemberian antipiretik jika demam.