Pemilihan agen antidiabetes pada pasien dengan gangguan fungsi liver memerlukan perhatian khusus oleh klinisi karena banyak agen antidiabetes yang dikontraindikasikan atau memiliki efek buruk pada kondisi tersebut.
Artikel ini akan mengulas pilihan obat antidiabetes pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang mengalami gangguan fungsi liver, seperti sirosis hepatis, fatty liver, non-alcoholic fatty liver, hepatitis B, dan hepatitis C.
Liver merupakan tempat utama metabolisme sebagian besar obat antidiabetes. Pada kondisi gangguan fungsi liver, khususnya penyakit liver kronis, metabolisme obat antidiabetes akan sangat terpengaruh. Selain itu, komorbiditas serius yang sering terjadi pada gangguan liver berat, seperti hipoalbuminemia dan gagal ginjal akut, akan meningkatkan konsentrasi bebas obat antidiabetes di plasma akibat menurunnya metabolisme di liver dan ekskresi di ginjal, sehingga meningkatkan risiko toksisitas atau durasi efek obat yang bersangkutan.[1-4]
Derajat gangguan fungsi liver pada artikel ini didasarkan pada klasifikasi skor Child-Pugh, yang meliputi penilaian kadar total bilirubin, konsentrasi serum albumin, protrombin atau nilai international normalized ratio (INR), ada tidaknya asites, dan hepatik ensefalopati. Derajat gangguan fungsi liver akan disesuaikan sebagai kategori kelas A/ringan (nilai skor 5-6 poin), kelas B/sedang (7-9 poin), dan kelas C/berat (skor >10).[4]
Metformin
Metformin merupakan obat golongan biguanid yang menjadi terapi lini pertama pada diabetes mellitus tipe 2. Metformin dapat menimbulkan asidosis laktat pada pasien yang rentan, seperti pasien dengan gangguan fungsi liver, ginjal, dan jantung.[4-7]
Insidensi asidosis laktat adalah sebesar 0,03-0,5 kasus per 1000 pasien yang diterapi dengan metformin per tahun. Meskipun demikian, ada beberapa studi terbatas yang menyatakan bahwa metformin berhubungan dengan penurunan insidensi kanker liver dan liver-related death/transplantation pada pasien DM tipe 2 dengan sirosis hepatis yang disebabkan oleh hepatitis virus C.[7-9]
Pedoman American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan untuk menghindari terapi metformin pada semua pasien dengan gangguan liver berat (Child-Pugh C).[4,5]
Sulfonilurea
Liver merupakan tempat utama biotransformasi sulfonilurea. Sulfonilurea, seperti glibenclamide dan glimepiride, dimetabolisme ke metabolit aktif dan inaktif pada liver melalui enzim oksidatif liver (CYP P450s), kemudian berikatan secara ekstensif dengan protein serum dan selanjutnya diekskresikan melalui ginjal. Pasien dengan penyakit liver kronis rentan mengalami hipoalbuminemia sehingga rentan pula terhadap peningkatan konsentrasi obat di plasma. Hal ini meningkatkan risiko hipoglikemia.[4]
Pedoman ADA dan European Association for the Study of Diabetes (EASD) menyarankan bahwa golongan sulfonilurea hendaknya dihindari pada pasien dengan gangguan fungsi liver berat karena meningkatkan risiko hipoglikemia.[5] Beberapa obat golongan sulfonilurea seperti glimepiride dan gliclazide masih diperbolehkan pada pasien gangguan fungsi liver ringan dan sedang dengan penyesuaian dosis.[4]
Meglitinide (Glinid)
Glinid (nateglinide dan repaglinide) mempunyai waktu paruh yang lebih pendek daripada sulfonilurea dan tidak diekskresi di ginjal secara signifikan. Klirens repaglinide terutama dipengaruhi oleh fungsi liver sedangkan farmakokinetik nateglinide tidak demikian. Oleh sebab itu, repaglinide dikontraindikasikan pada gangguan fungsi liver sedangkan nateglinide tidak.[4]
Penelitian dosis tunggal, open-label grup paralel yang dilakukan oleh Choudhury S et al. yang memberikan 120 mg nateglinide pada pasien sirosis yang dibandingkan dengan pasien sehat, tidak menunjukkan adanya perbedaan secara statistik dalam parameter farmakokinetik baik untuk kelompok pasien sirosis hepatis maupun pasien yang sehat.[10]
Tidak dibutuhkan penyesuaian dosis nateglinide pada pasien dengan gangguan fungsi liver ringan dan sedang. Belum ada data klinis nateglinide yang tersedia untuk pasien dengan gangguan fungsi liver berat, sehingga belum direkomendasikan untuk pasien dengan gangguan liver berat.[4]
Namun, saat ini di Indonesia hanya tersedia obat repaglinide sedangkan nateglinide belum tersedia.
