Efikasi dan keamanan mukolitik pada balita yang mengalami batuk masih menjadi perdebatan. Meskipun batuk seringnya disebabkan oleh penyakit yang bersifat swasirna (self limiting), seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan bronkiolitis, tidak dapat dipungkiri bahwa gejala batuk, apalagi yang berdahak, cukup mengganggu dan meningkatkan kecemasan orang tua.[1]
Mukolitik masuk dalam golongan obat batuk yang disebut sebagai agen mukoaktif. Agen mukoaktif mengubah sifat kekentalan mukus dan meningkatkan gerakan mukosilier pada saluran napas. Agen mukoaktif dapat dibedakan menjadi ekspektoran, mukolitik, dan mukokinetik.[1-3]
Sekilas Tentang Mukolitik dan Agen Mukoaktif Lainnya
Agen mukolitik bekerja dengan melepaskan ikatan polimer pada mukus, sehingga menyebabkan mukus menjadi lebih encer dan kurang lengket pada saluran napas. Hal ini diharapkan akan memudahkan pengeluaran mukus.[3]
Berbeda dengan mukolitik, ekspektoran bekerja dengan meningkatkan sekresi air yang diharapkan akan meningkatkan pembersihan saluran napas. Guaifenesin adalah golongan ekspektoran yang sering digunakan dalam pengobatan batuk, walaupun pada hampir semua studi tidak terbukti efektif dibandingkan plasebo. Sementara itu, N-acetylcysteine, carbocysteine, dan erdosteine merupakan agen mukolitik yang sering digunakan pada penyakit paru obstruktif kronis. Studi in vitro menunjukkan bahwa derivat cysteine memutus rantai disulfida, sehingga menurunkan viskositas mukus.[2-4]
Ambroxol merupakan agen mukoaktif yang sudah banyak digunakan untuk penyakit saluran napas, baik akut maupun kronis. Ambroxol memiliki efek mukokinetik dan mukolitik. Struktur kimia ambroxol memberikan fungsi tambahan yang mencakup stimulasi produksi surfaktan, efek antiinflamasi, antioksidan, dan efek anestesi lokal.[1]
Agen mukokinetik meningkatkan efisiensi pergerakan silia saat pembersihan sekresi saluran napas. Dornase alfa adalah salah satu contoh agen mukokinetik yang dilaporkan efektif dalam penanganan batuk. Beta agonis seperti salbutamol dapat meningkatkan frekuensi pergerakan silia tetapi efek mukokinetiknya tidak terlalu baik, sehingga tidak dianjurkan sebagai obat batuk.[3,5]
Efikasi Ambroxol pada Anak
Dalam sebuah tinjauan oleh Kantar et al (2020), dilakukan evaluasi terhadap 6 uji klinis terkontrol dan 4 uji klinis tidak terkontrol dengan total 1274 partisipan. Tinjauan tersebut juga mengevaluasi data real world evidence dengan total 3.629 pasien, yang mencakup dewasa dan anak-anak. Hasil evaluasi menyimpulkan bahwa ambroxol efektif dan ditoleransi dengan baik sebagai mukolitik pada anak. Meski demikian, perlu dicatat bahwa studi-studi yang diikutkan dalam tinjauan ini adalah studi yang sudah sangat lama dan dilakukan sebelum penerapan Good Clinical Practice (GCP).[1]
Dalam studi lain (2021), efikasi ambroxol inhalasi yang dikombinasikan dengan terbutaline dievaluasi pada 113 anak dengan pneumonia berat. Hasil analisis menunjukkan bahwa penambahan inhalasi ambroxol terhadap terbutaline menghasilkan penghilangan batuk lebih cepat dan memperpendek waktu rawat dibandingkan inhalasi terbutaline saja.[7]
Efikasi N-Acetylcysteine pada Anak
Dalam sebuah uji klinis (2020) yang melibatkan 120 anak usia 1-7 tahun, dilakukan perbandingan efikasi antara ambroxol dengan N-acetylcysteine dalam penanganan bronkopneumonia. Uji klinis ini menemukan bahwa penggunaan N-acetylcysteine menghasilkan penghilangan gejala batuk yang lebih cepat dan lama rawat yang lebih singkat dibandingkan ambroxol. Tetapi perlu diperhatikan bahwa studi ini tidak melakukan analisis subgrup pada balita dan median usia sampel adalah 4,5 tahun, sehingga hasil mungkin akan berbeda untuk konteks anak usia balita.[6]
Efikasi Erdosteine pada Anak
Di sisi lain, bukti ilmiah efikasi erdosteine pada anak masih sangat kurang. Terdapat dua studi lama yang menyatakan bahwa kombinasi erdosteine dan amoxicillin efektif dalam penanganan infeksi saluran napas akut pada anak. Meski demikian, ada pula studi lain yang menyatakan bahwa erdosteine tidak efektif dalam penanganan rhinosinusitis anak.[2]
Efek Samping Penggunaan Mukolitik pada Anak
Penggunaan mukolitik pada anak harus berhati-hati, terutama pada anak berusia di bawah 2 tahun. Mukolitik dan obat batuk lainnya telah dikaitkan dengan beragam bahaya pada anak, termasuk peningkatan kejadian efek samping, risiko kesalahan penggunaan (misalnya karena tidak sengaja tertelan), serta peningkatan fatalitas dan kematian.
Kebanyakan jenis mukolitik tidak disarankan penggunaanya pada anak di bawah 2 tahun, termasuk ambroxol dan bromhexine. Ambroxol telah dilaporkan berkaitan dengan risiko reaksi hipersensitivitas berat dan dikaitkan dengan timbulnya kejang fokal epileptik. Sementara itu, terdapat laporan efek samping pneumonia pada penggunaan carbocysteine pada pasien anak.
Di sisi lain, meskipun studi terkait keamanan erdosteine masih sedikit, studi pada orang dewasa menunjukkan profil keamanan yang baik. Efek samping erdosteine yang paling sering dilaporkan adalah heartburn.[2]
Penggunaan Mukolitik pada Anak Berdasarkan Rekomendasi Organisasi Kesehatan di Berbagai Negara
Berbagai organisasi kesehatan di berbagai negara telah menyatakan untuk menghindari pemberian obat batuk, termasuk mukolitik, pada anak. Hal ini umumnya didasari oleh adanya potensi bahaya dari obat batuk dibandingkan dengan manfaatnya yang minimal (karena kebanyakan kasus batuk pada anak bersifat swasirna).
Di Amerika Serikat, FDA menyarankan agar obat batuk tidak diberikan pada anak berusia di bawah 2 tahun. Senada dengan itu, American Academy of Pediatrics merekomendasikan untuk menghindari penggunaan obat batuk pada anak berusia di bawah 6 tahun. Di Finlandia, Finnish Current Care Guidelines untuk infeksi saluran napas juga tidak merekomendasikan penggunaan obat batuk pada anak.[8]
Kesimpulan
Kualitas bukti terkait efikasi dan keamanan mukolitik pada balita masih sangat kurang. Kebanyakan bukti ilmiah yang tersedia mengenai efikasi mukolitik pada balita adalah bukti dari studi lama dengan risiko bias yang tinggi.
Data yang tersedia mengindikasikan bahwa ambroxol, N-acetycysteine, dan erdosteine dapat dijadikan pilihan mukolitik pada balita dengan batuk. Meski demikian, data tersebut belum cukup untuk menjadi basis rekomendasi yang meyakinkan. Masih diperlukan uji klinis acak terkontrol dengan jumlah partisipan yang besar untuk memastikan bahwa pemberian mukolitik efektif dan aman pada anak balita.