Inhibitor Alfa-Glukosidase (Acarbose)
Acarbose memiliki karakteristik farmakokinetik dengan minim absorpsi di saluran pencernaan dan metabolisme liver. Hal ini menjadikan acarbose merupakan pilihan obat antidiabetes oral yang aman pada pasien dengan penyakit liver kronis. Efek acarbose terhadap ensefalopati hepatik dipelajari pada 107 pasien DM tipe dengan sirosis hepatis. Terapi acarbose ternyata berkaitan dengan penurunan kadar amonia darah. Selain itu, tidak ditemukan adanya perubahan parameter biokimia fungsi liver pada akhir masa studi.[4]
Pedoman ADA menyatakan bahwa acarbose aman, bermanfaat, dan dapat ditolerir dengan baik pada pasien dengan gangguan fungsi liver, termasuk penyakit liver kronis.[4]
Pioglitazone
Pioglitazone merupakan satu-satunya obat golongan thiazolidinedione setelah rosiglitazone ditarik. Pioglitazone dimetabolisme secara ekstensif oleh CYP2C8 dan diekskresikan sebagai metabolit dan konjugatnya pada empedu dan feses.[4]
Aspek keamanan pioglitazone telah dievaluasi pada sejumlah studi pada pasien diabetes mellitus tipe 2. Studi yang dilakukan oleh Tolman et al. membandingkan antara efektivitas pioglitazone dan glibenclamide terhadap pasien DM tipe 2 selama 3 tahun. Penelitian ini menemukan bahwa insidensi cedera hepatoseluler sebanyak 0 kasus pada kelompok pioglitazone versus 4 kasus (0,38%) pada kelompok glibenclamide. Tidak ditemukan disfungsi hepar atau gagal liver pada kelompok pioglitazone.[11]
Akan tetapi, studi serial kasus yang dilakukan oleh Floyd et al. menemukan bahwa case fatality rate gagal liver sebesar 81% pada penggunaan rosiglitazone atau pioglitazone dan hanya 14 % yang mengalami perbaikan spontan. [12]
Pedoman ADA saat ini menyarankan bahwa penggunaan pioglitazone pada pasien sirosis hepatis atau peningkatan serum alanine transferase (ALT) >2,5 kali batas atas normal hendaknya dihindari. Pioglitazone masih dapat digunakan pada pasien gangguan fungsi liver ringan tetapi dikontraindikasi pada gangguan fungsi liver sedang dan berat.[4,13]
Inhibitor Dipeptidil peptidase-4 (DPP-4)
Inhibitor DPP-4 (sitagliptin, vildagliptin, saxagliptin, alogliptin, linagliptin) termasuk dalam incretin-based glucose-lowering agents. Sitagliptin terutama diekskresi oleh ginjal dan hanya sejumlah persentase kecil dari obat yang menjalani metabolisme di liver. Vildagliptin dimetabolisme dengan hidrolisis dan metabolit inaktif diekskresi melalui ginjal. Saxagliptin dimetabolisme oleh CYP3A4 dan CYP315 dan dieliminasi melalui ginjal dan liver. Alogliptin dimetabolisme menjadi M-I (N-demethylated active metabolite) melalui CYP2D6, dan M-II (metabolit inaktif) dan diekskresi sebagian besar di ginjal. Berbeda dari inhibitor lainnya, sekitar 80% dosis linagliptin dieliminasi melalui jalur enterohepatik.[4]
Keamanan inhibitor DPP-4 pada pasien DM tipe 2 dilaporkan pada sejumlah studi.
Sebuah meta analisis dari 67 studi acak terkontrol (4 alogliptin, 8 linagliptin, 8 saxagliptin, 20 sitagliptin, dan 27 vildagliptin) menemukan bahwa kejadian merugikan penggunaan inhibitor DPP-4 sebanding dengan plasebo.[14] Namun, ada laporan kasus yang melaporkan adanya peningkatan kadar serum aminotransferase secara bertahap pada pemakaian saxagliptin pada pasien DM tipe 2 yang tidak mempunyai latar belakang penyakit liver sebelumnya.[15]
Temuan laporan kasus ini berlawanan dengan hasil yang ditemukan pada percobaan SAVOR-TIMI 53 yang malah tidak menemukan toksisitas liver pada penggunaan saxagliptin.[16] Sedangkan pooled analysis dari 38 studi yang dilakukan oleh Schweizer et al. melaporkan bahwa penggunaan vildagliptin jangka panjang (>2 tahun) tidak menyebabkan peningkatan signifikan pada enzim liver.[17]
Hal serupa dilaporkan oleh Schrenthaner et al. pada pooled analysis dari 8 percobaan acak terkontrol yang menemukan bahwa penggunaan linagliptin dapat ditolerir dengan baik bahkan tanpa kejadian merugikan yang signifikan pada pasien DM tipe 2 dengan gangguan liver ringan dan sedang.[18] Hasil lain yang bersumber pada penelitian EXAMINE menemukan bahwa tidak ditemukan hepatotoksisitas pada penggunaan alogliptin.[19]
Summary of product dari sitagliptin, saxagliptin, linagliptin tidak merekomendasikan penyesuaian dosis pada pasien penyakit liver kronis, sedangkan vildagliptin tidak disarankan untuk pasien dengan peningkatan alanine atau aspartat aminotransferase >3 kali batas atas normal.[4]
Berdasarkan data yang ada, inhibitor DPP-4 masih bisa digunakan pada pasien gangguan liver ringan dan digunakan secara hati-hati pada gangguan fungsi liver sedang. Sedangkan pada pasien dengan gangguan fungsi liver berat, penggunaan inhibitor DPP-4 tidak direkomendasikan.[4,13]
Agonis Reseptor Glucagon-like Peptide-1 (GLP-1RA)
Exenatide, liraglutide, lixisenatide, semaglutide dan dulaglutide termasuk dalam golongan GLP-1RA atau incretin-based glucose lowering-agents untuk penatalaksanaan DMT2. Ekskresi melalui ginjal merupakan jalur utama eliminasi untuk exenatide. Liraglutide dan dulaglutide dimetabolisme menjadi komponen asam amino melalui jalur katabolik protein.[4,19]
Data klinis yang memeriksa keamanan GLP-1RA pada pasien penyakit liver kronis masih terbatas. Namun, sejauh ini tidak dilaporkan efek hepatotoksik serius karena sebagian besar diekskresi melalui ginjal.[4,19]
Oleh karena data klinis yang masih terbatas, GLP-1RA masih bisa diberikan pada pasien gangguan liver ringan dan dihindari pada pasien gangguan liver sedang dan berat.[4]
Inhibitor Sodium-glucose-co-transporter-2 (SGLT2)
Canagliflozin, dapagliflozin, dan empagliflozin merupakan obat yang termasuk golongan inhibitor Sodium Glucose Co-transporter 2 (SGLT2). Golongan inhibitor SGLT2 mengalami metabolisme hepatik dengan glukoronidasi dan hanya sebagian kecil yang dieliminasi melalui rute ginjal.[4,19]
Data klinis yang ada tidak menemukan pengaruh signifikan antara farmakokinetik empagliflozin serta canagliflozin dan gangguan liver.[11,12] Namun, hasil studi menunjukkan hal yang berbeda terhadap dapagliflozin.[13] Data klinis yang memeriksa dampak penggunaan SGLT2 inhibitor pada pasien DM tipe 2 dengan gangguan fungsi liver berat masih belum tersedia.[19]
Oleh karena itu, inhibitor SGLT2 disarankan masih dapat digunakan pada pasien gangguan liver ringan, digunakan secara hati-hati pada gangguan liver sedang dan tidak direkomendasikan pada gangguan liver berat.[4,19]
Insulin
Liver merupakan tempat utama metabolisme insulin. Hampir sebagian besar insulin yang diproduksi oleh pankreas dimetabolisme di liver. Hiperinsulinemia sering ditemukan pada pasien DMT2 dengan sirosis liver oleh karena berkurangnya klirens hepatik. Insulin merupakan terapi yang paling aman untuk pasien dengan gangguan liver, termasuk penyakit liver kronis.[4,14]
Namun, pedoman ADA menggarisbawahi perlunya penyesuaian dosis insulin dan pemantauan kadar gula darah secara seksama pada pasien penyakit liver kronis oleh karena meningkatnya risiko hipoglikemia seiring pemburukan fungsi liver.[4,5,19]
Kesimpulan
Penatalaksanaan DM tipe 2 pada pasien dengan gangguan fungsi liver khususnya penyakit liver kronis masih merupakan tantangan bagi para klinisi. Obat antidiabetes seperti acarbose, nateglinide, glimepiride, gliclazide, pioglitazone, inhibitor DPP-4, GLP-1RA dan inhibitor SGLT2 masih boleh digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi liver ringan (Child Pugh Kelas A) meskipun beberapa di antaranya membutuhkan penyesuaian dosis. Terapi insulin merupakan pilihan yang paling aman untuk semua pasien dengan gangguan fungsi liver (Child Pugh kelas A, B, dan C), namun tetap disarankan untuk dilakukan penyesuaian dosis karena risiko hipoglikemia. Sedangkan untuk gangguan fungsi liver yang berat, penggunaan obat golongan sulfonilurea, seperti glibenclamide; golongan thiazolidinedione, seperti pioglitazone; dan golongan GLP-1RA, seperti liraglutide, harus dihindari.